Kewarganegaraan
Ekologis Roy Martin Simamora ; Pengajar Filsafat Pendidikan ISI Yogyakarta;
Alumnus National Dong Hwa University, Taiwan |
KOMPAS, 1 Agustus 2021
Tahun
2020 hingga pertengahan tahun ini adalah masa-masa paling menguras tenaga,
pikiran, dan waktu kita. Gelombang Covid-19 dan kemunculan varian-varian baru
di beberapa negara seolah menambah masalah hidup di tengah realitas sosial
yang kita bangun selama ini. Hari
demi hari, pasien Covid-19 terus bertambah. Beberapa orang harus kehilangan
sanak saudara mereka. Orang-orang yang mereka kasihi harus lebih dulu menemui
ajalnya. Kehilangan demi kehilangan menambah duka dan pilu. Sebagian lagi
harus berjuang untuk sembuh dari derita virus itu. Tak
hanya sektor kesehatan, dampak serius dari pandemi ini juga menyasar sektor
ekonomi. Orang-orang kehilangan pekerjaan karena terkena pemutusan hubungan
kerja (PHK), pengangguran meningkat, para pedagang kecil kehilangan mata
pencarian, dan pendapatan makin menurun. Semua orang tentu berharap agar
dunia dapat normal kembali seperti sedia kala. Di
tengah pandemi ini, agaknya, setiap orang perlu mengambil jarak dan merenung
sejenak di pojok ruangan. Setiap orang perlu mengingat kembali identitas
dirinya, baik secara individu maupun komunitas, mengingat apa yang berubah
dalam kehidupan planet yang dihuni sekarang ini. Setiap
orang perlu mengidentifikasi dan mengingat kembali komitmen tentang apa itu
masa depan dalam benak mereka. Mengapa kita hidup di planet ini? Masa depan
seperti apa yang hendak kita capai sebagai spesies paling unggul dibandingkan
dengan spesies lain? Apa yang harus dilakukan dan apa yang belum dilakukan
untuk mencapai kemaslahatan di muka bumi? Apakah manusia semakin ramah
lingkungan atau semakin buruk dan akan menghapus alam selamanya? Saat
ini, manusia memiliki masalah besar dalam hubungannya dengan alam.
Keseimbangan alam mulai menurun sebagai akibat dari aktivitas manusia, yang
melihat dirinya bukan sebagai bagian dari ekosistem, melainkan sebagai
tuannya. Perusakan hutan dan perburuan massal telah menjadi bagian diri
manusia. Kekuatan
kapitalisme telah mendorong batas-batas planet kita dengan kelebihan
populasi, limbah industri, penipisan lapisan ozon, dan degradasi lingkungan
dari pengejaran industri. Perusahaan-perusahaan terus mendapat keuntungan
dengan mengorbankan bumi. Spesies yang paling berkuasa sekaligus
berkepentingan untuk menguasai segala isinya. Selain
itu, populasi manusia dalam beberapa dekade terakhir telah melonjak terutama
karena kelimpahan makanan dan energi yang sangat besar, yang keduanya berasal
dari kemajuan industri yang dibangun oleh manusia itu sendiri. Juga, beberapa
spesies hewan yang paling sukses di bumi adalah yang bersimbiosis dengan
manusia (sapi, ayam, kecoak, kutu busuk) dan secara rutin menggusur spesies
liar yang ada di alam. Kemerosotan
ini mulai ditanggapi serius setelah berdampak buruk bagi kehidupan manusia
dan digambarkan sebagai masalah lingkungan. Manusia, yang selama ini
mendekati alam hanya dengan sudut pandang yang berpusat pada manusia, sudah
mulai membayar biaya kemakmuran ekonomi sebagai masalah lingkungan hidup. Perusakan
hutan dilakukan secara terang-benderang oleh perusahaan milik negara, swasta,
dan multinasional. Mereka mengeksploitasi tanpa mempertimbangkan dampaknya di
kemudian hari. Di
kampung halaman saya, kerusakan hutan menyebabkan penduduknya kehilangan mata
air. Sungai mengering. Sawah-sawah kini mengering dan berkerak. Jika hujan,
banjir datang. Pohon-pohon endemik mulai hilang, diganti pohon-pohon
eukaliptus. Polusi
menjadi masalah serius. Partikel debu di udara pada musim kemarau karena
kendaraan berat pembabat hutan yang lewat menyebabkan masalah kesehatan yang
serius bagi penduduk. Selain
itu, beberapa masyarakat kehilangan tanah leluhur mereka karena diambil alih
oleh korporasi. Mereka dipaksa tunduk dengan setumpuk aturan hukum yang sama
sekali mereka tidak pernah tahu. Pengusiran dari tanah leluhur mereka, tidak
diberi kesempatan untuk mengekspresikan budaya lokal mereka, intimidasi fisik
oleh korporasi membuat masyarakat lokal semakin jauh terpinggirkan. Belum
lagi, di kampung halaman saya, burung-burung yang sering saya jumpai dan
dipercaya sebagai kiriman dari para leluhur setiap bulan-bulan tertentu
(Desember-April) tidak lagi muncul karena pohon-pohon penghasil buah sudah
hampir punah. Burung-burung itu mungkin menjauh karena suara-suara mesin
pemotong kayu di hutan. Selain
perusakan habitat, penggundulan hutan menyebabkan peningkatan erosi di daerah
riparian menyebabkan penurunan kualitas air di sungai. Akhirnya, air tidak
layak konsumsi bagi masyarakat setempat. Pengawahutanan (deforestasi) juga
melepaskan karbon dan menghancurkan penyerapan karbon di area yang dahulu
berhutan, yang selanjutnya berkontribusi pada perubahan iklim. Kampung yang
dahulu sejuk dan dingin, berubah menjadi berdebu, kotor dan panas. Selain
risiko lingkungan dan kesehatan yang terkait dengan permainan kotor
perusahaan, lingkungan juga berkorelasi langsung dengan produktivitas dalam
jangka panjang. Hari demi hari, penghancuran planet kita demi keuntungan
jangka pendek bukanlah solusi yang berkelanjutan dan akan merusak kapasitas
berinovasi dan berproduksi masyarakat yang tinggal di sana. Setelah
merenung beberapa lama, satu-satunya gagasan yang saya bayangkan adalah
mempromosikan kewarganegaraan ekologis (ecological citizenship) di tengah
kemanusiaan kita yang kian merosot jauh. Teori kewarganegaraan ekologis
pertama kali dicetuskan oleh seorang pemikir politik Inggris, Andrew Dobson,
dalam bukunya Citizenship and the Environment (2003). Gagasan
Dobson ini dimunculkan untuk membangun konsep baru kewarganegaraan. Gagasan
yang dibangun dari filsafat ”politik hijau”. Dobson merasa bahwa setiap warga
negara memiliki kewajiban untuk mengurangi ”jejak ekologis” mereka. Kondisi
ekologi yang semakin rusak membutuhkan cara pandang baru untuk melihat isu
lingkungan dari posisi warga. Dia beranggapan bahwa setiap warga negara
bersama-sama dengan status sebagai anggota entitas politik yang disebut
negara memiliki hak untuk menikmati kehidupan yang sehat dan kewajiban untuk
mewujudkannya. Pendidikan lingkungan Agaknya,
gagasan ini juga perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional kita
dan memperkenalkannya kepada generasi baru yang akan memiliki tanggung jawab
untuk menjaga bumi di masa yang akan datang. Pemerintah berperan penting
untuk memasukkan pendidikan lingkungan ke dalam kurikulum pendidikan nasional
yang dirancang. Tujuannya
adalah melahirkan warga negara yang aktif menyuarakan kesadaran lingkungan
dan bagaimana nilai-nilai itu ditebar di tengah-tengah masyarakat yang hidup
hari ini. Dobson berkata, ”Memang, ’lingkungan’ adalah kendaraan teladan
untuk penyebaran semua pengetahuan yang disebut ’keterampilan kunci’ dalam
kurikulum pendidikan kewarganegaraan.” Jika
kita melihat sejarah peradaban manusia, manusia selalu membentuk komunitas
berdasarkan identitas bersama. Identitas semacam itu ditempa untuk menjawab
berbagai kebutuhan manusia, baik secara ekonomi, politik, agama, dan sosial.
Ketika identitas kelompok tumbuh lebih kuat, mereka yang memegangnya,
mengorganisir ke dalam komunitas, mengartikulasikan nilai-nilai bersama
mereka, dan membangun struktur pemerintahan untuk mendukung keyakinan mereka. Karena
itu, sangat penting untuk menggalakkan aktivisme lingkungan dan mengajak
generasi muda untuk ikut serta terlibat dalam upaya-upaya menjaga
kelangsungan hidup di bumi. Aktivisme semacam itu mulai ditanamkan kepada
generasi muda ketika mereka di dalam keluarga dan ketika berada di lembaga
pendidikan. Karena bagaimanapun, peran keluarga dan lembaga pendidikan sangat
penting untuk mempromosikan cara-cara baru untuk menghasilkan makna hak dan
kewajiban, yang mana nilai-nilai dan tindakan saling menginformasikan satu
sama lain dengan cara yang spesifik secara budaya, tetapi juga dibentuk oleh
diskusi terbuka dan toleran yang tidak mengabaikan hasrat dan komitmen
aktivis lingkungan. Barr
dalam makalahnya yang berjudul Strategies for sustainability: citizens and
responsible environmental behaviour (2003) mengatakan harus ada upaya-upaya
mendorong manusia untuk keluar dari nilai egoistik ke altruistik dan dari
konservatif menjadi terbuka terhadap perubahan (dalam artian mendorong
tanggung jawab lingkungan); dari antroposentrisme ke biosentrisme; memikirkan
kembali lingkungan dan kewarganegaraan; dari teknosentrisme ke ekosentrisme
sebagai ”nilai yang didorong oleh keyakinan” dalam menanggapi masalah
lingkungan. Karena
itu, kewarganegaraan ekologis membawa dampak yang positif untuk menjaga
komitmen setiap warga negara. Mengapa kewarganegaraan ekologis menjadi
penting? Mengapa sekarang? Jika dicermati, kewarganegaraan sering kali
dipahami sebagai status hukum yang mendefinisikan hubungan antara individu
dan negara, yang mendefinisikan hak dan kewajiban yang dipikul satu sama
lain. Kewarganegaraan
sekarang selalu diartikulasikan dengan budaya, hak-hak politik, teknologi,
identitas (khususnya jender), sains, transnasionalisasi, dan kosmopolitanisme
belaka. Tetapi, lebih daripada itu, kewarganegaraan juga harus dipandang
sebagai tanggung jawab manusia terhadap alam sekitarnya (bukan hanya untuk
negara semata) dan mempromosikan perubahan perilaku yang membantu melindungi
lingkungan bumi. Dalam
artian, hal ini dapat diajarkan pada pelajaran pendidikan kewarganegaraan,
yang mana kewarganegaraan sebagai ”literasi politik” harus disejajarkan
dengan pendidikan lingkungan sebagai ”literasi lingkungan.” Kewajiban
lingkungan serta hak lingkungan harus diintegrasikan ke dalam pengertian
normatif kewarganegaraan yang lebih komprehensif. Selain
itu, kewarganegaraan ekologis memberikan kesempatan kepada setiap warga
negara untuk mempelajari bagaimana alam bekerja dari skala organisme hingga
seluruh planet. Hanya ekologi yang dapat memberi tahu kita bagaimana hidup
dengan alam dengan cara yang tidak kehilangan ekosistem yang penting,
mencintai alam dan memaksimalkan manfaat yang kita peroleh dari alam dengan
hidup selaras dengannya. Pohon
apa yang harus ditanam di kota dan di mana kita dapat memaksimalkan
penghijauan perkotaan? Mengapa pertanian dan perikanan itu runtuh, dan
bagaimana cara kita agar tidak membiarkan itu terjadi lagi? Apa cara terbaik
untuk menyelamatkan spesies yang terancam punah dari kepunahan? Karena
itu, kewarganegaraan ekologis dapat dipraktikkan dalam kehidupan setiap warga
negara. Kewarganegaraan ekologis juga menjadikan warga negara memiliki
pengetahuan untuk mengelola, memiliki kesadaran untuk menjaga, dan
melestarikan lingkungan di sekitarnya. Warga
negara ini dikenal dengan sebutan ”warga ekologis”. Warga ekologis ini
memiliki kesadaran ekologis yang lebih besar, mengenali cara-cara mereka
terhubung erat satu sama lain dan dunia di sekitar mereka. Selain memiliki
hak di dunia, warga ekologis juga mengemban tanggung jawab sebagai warga
negara yang aktif dan luas, yang mencakup perubahan perilaku pribadi untuk
mempromosikan kepentingan publik dan terlibat dalam tindakan kolektif yang
mendorong perubahan sistemik yang bertanggung jawab. Pada
titik ini, warga negara perlu melihat dunia secara ekologis, tidak semata
hanya urusan-urusan politik dan intrik-intrik di dalamnya. Warga negara perlu
mengenali keterkaitan antara masalah yang dihadapi dan bertindak untuk
mengatasi akar permasalahan secara kolektif. Sejatinya,
warga ekologis bertanggung jawab untuk meminimalkan dampak ekologis negatif
manusia terhadap manusia lainnya di masa mendatang. Apabila warga negara
gagal memenuhi tanggung jawab ini berarti mereka telah menggunakan proporsi
yang tidak seimbang dari pengerukan sumber daya ekologis yang tersedia di
muka bumi. Bumi menjadi sakit dan, mau tidak mau, kita sedang bersiap-siap
menantikan dampaknya di kemudian hari. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar