Senin, 02 Agustus 2021

 

Hak Gugat Korban Korupsi

Nefa Claudia Meliala ;  Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

KOMPAS, 1 Agustus 2021

 

 

                                                           

Senin, 21 Juni 2021, untuk pertama kalinya korban tindak pidana korupsi mengajukan gugatan ganti rugi. Mereka yang mengajukan gugatan adalah 18 korban korupsi Bantuan Sosial (Bansos) pada masa pandemi Covid-19 yang diduga dilakukan oleh mantan Menteri Sosial sekaligus politisi PDIP, Juliari Batubara.

 

Argumentasi yang dibangun adalah selama ini dalam perkara korupsi, uang yang dirampas hanya akan disetor ke kas negara. Kedelapan belas korban menuntut agar Juliari membayar ganti rugi secara langsung kepada mereka sebagai warga yang haknya telah terampas.

 

Senin, 21 Juli 2021, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menolak permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian tersebut. Alasan penolakan mengacu pada hukum acara perdata karena tidak sesuai dengan alamat tempat tinggal Juliari di Jakarta Selatan, sementara tergugat sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

 

Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Sebagai konsekuensi logis dari ratifikasi tersebut, Indonesia tentu harus menyesuaikan aturan hukum nasionalnya dengan UNCAC.  Pasal 35 UNCAC pada prinsipnya mengatur mengenai kewajiban negara untuk menjamin hak setiap orang yang menderita kerugian sebagai akibat dari tipikor untuk dapat mengajukan gugatan terhadap pelaku dan memperoleh kompensasi atas kerugian yang dialami.

 

Pengaturan dalam hukum nasional

 

Terdapat setidaknya beberapa pasal yang dapat digunakan sebagai dasar hukum bagi korban korupsi untuk mengajukan gugatan, yaitu Pasal 1.365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) tentang perbuatan melawan hukum dan Pasal 98-101 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian.

 

Sekalipun secara teoritis gugatan perbuatan melawan hukum dapat diajukan, walaupun belum terdapat putusan pengadilan pidana yang telah berkekuatan hukum, dalam praktik korban akan lebih sulit membuktikan telah terjadi perbuatan melawan hukum tanpa adanya putusan pidana. Namun di sisi lain, apabila gugatan perbuatan melawan hukum harus menunggu keluarnya putusan pidana tentu prosesnya akan memakan waktu yang cukup lama.

 

Persoalan lain adalah dalam tipikor, tidak mudah untuk mengidentifikasi korban. Belum lagi membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan (tipikor) dengan kerugian yang dialami korban.

 

Sementara itu, penggabungan perkara gugatan ganti kerugian yang diatur dalam KUHAP memiliki kelemahan. Yang paling menonjol adalah KUHAP membatasi bahwa ganti kerugian yang dapat dituntut korban hanya sebatas penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.

 

Permasalahannya, korban dalam tipikor kerap kali tidak mengalami kerugian secara langsung. “Kerugian” yang dialami sangat mungkin berupa terhambatnya akses untuk memperoleh hak-hak dasar seperti misalnya hak atas layanan kesehatan atau pendidikan.

 

Di luar KUHP dan KUHAP, terdapat beberapa pengaturan terkait kompensasi dan restitusi bagi korban tindak pidana, namun pengaturan tersebut memang tidak mencakup korban tipikor. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban misalnya, mengatur mengenai hak atas kompensasi dan restitusi bagi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia berat melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) (Pasal 7). Ada juga Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat.

 

Kompensasi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Sementara itu, restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu (Pasal 1 angka 4 dan 5 PP 3/2002).

 

Pengaturan belum memadai

 

Dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku, pengaturan terkait kompensasi dan restitusi bagi korban tipikor sebagaimana diamanatkan UNCAC belum optimal.

 

Spesifik berbicara mengenai penolakan gugatan korban korupsi Bansos, dengan mengacu pada ketentuan Pasal 98 KUHAP, hakim ketua sidang (dalam hal ini hakim pada pengadilan tipikor) seharusnya dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian dan perkara pidana yang prosesnya sedang berjalan tanpa harus mempersoalkan domisili hukum tergugat. Namun, itu baru satu soal yang menyangkut teknis hukum acara.

 

Persoalan lain yang juga harus mendapat perhatian adalah undang-undang perlu secara tegas mengatur mengenai hak gugat masyarakat sebagai korban tipikor baik untuk memperoleh restitusi maupun kompensasi atas kerugian yang diderita, termasuk juga mendefinisikan atau mengklasifikasikan korban tipikor, menentukan dan menilai kerugian dari tipikor dan juga mekanisme hukum yang dapat digunakan oleh korban. Ini sebagai bentuk optimalisasi peran serta masyarakat dan wujud keseriusan serta komitmen dalam agenda pemberantasan korupsi yang dalam konteks Indonesia masih tergolong sebagai kejahatan luar biasa. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar