Kamis, 05 Agustus 2021

 

Membenahi Komunikasi Pandemi

Gun Gun Heryanto ;  Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

KOMPAS, 5 Agustus 2021

 

 

                                                           

Pandemi kini menjadi realitas yang berkelindan dengan kehidupan kita sehari-hari. Situasi yang tak mudah diatasi dan menimbulkan tingkat ketidakpastian dan ketidaknyamanan yang sangat tinggi.

 

Pemerintah sudah pasti tidak mungkin bisa mengatasi ini sendiri. Melihat dinamika penanganan pandemi saat ini, ada satu urgensi untuk membenahi para bisa digma dan cara berkomunikasi pemerintah agar turut mengakselerasi pengendalian Covid-19 di negeri ini. Jangan pernah memosisikan penanganan komunikasi di peran pinggiran.

 

Satu di antara yang harus dibenahi dalam proses penanganan Covid-19 adalah performa komunikatif, di luar sumber daya manusia seperti aparat, dan anggaran yang kini banyak dilakukan refocusing. Michael Pacanowsky dan Nick O’Donnell Trujillo di bukunya Communication and Organizational Culture (1982), mendefinisikan performa sebagai proses simbolik dari pemahaman akan perilaku manusia di sebuah organisasi.

 

Modal sosial

 

Dalam konteks ini, organisasi yang dimaksud tentu saja birokrasi pemerintah yang dituntut untuk mengoptimalisasi komunikasi guna mengelola kepercayaan publik. Kepercayaan inilah yang menjadi substansi modal sosial dan teramat sangat menentukan dalam penanganan pandemi.

 

Sebagai bahan refleksi, menarik membaca data survei terkait tingkat keyakinan terhadap kemampuan pemerintah mengatasi pandemi Covid-19 yang dilakukan Litbang Kompas secara periodik sejak Juni 2020. Survei terbaru dilakukan 10-17 Juli 2021 dengan 839 responden di 34 provinsi.

 

Hasilnya menunjukkan, tingkat keyakinan yang menurun. Responden yang yakin dengan kemampuan pemerintah mengatasi pandemi ada 60,7 persen, yang tidak yakin ada 36,4 persen, dan tidak tahu/tidak menjawab ada 2,9 persen. Ini menurun dibandingkan dengan survei Juni 2020. Saat itu, yang yakin 72,7 persen, tak yakin 16,2 persen, tidak menjawab 11,1 persen. Pada Oktober 2020, yang yakin turun tajam menjadi 55,6 persen, tidak yakin 36,4 persen, tidak tahu/tidak menjawab 8,1 persen.

 

Pada survei Desember 2020, ada 67,9 persen responden yang yakin, sementara yang tidak yakin 26,3 persen, yang tidak tahu/tak menjawab 5,8 persen. Pada Februari 2021, ada 67,9 persen yang yakin, 31,2 persen tak yakin, 0,9 persen tidak tahu/tak menjawab. Benang merah data-data ini menunjukkan tren angka keyakinan cenderung landai-menurun.

 

Tentu, banyak hal telah dilakukan oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dan patut diapresiasi sebagai ikhtiar mengatasi pandemi. Namun demikian, membaca tren persepsi serta mendengar suara masyarakat dari bawah juga diperlukan sebagai cara mengevaluasi kinerja pemerintah.

 

Mengutip ucapan populer Peter Ferdinand Drucker, seorang penulis terkenal dalam interview di program A World of Ideas with Bill Moyers (1989), hal terpenting dalam komunikasi adalah mendengar apa yang tidak dikatakan.

 

Mengelola komunikasi di era pandemi memerlukan perubahan paradigma secara mendasar. Komunikasi bukan semata proses untuk membangun pemahaman bersama, niat baik bekerjasama, serta penghargaan, melainkan komunikasi menjadi cara melindungi dan menyelamatkan warga negara dengan informasi yang jelas, akuntabel, dan menggerakan kesadaran bersama.

 

Begitu banyak nyawa terancam, kesehatan masyarakat dipertaruhkan, serta beragam dampak ikutan yang mengiringi pandemi, tak hanya bisa diselesaikan melalui pendekatan kesehatan atau ekonomi, melainkan butuh kerja-kerja komunikasi terintegrasi.

 

Pada Januari 2021, The Lowy Institute, sebuah lembaga yang berbasis di Sydney, New South Wales, Australia, merilis Covid Performance Index. Mereka membuat peringkat kinerja dari 98 negara di dunia dalam menangani pandemi Covid-19. Selandia Baru ada di urutan pertama. Indonesia peringkat 85, terpaut satu peringkat di atas India.

 

Salah satu yang dianggap menonjol dalam penanganan Covid-19 di Selandia Baru adalah soal pengelolaan komunikasi. Pada akhir Maret 2020, pemerintah Selandia Baru di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Jacinda Ardern, mempersiapkan publik menghadapi situasi yang berubah cepat dengan memperkenalkan sistem peringatan empat tahap. Keempat tahap meliputi: level-1 persiapan, level-2 pengurangan, level-3 pembatasan, dan level-4 lockdown. Informasinya rinci, terukur, jelas, serta persuasif bahwa hal ini menjadi agenda bersama seluruh warga.

 

Tentu saja, solusi di sebuah negara dalam mengatasi pandemi belum tentu sama dan relevan untuk dipraktikkan di negara lain. Tidak pas membandingkan kondisi obyektif Indonesia dengan Selandia Baru dengan hanya kurang lebih lima juta penduduk. Keragaman masalah dari banyaknya penduduk di Indonesia memang menjadi tantangan tersendiri, terlebih di saat warga terpolarisasi begitu tajam sebagai dampak kontestasi elektoral.

 

Belum lagi kondisi literasi masyarakat Indonesia yang masih rendah, sekaligus pola konsumsi media sosial yang sangat tinggi. Namun demikian, satu pelajaran penting dari Selandia Baru adalah tentang cara penanganan komunikasi publik pemerintah yang jelas, akuntabel dan menggerakkan warga.

 

Masalah komunikasi

 

Ada tiga masalah utama komunikasi pandemi yang harus segera dibenahi. Pertama, ketidakjelasan substansi pesan komunikasi kebijakan. Contoh nyata dalam kasus vaksinasi berbayar. Informasinya simpang siur tentang apa yang dimaui pemerintah dengan vaksin berbayar ini. Presiden Jokowi tegas menyatakan vaksin gratis. Kemudian muncul mekanisme vaksin gotong royong oleh perusahaan.

 

Ini masih bisa dimaklumi. Gangguan komunikasi muncul saat PT Kimia Farma (Persero) Tbk lewat jaringan klinik dan apoteknya membuka layanan vaksin Covid-19 berbayar. Muncul kebingungan di masyarakat soal vaksin berbayar individu, karena tidak jelasnya narasi komunikasi terkait hal ini.

 

Sejumlah aktivis dari lembaga kajian hukum, NGO, akademisi pun mensomasi Menteri Kesehatan dan mendesak untuk segera membatalkan dan atau mencabut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan No 10 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam rangka Penanggulangan Pandemi.

 

Permenkes ini mengatur ketentuan vaksinasi berbayar yang sebelumnya telah dibatalkan Presiden Jokowi pada 16 Juli 2021. Permenkes No 19 Tahun 2021 ini dinilai para pegiat kemanusiaan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya yaitu UUD 1945 yaitu Pasal 28 Ayat 1 dan UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

 

Permenkes itu juga dianggap bertentangan dengan Asas Umum Pemerintahan yang baik yakni Asas Kepastian Hukum dan Asas Pengharapan yang layak, di mana Presiden RI telah membuat pernyataan secara terbuka bahwa vaksin akan dilakukan gratis untuk seluruh rakyat Indonesia.

 

Dalam mengkomunikasikan kebijakan, pemerintah tidak boleh menggunakan komunikasi yang samar (equivocal communication). Menurut Janet Beavin Bavelas dalam bukunya Equivocal Communication (1990), istilah ini memiliki makna pengemasan pesan yang sengaja dibuat tidak jelas, tidak langsung dan tidak lugas. Ambiguitas pesan dapat menimbulkan kerancuan tindakan di tingkat operasional.

 

Kedua, prinsip komunikasi publik yang tumpang tindih. Pesan komunikasi harus mudah dipahami, sehingga secara persuasif berpotensi mengubah perilaku warga. Mengapa pemerintah harus sibuk bongkar pasang istilah? Hal ini berdampak pada sulitnya membangun pemahaman. Misalnya, pemerintah menggunakan istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), PPKM Mikro, Penebalan PPKM Mikro, PPKM Darurat, PPKM Level 4.

 

Jika istilahnya saja sering gonta-ganti, apa mungkin masyarakat memahami dan turut ambil bagian dari gerakan bersama lawan Covid-19 ini?

 

Ketiga, sensitivitas retoris dan kurangnya empati publik dalam komunikasi elite. Masih sering muncul pernyataan pejabat, baik dari lingkungan eksekutif maupun legislatif yang terkesan tak peka dengan situasi. Ada pejabat di jajaran kabinet yang menunjukkan agresivitas verbal saat dikritik.

 

Menantang publik bukan solusi, saatnya justru membangun harmoni. Ada juga politisi dan anggota DPR yang meminta pemerintah membuat rumah sakit khusus Covid-19 bagi para pejabat. Bahkan muncul rencana menyiapkan fasilitas hotel untuk isolasi mandiri (isoman) anggota DPR yang positif Covid-19. Pesan-pesan tersebut dinyatakan di tengah sulitnya warga mendapatkan fasilitas kesehatan dan antre di rumah sakit. Saatnya elite punya sensitivitas retoris, sekaligus mengedepankan komunikasi persuasif untuk bersama-sama mengatasi pandemi.

 

Langkah perbaikan

 

Langkah perbaikan harus terus diupayakan. Komunikasi pandemi butuh basis data terintegrasi untuk menunjang komunikasi yang jelas, akuntabel, dan menggerakkan kesadaran bersama.

 

Misalnya, memperbaiki data bantuan sosial (bansos). Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dalam FGD Sistem Informasi Dana Bantuan Pemerintah Terintegrasi, 1 Maret 2021, mengakui bahwa data yang selama ini digunakan pemerintah sebagai acuan penyaluran dana bantuan sosial (bansos) belum terintegrasi dengan baik.

 

Ketidakjelasan data menimbulkan kerawanan, seperti penyaluran tidak tepat sasaran atau pun membuka celah bagi mereka yang kerap memanfaatkan keadaan. Basis data juga sangat diperlukan misalnya dalam mengkomunikasikan soal vaksinasi.

 

Langkah lain yang harus mendapatkan perbaikan adalah narasi komunikasi. Salah satu kunci keberhasilan dalam komunikasi pandemi adalah mengelola narasi di tengah era keberlimpahan komunikasi. Fokusnya bukan pada bongkar pasang istilah, melainkan memperkuat resonansi narasi kebersamaan dengan persuasi pada tumbuhnya kesadaran bersama. Dalam perspektif akademik, menguatkan konvergensi simbolik.

 

John F Cragan, Understanding Communication Theory: the Communicative Forces for Human Actions (1998), memaknai konvergensi simbolik sebagai kekuatan komunikasi di balik penciptaan kesadaran umum. Hal ini bisa menyangkut cara pandang, ideologi, ataupun paradigma berpikir. Intinya komunikasi publik perlu memperkuat lagi narasi yang menggerakkan kesadaran dan perubahan perilaku warga.

 

Terakhir, menata kembali peran-peran informasi (information roles) dalam komunikasi publik pemerintah. Pembagian peran dan pesan harus jelas dan terukur baik individu maupun lembaga dalam komunikasi yang merepresentasikan pemerintah. Jangan sampai saat ada kesalahan, baru saling lempar tanggung jawab. Saatnya komunikasi dibenahi dan pemerintah terus bersinergi mengatasi pandemi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar