Minggu, 08 Agustus 2021

 

Makam dan Toleransi di Tengah Pandemi

A Windarto ;  Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta

KOMPAS, 7 Agustus 2021

 

 

                                                           

Perusakan nisan pada makam umat Kristiani di TPU Cemoro Kembar, Surakarta, Jawa Tengah, belum lama ini sungguh memprihatinkan. Sebab, dari peristiwa yang tampak sepele lantaran dilakukan oleh anak-anak, justru semakin menajamkan perbedaan, bahkan pertentangan, dalam masyarakat.

 

Singkatnya, dengan peristiwa itu, berbagai praktik intoleransi akan menjadi ancaman nyata bagi penanaman dan pengembangan gaya hidup yang toleran sebagaimana telah diwariskan melalui pelajaran wayang, khususnya dalam kebudayaan di Jawa.

 

Ancaman yang tampaknya sudah mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia itu ternyata masih cukup efektif dan operatif untuk dimanfaatkan sebagai bahasa politis bagi kepentingan pihak-pihak tertentu. Hal itulah yang membuat relasi atau hubungan sosial, termasuk kekuasaan, menjadi mudah untuk dikategorikan dengan latar belakang perbedaan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).

 

Akan tetapi, sifat khusus dari kehidupan dan budaya, khususnya dalam masyarakat Jawa, telah menunjukkan bahwa gejala itu masih mungkin untuk ditenggang dengan jejak etika tradisional yang paling mengemuka. Wayang adalah bentuk dari etika tradisional yang secara diam-diam diakui, bahkan dibanggakan, sebagai reputasi budaya yang mampu menampilkan kelapangan dan kearifan hati masyarakat Jawa.

 

Bagaimanakah wayang dapat tampil sebagai penenggang dari intoleransi yang berpotensi mengancam atau memorak-porandakan hidup sehari-hari? Apa kekuatan dahsyat yang menjadi penopang emosional dari wayang sehingga dampak yang menghancurkan akibat peperangan demi peperangan dapat ditunda atau dialihkan pada saat dan tempat yang tepat?

 

Dalam buku Mitologi dan Toleransi Orang Jawa (Jejak, 2003), Benedict Anderson memaparkan bahwa wayang telah menjadi seperti ”agama” yang tidak memiliki nabi, kitab suci, atau Sang Mesias.

 

Hal itu ditandai oleh suatu mitologi yang menempatkan wayang sebagai ”samaran” atau ”bayangan” dari dunia kehidupan yang sarat dengan konflik. Karena itu, tak mengherankan jika dalam wayang tak ada peran yang diunggulkan, meski kebanggaan atau keistimewaan dari setiap tokoh ditampilkan.

 

Hal itulah yang membuat wayang dijadikan ciri pola dan pilihan teladan yang luas bagi masyarakat Jawa, terlebih para pemudanya. Baik anak yang bertubuh kekar, aktif dan tak pandai bicara, maupun yang bertubuh langsing/halus dan suka berintrospeksi, masing-masing mendapat jalannya yang memungkinkan kepribadian dan ciri fisiknya berkembang tanpa paksaan kejiwaan yang tidak perlu harus dilakukan terhadapnya.

 

Teladan yang amat toleran itu menjadi nilai-nilai keutamaan dan kebijaksanaan bagi masyarakat Jawa, termasuk dalam menghadapi perbedaan atau konflik yang mengancam kehidupan. Dalam konteks ini, menarik untuk memperhatikan temuan PJ Zoetmulder yang sedemikian kagum dan terpesona dengan tradisi budaya Jawa, khususnya di bidang sastra Jawa kuno.

 

Dalam bukunya yang berjudul Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang (Djambatan, 1983), Zoetmulder memperlihatkan bahwa sastra Jawa, dan juga Sansekerta, berperan amat penting dan menentukan dalam jejak langkah pembentukan bangsa di kawasan Asia Tenggara.

 

Meski agak berbeda dengan di Thailand dan Kamboja, jenis kesusastraan yang ditulis dalam bahasa lokal di Indonesia, khususnya di Jawa, telah membentuk masyarakat yang terbiasa untuk berpikiran luas dan beragam. Padahal, dari jenis sastra inilah cerita atau kisah dalam wayang dimainkan.

 

Itu artinya, wayang merupakan bagian dari proyek kreasi sastra yang berperan penting untuk meloloskan atau menyelamatkan masyarakat dari kehancuran.

 

Dengan kata lain, wayang menjadi sumber dari nilai, sikap dan tindakan toleransi yang bukan sekadar berwujud sebuah tontonan, melainkan juga sekaligus suatu tuntunan. Khususnya, tuntunan yang sesungguhnya tidak langsung mengancam atau abai terhadap ketidaksesuaian dalam perkara hidup sehari-hari yang amat rapuh dan mudah pecah.

 

Dalam konteks ini, bukan kebetulan jika para tokoh yang masih peduli dengan kebudayaan wayang Jawa justru membangun sejumlah patung dari para tokoh wayang terkemuka, seperti Gatotkaca, Semar, Yudhistira, dan Bima.

 

Meski sempat dirusak dan dibakar, segenap patung wayang yang dianggap mengarah pada praktik penyembahan berhala masih layak dan pantas untuk dapat menjadi wahana komunikasi simbolik dan publik.

 

Sebab, di masa lalu patung dan monumen yang dibangun di Jakarta, misalnya, adalah untuk memperkenalkan Indonesia di mata dunia internasional. Patung Pembebasan Irian Barat dan Monas (Monumen Nasional) adalah contoh dari retorika simbolik tentang perjuangan bersama untuk menjadi nasionalis demi negara-bangsa Indonesia.

 

Perjuangan yang mampu meredam segala perbedaan dan pertentangan di masa lalu itu patut untuk diperingati agar selalu dapat jeli dan waspada terhadap segala upaya yang berkepentingan sesaat dan sepihak atas nama toleransi. Di sinilah wayang juga memberi dasar yang khusus bagi masyarakat Jawa untuk senantiasa bersiap dalam berjuang dan menjadi tetap tangguh.

 

Dari dasar itulah, toleransi mengalir sebagai sebuah penghargaan terhadap keberagaman manusiawi dan kepribadian setiap orang. Maka, melalui wayang, pelajaran untuk menjadi cakap dalam menangani perkara-perkara yang intoleran dapat dinegosiasikan dengan semangat dan dasar hidup yang saling menghargai dan menghormati dalam sebuah komunitas manusiawi yang toleran. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar