Yang
Bernas adalah Emas Putu Fajar Arcana ; Penulis Kolom “Sosial Budaya” Kompas |
KOMPAS, 4 Agustus 2021
yang emas adalah padi yang hijau adalah padi yang bernas sesungguhnya padi yang bergurau kiranya padi inilah kebenaran pertama sebelum yang
lain-lain karena laparlah yang pertama sebelum
yang lain-lain (Ubud, Isma Sawitri) Penyair
Isma Sawitri (80) pasti tidak menduga bahwa yang diungkapkannya dalam puisi
tentang Ubud pada tahun 1962 kini benar-benar menjadi nyata. Bahkan,
kenyataan itu menggema dari arena Olimpiade Tokyo 2020 lewat pasangan Greysia
Polii/Apriyani Rahayu. Keduanya tidak saja mengalungkan emas satu-satunya
bagi Indonesia, tetapi juga mengumandangkan lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”
ke seluruh dunia. Itulah kabar paling menghibur bagi bangsa yang tengah
beringsut dari kecamuk wabah ini. Tahun
1960-an, Ubud adalah desa yang kecil dan terpencil. Di malam hari,
anjing-anjing melolong mengabarkan tentang malam gelap yang mistis. Apa yang
dilukiskan pelukis Rudolf Bonnet benar-benar nyata di depan mata. Tetapi,
bagi para pemburu kedamaian, inilah sepotong surga yang hilang di bumi. Tidak
salah jika banyak seniman kemudian menerjemahkan Ubud sebagai ubad (obat),
bagi jiwa-jiwa yang kosong dan kesepian. Isma
Sawitri menemukan padi, sebagai metafora tentang keindahan dan kedamaian di
sepotong surga (yang hilang). Padi yang bernas adalah kebenaran sekaligus
kelaparan pertama sebelum yang lain-lain. Bahkan, jauh sebelum pura berdiri
dan raja-raja bertakhta. Padi yang emas menjadi pengobat kelaparan inspirasi
di masa manusia jenuh oleh kecamuk perang. Gelombang seniman dan orang-orang
resah yang mencari kedamaian di Ubud bahkan berlanjut sampai ke era Elizabeth
Gilbert menulis novel Eat Pray Love (2006). Kisah spiritualitas dan
kemistikan Ubud semakin menggema ketika aktris Hollywood Julia Robert
memainkan tokoh Liz Gilbert dalam film berjudul sama tahun 2010. Ketika
Greysia Polii/Apriyani Rahayu menunggu keputusan wasit, apakah shuttlecock
pengembalian pasangan China, Chen Qingchen/Jia Yifan, berada di luar garis
atau di dalam, kita semua ibarat menunggu uluran sebuah obor yang belum
dinyalakan. Aku membayangkan, begitu gelapkah nasib bangsa yang sedang
dirundung duka cita tanpa putus ini? Gelombang pandemi Covid-19 sampai aku
menuliskan kisah ini kepadamu telah menewaskan 97.000 orang lebih di Tanah
Air. Setiap hari selalu ada 1.000 orang lebih saudara, kerabat, tetangga, dan
orang-orang yang kita kenal meninggal dunia. Baru
saja penulis kenamaan Albertine Endah menuliskan kehilangan seorang
sahabatnya bernama Indy Noorsy di sebuah grup Whatsapp, di mana aku berada di
dalamnya. Setiap membaca kabar dukacita, hatiku seperti tergores menjadi
trauma tak berkesudahan. Lalu sebagai penghiburan aku tuliskan kata-kata ini:
Begitulah selalu cara kepergian memberi celah bagi yang hidup. Semoga
kata-kata itu mampu menjadi sekadar pelipur rasa kehilangan bagi orang-orang yang
mengenal Indy. Kapankah
obor yang telah diulurkan itu benar-benar menyala sebagai api pengharapan
kepada bangsa ini? Seorang perempuan Jepang, sahabatku, mengirim kabar bahwa
ia menangis ketika bola pengembalian pasangan China dinyatakan keluar oleh
wasit. Skor 21-19/21-15 untuk kemenangan pasangan Indonesia, katanya, menjadi
penghibur rasa duka orang-orang Indonesia. ”Sebelum
benar-benar lagu ’Indonesia Raya’ dikumandangkan saya sudah merinding. Lagu
itu lebih khidmat dibanding ’Kimigayo’,” katanya. Sekadar tahu, di masa
kecil, temanku pernah tinggal di Jakarta. Setiap hari dari sebuah instansi
pemerintah pada tahun 1980-an, ia mendengar ”Indonesia Raya” dikumandangkan.
Pelan-pelan lagu itulah yang menjadi pengikat hatinya dengan Indonesia, ketika
ia sudah kembali ke negaranya. Aku
berpikir, obor yang diulurkan oleh ”tangan-tangan gaib” itu, telah dinyalakan
oleh Greysia/Apriyani dengan sebatang korek api yang terbuat dari kerja
keras, ketekunan, dan kesabaran. Bayangkan, setelah berganti-ganti pasangan,
lalu didiskualifikasi dalam Olimpiade London 2012 ketika berpasangan dengan
Meiliana Jauhari, Greysia tumbuh menjadi pribadi yang penuh kesabaran. Itu
justru ”baru” terjadi ketika usianya menginjak 34 tahun (11 Agustus 1987).
Perempuan berdarah Minahasa yang dibesarkan oleh ibu tunggal ini, penuh
senyum sepanjang permainan. Senyum itu memperlihatkan tingkat kematangan
mentalnya dalam menghadapi tantangan. Sementara
Apriyani meskipun jauh lebih muda, lahir 29 April 1998 di Konawe, Sulawesi
Tenggara, berangkat dari keluarga sederhana. Ia mulai bermain bulu tangkis
dari raket kayu yang dibeli ayahnya secara ketengan: mencicil dari senar,
lingkaran, dan gagangnya. Apriyani bahkan menepok bola di halaman rumah
kampungnya sebelum akhirnya mulai berlatih di gedung. Kisah orangtuanya yang
jadi pegawai kecil, dengan kehidupan yang pas-pasan, justru memacu Apriyani
untuk berprestasi. Sesungguhnya
tak ada ”tangan-tangan gaib”. Semuanya bermula dari kerja dan tekad yang
membaja, sebagaimana dikatakan oleh penyair Chairil Anwar berikut ini: Kita memburu arti atau diserahkan
kepada anak lahir sempat Karena itu jangan mengerdip, tatap dan
penamu asah, Tulis karena kertas gersang,
tenggorokan kering sedikit mau basah! (Catetan
1946, Chairil Anwar) Kata
kunci dari puisi yang ditulis Chairil sesudah perang kemerdekaan itu terletak
pada dua baris terakhir sebelum puisinya berakhir. ”…tatap dan penamu asah.
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!”. Greysia/Apriyani,
ketika dipasangkan tahun 2017, setidaknya telah mulai menatap masa depan
kariernya. Mereka mengasah ketajaman intuisi untuk saling memahami satu
dengan lainnya. Dan, ketika prestasi bulu tangkis Indonesia belakangan tampak
begitu ”gersang”, keduanya seolah menjadi pembasuh tenggorokan bangsa
Indonesia di tengah padang pasir. Chairil
tentu tidak severbal itu. Ia menyadari pada masa akhir perang kemerdekaan,
bangsa Indonesia tak benar-benar merdeka. Kolonialisme sedang mengintip untuk
kembali bercokol di Tanah Air, yang baru saja diproklamasikan 17 Agustus
1945. Konteks kata-kata penutup dalam puisi Chairil seolah menjelma ketika
dari Musashiro Forest Sport Plaza, Tokyo, Senin (2/8/2021) di siang hari,
bergema lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”. Tiga
orang pahlawan: Greysia Polii, Apriyani Rahayu, dan pelatih Eng Hian, saling
memeluk satu sama lain. Itulah pelukan kemenangan paling simbolik setelah
bangsa ini diamuk badai pandemi, yang seakan tak berujung. Bahkan, ketika
Presiden Joko Widodo mengumumkan perpanjangan PPKM (pemberlakuan pembatasan
kegiatan masyarakat) pada 3-9 Agustus 2021, aku merasa itu hal ”mudah” yang
bisa diterapkan dan dilakukan. Bangsa ini, menurut perasaanku, telah
menemukan momentum untuk bangkit bersama, justru ketika tiga pekerja keras
sedang berpelukan di tengah-tengah lapangan olahraga. Kenangan
emas pertama dalam Olimpiade modern pertama 6 April 1896 di Athena, terjadi
saat atlet Amerika Serikat James Brendan Bennet Connolly, melompat indah
seperti kijang di atas lintasan lompat jangkit. Itulah emas pertama setelah
1.527 tahun Olimpiade modern berjarak dengan Olimpiade kuno. Menurut catatan,
Olimpiade sebenarnya sudah diadakan 776 SM di Yunani, dengan mempertandingkan
cabang atletik. Saat itu siapa pun boleh ikut serta turun ke gelanggang, dari
rakyat jelata, buruh, tentara, hingga para keturunan raja. Olimpiade kuno
tetap dilangsungkan di bawah ancaman invasi dari sejumlah bangsa. Bahkan,
ketika bangsa Romawi menaklukkan Yunani pada abad ke-2 SM, Olimpiade tetap
dilangsungkan di pelataran tempat suci Olympia. Sejak masa Yunani dan Romawi,
Olimpiade dikaitkan dengan pemujaan terhadap Dewa Zeus sebagai dewa
tertinggi. Ketika
Jepang ”keras kepala” tetap menggelar Olimpiade setelah diundur selama
setahun, kota Tokyo sedang berada di bawah ancaman pandemi. Banyak rakyat
Jepang yang protes ketika kota mereka kedatangan 78.000 orang dalam waktu
bersamaan. Mereka umumnya khawatir angka orang yang terpapar Covid-19 akan
bertambah terus. Dan memang, pada saat awal Olimpiade Tokyo 2020 dibuka, kota
itu sedang menjalani kuncitara, untuk memutus rantai penyebaran virus
mematikan tersebut. Aku
ingat lagi baris puisi Isma Sawitri: //inilah kebenaran pertama sebelum yang
lain-lain/karena laparlah yang pertama sebelum yang lain-lain//. Baris ini
seolah ingin menegaskan, kebenaran pertama adalah kebenaran yang mampu mengobati
rasa ”lapar”, sebagai prasyarat dasar manusia dalam memperjuangkan eksistensi
hidupnya. Ketika Isma pertama kali datang ke Ubud tahun 1962, ia melihat
hamparan padi yang bernas dan hijau. Sawah yang berkelok-kelok adalah
pemandangan subur di mana padi tumbuh menjadi emas. Ketika Ubud beringsut
dari sebuah desa menjadi tujuan utama pariwisata dunia, perubahan menjadi
sesuatu yang niscaya. Perubahan
adalah ketika Ubud mulai dialiri listrik dan kegelapan perlahan-lahan menjadi
terang karena cahaya. Bukankah dari lapangan bulu tangkis Greysia/Apriyani
telah menyalakan obor sebagai suluh yang menemani kita semua, sekarang di
sini, menyusuri lorong kegelapan, yang hampir dua tahun mengungkung kita
semua? Medali emas satu-satunya di ajang Olimpiade Tokyo 2020 menjadi penuh
arti ketika aku, kau, dan banyak orang nyaris putus asa. Beberapa kali
perpanjangan PPKM dan sebelumnya juga PSBB (pembatasan sosial berksala besar)
di Tanah Air, membawa kabar bahwa kita belum akan keluar sepenuhnya dari
kesulitan ini. Kabar
baik dari dua perempuan yang berlaga di arena bulu tangkis datang tepat
waktu. Sebab, yang bernas adalah emas, daripadanya kita bisa kembali
membasahi tenggorokan bangsa yang telah lama mengering. Semoga air harapan
itu kini mengalir menggenangi hati setiap warga dan kita semua dengan kepala
tegak terus melanjutkan hidup. Ingat, kehidupan itu selalu berawal mula dari
para perempuan yang ada di sekeliling kita…. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar