Gus
Menteri dan Baha’i Anick HT ; Dosen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
FKM UMI, Pegiat literasi kesehatan |
MEDIA INDONESIA,
4 Agustus 2021
JIKA Anda bertemu dengan pejabat negara,
terutama pejabat Kementerian Agama, sempatkanlah bertanya 'adakah klausul
dalam regulasi negara ini yang menyatakan dan menyebut istilah 'agama resmi'
atau 'agama yang diakui' negara'. Saya melakukannya berkali-kali, dan tidak
ada jawaban yang solid serta meyakinkan untuk menyatakan bahwa enam agama itu
adalah agama resmi atau agama yang diakui. Lalu mengapa tujuh atau delapan dari sepuluh
orang di Indonesia secara spontan akan menjawab enam jika ditanya jumlah agama
di Indonesia? Mengapa kebanyakan kantor Kementerian Agama di semua wilayah
berhiaskan enam simbol agama? Mengapa masih banyak acara resmi negara
bertajuk dialog antaragama hanya menyertakan representasi enam agama? Mengapa
laporan sensus penduduk hanya mengategorikan mereka dalam satu entitas;
(agama) lainnya? Tepat di situlah masalahnya sehingga ucapan
Gus Menteri Yaqut Cholil Qoumas kepada penganut Baha’i saat ini menjadi
momentum penting. Dalam ranah hukum Indonesia, tidak ada satu pun
undang-undang yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia hanya mengakui
eksistensi enam agama di Indonesia. Pemahaman tentang pengakuan enam agama
ini didasarkan pada penafsiran yang keliru atas salah satu penjelasan dalam
UU PNPS No 1 Tahun 1965 yang menyebutkan bahwa 'Agama yang dianut di
Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu'. Penyebutan nama-nama agama itu hanyalah
penulisan contoh nama agama-agama yang dianut sebagian besar penduduk
Indonesia. Dalam penjelasan itu pun dinyatakan bahwa tidak berarti penganut
agama di luar 6 (enam) agama yang disebutkan di atas dilarang di Indonesia,
melainkan tetap mendapatkan jaminan dan perlindungan yang sama berdasarkan
konstitusi. Ketika UU PNPS tersebut diajukan ke Mahkamah
Konstitusi (MK) untuk judicial review,
MK juga memberi penegasan lain. Dalam Putusan MK RI Nomor 140/PUU-VII/2009,
MK berpendapat bahwa UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan Penodaan Agama tidak membatasi pengakuan atau perlindungan hanya terhadap
enam agama, tetapi mengakui semua agama yang dianut oleh rakyat
Indonesia. Kartu tanda penduduk Posisi kesetaraan yang sedemikian gamblang itu
tidak termanifestasi dalam praktik lapangan. Dalam implementasinya, selama
masa Orde Baru (untuk tidak mengatakan hingga saat ini), melalui Departemen
Agama (Kementerian Agama), pemerintah hanya melayani enam agama yang
dimaksud. Kebijakan kolom agama dalam kartu tanda penduduk (KTP) juga harus
diisi satu dari enam agama tersebut. Sementara itu, penghayat kepercayaan
'dilayani' sebagai organisasi kultural di bawah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan/Kementerian Pendidikan Nasional. Dari sinilah titik mula istilah 'agama yang
diakui' masuk benak para pemangku kebijakan; yakni kolom agama dalam KTP.
Satu-satunya aturan yang secara eksplisit menyebut agama resmi adalah Surat
Edaran Mendagri No 477/74054 tanggal 18 November 1978. Surat ini adalah
tentang Tata Cara Pengisian Kolom Agama dalam KTP. Tentang surat edaran ini pun, Mahfud MD, Ketua
Mahkamah Konstitusi saat itu, dalam pidato tertulis di hadapan peserta
Konferensi Tokoh Agama ICRP awal Oktober 2009, menyatakan bahwa surat edaran
itu seharusnya hanya berisi petunjuk teknis meliputi cara pengisian, bentuk
penulisan huruf, kode blangko, penjelasan kolom-kolom, jumlah rangkapan dan
petunjuk tindasan untuk instansi tertentu. Tidak boleh mengandung kebijakan baru
yang bukan wewenang Mendagri. Sampai kemudian di masa reformasi lahirlah UU
Administrasi dan Kependudukan (Adminduk) Nomor 23 Tahun 2006, yang kemudian
direvisi menjadi UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. UU
Adminduk ini di satu sisi adalah angin segar bagi penghayat kepercayaan
karena ada klausul bahwa 'bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai
agama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi
penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam
database kependudukan'. Dengan kebijakan ini, agama non-enam dan penghayat
kepercayaan terbebas dari 'memilih satu dari enam agama' yang selama ini
diberlakukan. Namun, klausul itu pula yang menegaskan
kecerobohan pembuat UU karena mencantumkan istilah 'agama yang belum diakui'.
Klausul inilah yang kemudian dibatalkan MK pada 2016 setelah dilakukan
judicial review. Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016, dalam pertimbangannya
menyatakan bahwa pengakuan agama yang terbatas tersebut bertentangan dengan
tujuan negara untuk menciptakan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum,
serta perlakuan yang sama di mata hukum bagi seluruh warga negaranya. Sampai
di sini kita bisa kembali bertanya; apakah ucapan selamat Gus Menteri Yaqut
Cholil Qoumas konstitusional? Menteri semua agama Hakimul Ikhwan, dosen sosiologi UGM, dengan
antusias merespons tindakan Gus Menteri itu menyalahi posisinya sebagai
menteri agama dan representasi pemerintah, sambil menegaskan bahwa pemerintah
Indonesia hanya mengakui enam agama. Menurutnya, tidak ada masalah jika Gus
Yaqut mengucapkannya atas nama pribadi. Respons seperti itu justru menegaskan bahwa
persoalan kesetaraan warga negara, terutama terkait hak dan kebebasan
beragama di Indonesia, masih membutuhkan perjuangan panjang. Alih-alih
mendorong Menteri Agama untuk mengakui dan melindungi semua agama yang ada di
Indonesia, seorang akademisi bisa bersikap diskriminatif dan melanggengkan
favoritisme atas dasar agama seperti itu. Fitrah negara adalah berdiri di atas semua
golongan. Negara harus netral agama, netral suku, netral ras. Favoritisme,
pengutamaan satu kelompok tertentu di atas kelompok yang lain, sudah jelas
diskriminatif. Pembatasan jumlah agama yang sah/diakui juga melawan realitas
yang sudah telanjur ada dalam negara ini. Adalah fakta yang tak mungkin dibantah bahwa
selama ini pembatasan itu pada tingkat implementasi kebijakannya berwujud
pemaksaan negara terhadap warganya yang bukan penganut enam agama tersebut
untuk melakukan hipokrisi dengan mencantumkan identitasnya dalam KTP dengan salah
satu dari enam agama tersebut. Adalah kenyataan empirik bahwa ada puluhan
juta penganut Sikh, Baha’i, Tao, Yahudi, penghayat kepercayaan, dan
agama-agama lokal yang bahkan sudah ada sebelum enam agama itu ada, yang
selama ini menjadi korban pembatasan ini.
Justru, momentum ucapan selamat kepada hari
raya Baha’i ini seharusnya kita dorong lebih jauh menjadi penegasan
netralitas agama. Seharusnya Gus Menteri didukung untuk memberi ucapan
selamat kepada segenap penganut Sikh, Tao, Yahudi, dan penghayat kepercayaan
yang ada di Indonesia. Sekali lagi, Menteri Agama adalah menteri semua agama.
● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar