Menuju
Otsus yang Kontekstual untuk Papua Pascal Norotouw ; Founder and Director of Numbay Research
Center (NRC), Jayapura |
DETIKNEWS, 4 Agustus 2021
Revisi Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus)
Papua telah disahkan (15/7). Satu tonggak capaian agenda pembangunan Bumi
Cendrawasih telah dilampaui. Narasi besar dari Otsus 'baru' ini tentu untuk
akselerasi pembangunan Papua. Namun, tak bisa dipungkiri jika Otsus baru,
sebagaimana yang lama, masih lekat dengan perdebatan, khususnya apakah ini
sebuah kesuksesan atau kegagalan. Secara teknis, tentu Otsus baru ini jelas
membawa beberapa nilai positif. Di antaranya, perpanjangan pemberian dana
otonomi khusus hingga tahun 2041. Di samping itu, dana otonomi khusus
ditambah dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari dana alokasi umum nasional.
Dari dana itu, sebesar 30 persen untuk pendidikan dan 20 persen untuk
kesehatan (dpr.go.id, 2021). Kita paham pembangunan infrastruktur masih
terus berjalan di Papua, seperti Jalan Trans-Papua. Pemerintah, dengan Otsus
baru ini, akan berkomitmen untuk membangun sumber daya manusia (SDM) Papua.
Hal-hal positif itu sayangnya sama sekali tak, atau belum dapat, meredakan
perdebatan. Bahkan sebagian ragu bahwa Otsus baru ini akan menyelesaikan
masalah Papua. Namun perlu disadari, sebenarnya terkait
'masalah' Papua ini belum ada kesepahaman publik yang signifikan. Apakah
terkait infrastruktur atau manusianya? Terkait ketiadaan akses atau
keterwakilan orang lokal? Memang tidak mudah mendefinisikannya. Tulisan ini tidak untuk mendebatkan masalah
mana yang perlu didahulukan. Namun, bahwa untuk menentukan kesepahaman akan
definisi masalah Papua tersebut, komunikasi dua arah yang jujur dan terbuka
diperlukan. Dalam konteks ini, sayangnya, perundingan antar perwakilan
masyarakat Papua dengan pemerintah pusat jarang, atau bahkan tidak ada sama
sekali. Yang selama ini muncul adalah pemerintah pusat
secara unilateral (sepihak) mengambil keputusan. Peran Jakarta sangat dominan.
Lalu di mana peran masyarakat Papua, yang seolah nihil? Di sinilah pemerintah pusat perlu mengambil
peran extra mile. Pemerintah perlu lebih aktif membantu masyarakat Papua
untuk menentukan siapa sebenarnya perwakilan mereka. Jelas mereka kini telah
memiliki pimpinan daerah (gubernur dan bupati/wali kota). Tetapi, jamak
diketahui bahwa masyarakat Papua juga punya kepala-kepala suku (Ondoafi)
sebagai representatif suara mereka yang memegang pengaruh sosial signifikan. Mendiskusikan, merancang, membahas, mendebat,
mengesahkan, hingga menguji sebuah UU adalah mekanisme modern yang mayoritas
warga Indonesia, khususnya dari Papua, belum familiar. Masyarakat yang paling
lekat dengan kehidupan adat dan tradisionalitas, tentu akan tidak diuntungkan
dalam situasi formal modern seperti ini. Dampaknya, lemahnya peran masyarakat
Papua dalam pengesahan UU Otsus baru tersebut. Otsus pun boleh jadi tidak
kontekstual untuk Papua. Harus Terlibat Situasi di atas seharusnya memberikan
penjelasan mengapa kesepahaman terhadap masalah di Papua belum tuntas.
Mendikte masyarakat Papua atas masalahnya jelas bukan langkah bijak. Sebab
yang muncul adalah resistensi. Dampaknya, meskipun dilaksanakan, Otsus ini
akan menuai banyak perdebatan ketimbang hasil. Tentu jalan keluar harus dicari. Apapun
perdebatannya, Otsus telah disahkan. Secara materiil, Otsus baru ini
berpotensi mengakselerasi pembangunan di Papua. Dalam UU Otsus ini,
diamanatkan pembentukan badan khusus yang bertanggung jawab langsung kepada
Presiden. Badan ini harus bukan hanya jadi pelaksana,
tapi juga forum diskusi setidaknya untuk membentuk kesepahaman akan masalah
utama Papua. Sebagaimana mekanisme sederhana manajemen, kita tidak bisa
mengambil tindakan, apalagi mengevaluasi jika tak bisa menjelaskan apa masalahnya. Orang asli Papua (OAP) jelas harus terlibat.
Dalam sebuah Otsus yang kontekstual untuk Papua, keterlibatan aktif OAP
adalah keniscayaan. Karenanya, diskusi atau dialog-dialog multilateral harus
dijalankan, khususnya di dalam badan tersebut. Perdebatan teknis terkait
anggaran dan target pembangunan tentu penting. Namun, dialog yang sifatnya
humanis dan dari hati-ke-hati juga harus dilakukan. Aktor-aktor yang terlibat nantinya, khususnya
dari pihak Jakarta, 'wajib ain' punya ketrampilan dan sensitivitas lintas
etnis. Ini untuk menghindari potensi blunder komunikasi dan penanganan
ketidaksepahaman yang sering jadi masalah penanganan Papua selama ini. Tentu
kita masih ingat problem ujaran rasisme di Surabaya dan baru-baru ini oleh
seorang menteri. Yang terbaru adalah insiden tak layak di Merauke yang sangat
tidak perlu. Tak berlebihan tentunya untuk mengibaratkan
Otsus ini seperti bantuan negara maju ke negara berkembang. Sebagian besar
memang gagal, tapi setidaknya ada rekor sukses, salah satunya Singapura. Di awal kemerdekaannya, Singapura menerima
tawaran bantuan dari berbagai negara khususnya Britania Raya. Pemimpin Negeri
Singa waktu itu tahu bahwa mereka perlu bantuan tersebut, namun tidak ingin
didikte oleh pemberi bantuan. Sebab, seringkali pemberi bantuan tak tahu
konteks sosial dari negara yang dibantu. Singapura, karena itu, aktif memberikan umpan
balik dan bernegosiasi kepada para pemberi bantuan tersebut. Mereka memilih
dan memilah advis mana yang sesuai konteks dalam negeri mereka. Alhasil,
terlepas jalan panjang penuh dinamisnya, jadilah Singapura yang maju. Kisah tersebut memberikan gambaran bahwa
komunikasi dan negosiasi dua arah adalah keniscayaan dalam pelaksanaan Otsus.
Dalam pelaksanaan Otsus, pemerintah pusat harus memahami dan merenungi benar
konteks sosial masyarakat Papua. Berbagai pembangunan (infrastruktur,
lapangan pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan) jelas dibutuhkan warga Papua.
Namun pelaksanaannya tak bisa disamakan dengan di Jawa, Sumatra, atau pun
daerah lainnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar