Pemerintahan
Selama Pandemi: Berenang di Air Keruh Linda Yanti Sulistiawati ; Peneliti Senior Asia Pacific Centre for
Environmental Law (APCEL) National University of Singapore; Dosen Fakultas
Hukum UGM |
KOMPAS ,12 Agustus 2021
Sejak
2020, semua negara di dunia diguncang pandemi Covid-19, dan mulai Juli 2021
Indonesia menjadi episentrum Covid-19 dengan angka kematian tertinggi di
dunia, mencapai 2.048 orang pada 10 Agustus 2021. Sungguh
sulit untuk tak memperbandingkan keadaan negara kita dengan negara lain. Apa
yang dapat kita lakukan untuk keluar dari tekanan penyebaran virus ini? Pandemi
ini juga mengangkat kesenjangan sosial dan ekonomi dunia, yang sudah ada
sebelum pandemi dan semakin memburuk sejak ada pandemi. Jika
kita melihat tipe governance oleh
berbagai pemerintahan di dunia selama pandemi berlangsung, sepertinya ada
satu garis kontinum, dari tipe pemerintahan yang keras (strict) dalam menyikapi pandemi, tipe pemerintahan yang ragu-ragu
(indecisive) berkomitmen terhadap
pandemi, dan tipe pemerintahan yang memutuskan untuk lembut (soft) dan
cenderung membebaskan rakyatnya saat pandemi. Pemerintah
Korea Selatan dan Singapura cenderung sangat keras dan berhati-hati
menghadapi pandemi. Korsel, dengan persetujuan rakyatnya, menggunakan metode
tracing yang paling ketat dan detail melalui sinyal telepon genggam, melacak
transaksi kartu debit dan kredit, dan deteksi wajah (facial recognition) dari
kamera-kamera jalanan. Pemerintah Singapura mengawal ketat metode protokol
kesehatan (prokes), bahkan menetapkan sanksi denda dan penjara bagi
pelanggarnya. Di
Taiwan dan India, pemerintahnya justru terkesan kebingungan dan ragu-ragu
dalam menghadapi pandemi. Seperti juga di Indonesia, ketika Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan pandemi awal Maret 2020, pemerintah
negara-negara ini cenderung lambat mengambil langkah pencegahan. Di
ujung gaya pemerintahan yang lain, Pemerintah Swedia, dan Jepang, hanya
memberikan petunjuk-petunjuk soft kepada warga negaranya. Swedia tidak pernah
menerapkan lockdown sejak pandemi. Begitu
pula Jepang, tak ada sanksi jika ada warganya yang tidak mengenakan masker di
tempat umum, atau tidak menghendaki divaksin. Negara-negara ini hanya memberikan
imbauan-imbauan yang bersifat sosial tanpa sanksi hukum. Kuncinya konsistensi Walau
masih terlalu dini untuk mengatakan keberhasilan governance di masa pandemi
(karena pandemi masih berlangsung), beberapa indikator sudah terlihat, antara
lain jumlah fatalitas dan tingkat penyebaran virus. Di
negara-negara dengan pendekatan ketat, terbukti jumlah fatalitas rendah,
tingkat penyebaran virus pun cukup rendah. Anehnya, di negara-negara yang
menerapkan pendekatan lembut, keadaan pun membaik. Jumlah fatalitas tidak
terlalu banyak, tingkat penyebaran virus pun terkendali. Keadaan
terburuk justru terdapat di negara-negara yang pemerintahnya terkesan
ragu-ragu dalam menangani pandemi. Tingkat fatalitas menjulang tinggi,
penyebaran virus pun tak tertahankan. Mengapa
jenis pendekatan yang dilakukan pemerintah sangat berpengaruh? Ada beberapa
hal yang dapat kita garis bawahi. Pertama,
kegagalan pemerintah untuk bersikap cepat, tepat, dan cermat, menentukan
keberhasilan penanganan pandemi dan kesehatan masyarakat. Strategi apa pun
yang diterapkan menentukan, tetapi perencanaan, cara, dan konsistensi proses
penerapannya sangat menentukan bagaimana negara itu bisa lepas dari
cengkeraman sebaran virus. Ini
dapat kita lihat di Singapura, Korsel, Swedia, dan Jepang. Walau strategi dan
pendekatan berbeda, pemerintah negara-negara ini konsisten dalam menerapkan
strategi kebijakannya. Dalam
esainya, "We Need a Government", Arundhati Roy menggambarkan
bagaimana karut-marutnya penangangan pandemi di India, diperparah oleh budaya
korupsi dan keteledoran Perdana Menteri Narendra Modi. Sebagai
perbandingan, di Indonesia, sejak Maret 2020 hingga Juli 2021, telah disahkan
600 peraturan nasional (termasuk peraturan menteri dan surat edaran Satgas
Covid-19) dan lebih dari 1.000 peraturan daerah yang berhubungan dengan
Covid-19. Tanpa arahan yang jelas dari pucuk kepemimpinan, bayangkan
bagaimana hal ini menghasilkan tumpang tindih dan kebingungan yang ada di
lapangan untuk penerapan dan penegakan hukum dari peraturan-peraturan
tersebut. Lemahnya koordinasi Kedua,
kurangnya koordinasi, simpang siur informasi, hoaks, dan absurdnya peran
media. Governance bukan berarti hanya perencanaan strategi, implementasi, dan
sanksi, melainkan juga bagaimana menjalankan strategi penanganan pandemi ini
secara terkoordinasi dan terukur, termasuk mengelola arus informasi dan
berkoordinasi dengan media dan pemangku kepentingan lain. Di
negara-negara maju, di mana koordinasi dan komunikasi sudah menjadi bagian
dari praktik good governance, ketika pandemi datang menghadang,
institusi-institusi terkait telah siap dengan prosedur operasional standar
(SOP) masing-masing dan segera berkoordinasi. Di
negara-negara berkembang, hal sebaliknya terjadi. Selain koordinasi minim,
ketiadaan SOP, ego sektoral pun mempersulit keadaan dan pertukaran informasi. Informasi
yang tersedia pun sangat beragam, baik dari kualitas informasi (banyak yang
hoaks atau palsu) maupun kuantitas informasi yang begitu membeludak dari
segala sumber. Banyak
pula informasi post-truth yang menyelipkan sedikit kebohongan dalam
keseluruhan info (sehingga menjadi informasi menyesatkan), dan sumber yang
bervariasi. Baik dari media sosial (kebanyakan individu tak terverifikasi,
atau bahkan buzzer untuk kelompok politik tertentu) maupun media formal yang
mengutip sumber antah-berantah. Ketika
di negara-negara maju yang bekerja adalah free press, di negara-negara
berkembang media yang ada cenderung kebingungan dan menjadi confused press,
karena sibuk meliput berbagai hal secara berlebihan, bergembar-gembor, tanpa
melakukan pemeriksaan sumber data terlebih dulu. Akibatnya,
ketika masyarakat melihat media (media sosial ataupun media konvensional)
yang timbul adalah rasa krisis dan kepanikan luar biasa, menambah kekacauan
krisis kesehatan publik yang ada. Minim peran legislatif/yudikatif Ketiga,
kurang aktifnya lembaga legislatif dan yudikatif. Pemerintahan atau
governance bukan per se hanya dilakukan oleh presiden dan para pembantunya.
Namun, ada beberapa lembaga lain yang juga bertanggung jawab atas
pemerintahan. Di Indonesia, kita bisa melihat betapa timpangnya pemerintahan
selama pandemi. Parlemen
Indonesia hampir-hampir tak melakukan apa pun yang terkait dengan penanganan
pandemi, hanya melakukan tugas rutinnya, antara lain menyetujui pengajuan
atau perbaikan anggaran atas usulan lembaga eksekutif. Bahkan, berita yang
beredar di media tentang kegiatan anggota parlemen di saat pandemi cenderung
miring, tentang pembagian obat herbal tanpa label BPOM, ataupun tentang
anggota parlemen yang meminta prioritas untuk mendapatkan kamar ICU. Lembaga
yudikatif juga seharusnya dapat memajukan perannya dalam pandemi. Di India,
semenjak Covid-19, telah terjadi judicial activism atau aktivisme yudisial
yang dilakukan para hakim di India. Mereka
membuat keputusan-keputusan hukum yang kontroversial dan berpihak kepada
rakyat, untuk mendorong eksekutif dan legislatif bekerja lebih keras. Di
Indonesia hal ini belum terlihat karena lembaga yudikatif sibuk berusaha
tetap survive dengan mengadakan e-court
atau hybrid court. Pemerintahan
memang seperti berenang di air keruh karena sulit sekali untuk melihat ke
depan, mengetahui apa yang terjadi, dan tetap berusaha tidak tenggelam,
berenang menuju daratan. Ketidaksiapan semua pihak, terutama pemerintah,
sangat kentara dan membawa akibat yang fatal. Karenanya dibutuhkan kesadaran
masyarakat yang sangat tinggi untuk pentingnya menjaga kesehatan bersama.
Selain prokes yang selalu dijaga ketat, mendapatkan dosis vaksin, juga
toleransi perasaan masing-masing demi menjaga kesehatan dan kewarasan
bersama. Tak
perlu saling mengasingkan atau meng-"covid"-kan, karena wabah ini
hanya bisa kita atasi bersama. Pemerintah dapat bekerja sama dengan rakyat,
termasuk media untuk menenangkan keadaan dan menjernihkan informasi.
Konsistensi, keteguhan, kepastian, dan pengayoman dari pemerintah sangat
diharapkan, untuk dapat memberikan rasa tenang dan ayem kepada rakyat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar