PPKM:
Kegilaan Level 4 Rachland Nashidik ; Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi |
TEMPO.CO, 3 Agustus 2021
“Insanity is doing the
same thing over and over again, but expecting different results”. Melakukan hal yang
sama berulang-ulang, tapi mengharap hasil berbeda, adalah kegilaan. Bukan Albert Einstein, melainkan Rita Mae
Brown yang menulis dalam novelnya “Sudden Death” (1983) kalimat yang menjadi
sangat populer dalam hampir empat dekade itu. Saya teringat padanya saat
mendengarkan pengumuman pemerintah memperpanjang PPKM untuk ke empat kali. Pada 3-20 Juli 2021, pemerintah memberlakukan
PPKM darurat Jawa-Bali. Lalu diganti PPKM level 4 pada 21-25 Juli. Ini
diteruskan hingga 2 Agustus 2021. Diteruskan lagi sampai nanti 9 Agustus
2021. Jokowi terus mengubah-ubah nama kebijakan.
Dari PSBB, PSBB transisi, PSBB ketat, Pembatasan Sosial Berskala Mikro atau
Kecil (PSBM/PSBK), Pembatasan Sosial Kampung Siaga (PSKS), PPKM Darurat, hingga
kini: PPKM Level 4. Tujuh nama berbeda untuk kebijakan serupa. Apakah hasilnya? Jauh dari kabar gembira. Pada
20 Juli 2021, tanggal di mana PPKM darurat berakhir, angka kematian adalah
1280 orang. Kemarin, sehari sebelum PPKM Level 4 kembali diperpanjang, pada 1
Agustus 2021 jumlah kematian adalah 1604 orang. Untuk beberapa lama di antara
tanggal tanggal itu, jumlah kematian dalam satu hari pernah mencapai 2000-an
orang. Sebenarnya, memang tak tersedia cukup alasan
untuk sangat optimis. Namun, sejujurnya kita masih berharap: kebijakan
pemerintah, dalam cara yang belum kita ketahui, kali ini akan benar-benar
menyumbang pada upaya Indonesia menghindari spiral pandemi (pandemic spiral).
Itu adalah mimpi paling buruk: jebakan pandemi tak berkesudahan, dengan
tingkat penyebaran virus dan kematian warga yang naik turun. Seperti
permainan yoyo. Negara Pariah Presiden Jokowi bukan saja tak belajar dari
pengalaman negara lain yang terbukti lebih maju menangani pandemi. Ia juga
tak kelihatan telah belajar dari pengalaman atau kesalahannya sendiri. Saat virus Corona pertama kali merebak di
Wuhan, Cina, banyak negara di dunia buru-buru mengunci pintu perbatasannya.
Presiden Jokowi sebaliknya. Ia justru membuka lebar-lebar pintu Indonesia,
bahkan menggelontorkan dana untuk promosi pariwisata dan merayu kunjungan
turis, tak sedikit dari Cina. Presiden mengulangi kesalahan ini, ketika
dunia dikejutkan oleh serangan varian delta di India. Pintu perbatasan
Indonesia lagi-lagi tak dikunci dari kedatangan turis India. Pada kenyataannya, angka kasus Covid-19 aktif
kini melonjak tinggi. Pada hari PPKM Level 4 diperpanjang, ada hampir tiga
setengah juta kasus aktif dengan positivity rate sekitar lima ratus ribu
orang dan angka kematian lebih dari sembilan puluh lima ribu jiwa. Excess
death tidak diketahui pasti. Tapi organisasi mandiri Lapor Covid-19 pernah
menyebut, ada belasan ribu kematian tidak dilaporkan. Indonesia kini adalah episentrum pandemi di
Asia. Disebut-sebut sebagai negara dengan penanganan pandemi terburuk di
dunia. Walhasil, banyak negara kini mengunci pintu
bagi Indonesia. Singapura termasuk di dalamnya. Beberapa negara melangkah
lebih jauh: melarang warganya ke Indonesia dan menarik pulang mereka yang
masih di sini. Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Rusia ada di barisan ini. Arab Saudi bahkan lebih keras. Raja Salman
bukan cuma menarik warganya keluar dari Indonesia, ia juga menghukum mereka
yang berani mengunjungi kita. Indonesia kini negara pariah. Revisi kebijakan! Tujuh kali kebijakan berganti nama, selalu ada
hal hal yang terus menerus sama. Pertama, upaya mati-matian Jokowi
menyelamatkan ekonomi. Termasuk ke dalamnya: pembangunan infrastruktur.
Padahal, nun ke belakang di awal pandemi, bahkan para ekonom sudah bernubuat:
selamatkanlah manusia lebih dulu! Kerusakan ekonomi bisa diperbaiki. Manusia
mati tak bisa dihidupkan lagi. Semakin lama pandemi tak ditangani sepenuh
hati, semakin ia akan tak terkendali. Akibatnya, akan semakin lama dan sulit
ekonomi diperbaiki. Kedua, penolakan Jokowi pada UU Kekarantinaan
Kesehatan tahun 2018—dimana lockdown atau karantina wilayah adalah norma
fondasionalnya. Padahal UU ini ditandatangani dan diberlakukan Jokowi
sendiri. Presiden Jokowi sebenarnya adalah satu-satunya
orang di republik ini yang paling mampu menyelamatkan negeri kita. Ia
memegang artileri kebijakan yang ampuh untuk itu. Salah satunya adalah Perpu
Covid tahun 2020, yang menarik hak budgeting DPR sepenuhnya ke tangan
Presiden. APBN, bagi Presiden Jokowi, kini laksana
selembar cek kosong. Ia bisa menulis angka berapa saja dan untuk apa saja.
Secara konstitusional, isi perpu tersebut sebenarnya bermasalah. Namun karena
sudah diberlakukan, kenapa itu tidak digunakan saja untuk keperluan yang
sangat mendesak? Misalnya menyusun ulang prioritas APBN. Agar
negara bisa membiayai test PCR gratis untuk rakyat. Menyediakan vaksin unggul
untuk rakyat dengan manajemen vaksinasi yang lekas. Membangun Rumah Sakit
darurat. Melindungi dan menambah tenaga kesehatan. Menyediakan tabung oksigen
gratis. Dan seterusnya. Juga untuk memberi rakyat makan. Lockdown atau
karantina wilayah dalam pandemi besar ini sangat krusial. Kombinasi lockdown
dan percepatan vaksinasi di Inggris terbukti mampu menekan tingkat kematian.
Tapi supaya tujuan karantina dicapai, negara wajib memenuhi kebutuhan pokok
warganya. Agar rakyat tak lapar dan memaksa mencari makan keluar rumah. Sangat disarankan, Presiden merevisi kebijakan
penanganan pandemi dengan terutama mendengarkan pendapat para ahli. Jangan
mengulang-ulang kebijakan yang sama, tapi mengharap hasil berbeda. Kebijakan
sekarang ini terbukti kurang berhasil menekan angka kematian. Pandemi dan politik Bagaimanapun, tujuan utama penanganan pandemi
di negeri ini seharusnya melindungi kehidupan dari kematian. Siapapun di
dalam tubuh kekuasaan yang membina para Buzzer, harus dilarang mempolitisasi
pandemi. Jangan keterlaluan menganggap seolah
permintaan agar kesehatan publik mendapat prioritas lebih di dalam APBN
adalah jebakan. Sebab spiral pandemilah jebakan sesungguhnya yang harus
ditakuti. Proposal lockdown bukan gerilya oposisi untuk
menjatuhkan Presiden. Sorotan kritis terhadap prioritas APBN bukan taktik
politik supaya proyek infrastruktur mangkrak. Kebijakan penanganan pandemi saat ini perlu
segera direvisi atau diganti. Kegilaan level 4 ini harus diakhiri. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar