Minggu, 08 Agustus 2021

 

Kesalahan Fatal Penggunaan Kata ”Meneladani”

Amin Iskandar ;  Penyelaras Bahasa Kompas

KOMPAS, 7 Agustus 2021

 

 

                                                           

Kita tentu sering melihat baliho besar di pinggir jalan dalam rangka peringatan hari keagamaan ataupun hari kelahiran tokoh-tokoh besar nasional. Baliho tersebut biasanya berisi ajakan mencontoh keteladanan tokoh-tokoh agama atau pahlawan nasional. Kata yang banyak tertera pada baliho-baliho itu adalah meneladani.

 

Kata meneladani juga lazim digunakan dalam berbagai kesempatan tanpa ada yang mempersoalkan. Pada momen Idul Adha belum lama ini, misalnya, para pemuka agama mengangkat kisah Nabi Ibrahim. Mereka dalam ceramah-ceramahnya mengajak umat untuk ”meneladani” keikhlasan Nabi Ibrahim yang mengorbankan anaknya atas perintah Tuhan.

 

Demikian halnya dalam peringatan Maulid Nabi, nasihat untuk mencontoh akhlak mulia Nabi Muhammad SAW juga disampaikan oleh para pemuka agama. Pada spanduk perayaan hari kelahiran Nabi tersebut kerap tertulis kata meneladani, contohnya: ”Mari Kita Meneladani Akhlakul Karimah Nabi Muhammad SAW”.

 

Saat peringatan Hari Pahlawan, para pejuang bangsa diangkat namanya untuk dijadikan contoh atau teladan dalam rangka cinta Tanah Air. Instansi pemerintah dan swasta berlomba-lomba mengajak masyarakat untuk ”meneladani” kepahlawanan para pejuang bangsa yang telah berjasa bagi Republik.

 

Kata meneladani juga dipakai dalam berbagai judul buku, tema diskusi, dan acara televisi.

 

Saking seringnya kata meneladani muncul, kita terus memaknai kata tersebut apa adanya tanpa menyadari bahwa sebenarnya penggunaan kata itu tidak tepat. Kesalahan berulang ini sesungguhnya fatal karena makna katanya melenceng dari yang dimaksudkan.

 

Mencontoh

 

Mari kita telusuri dari mana awal mula kesalahan yang sudah sangat umum ini. Kata meneladani dipakai dengan anggapan kata tersebut bermakna ’mengambil teladan’, ’mencontoh’, atau ’meniru’ seseorang atau tokoh yang memiliki perilaku mulia atau berjasa besar terhadap banyak orang.

 

Padahal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata meneladani bermakna ’memberikan teladan’. Meneladani berasal dari kata dasar teladan yang mendapat imbuhan meng-i. Adapun teladan bermakna sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh, yakni tentang perbuatan, kelakuan, sifat, dan sebagainya.

 

Untuk lebih memahami perbedaannya, kita ambil contoh kalimat dalam berita di sebuah media daring berikut ini.

 

”Dalam peringatan Maulid Nabi, Presiden mengajak umat Islam untuk meneladani akhlak terbaik Nabi Muhammad SAW yang sangat relevan dalam situasi pandemi saat ini, yaitu peduli terhadap lingkungan sekitar”.

 

Dalam berita ini disebutkan bahwa Presiden mengajak umat Islam untuk mengambil pelajaran dari sosok Nabi Muhammad yang menjadi suri teladan. Akhlak Nabi Muhammad, salah satunya peduli terhadap lingkungan sekitar, dijadikan contoh terbaik untuk menghadapi masa pandemi Covid-19 yang tidak bisa diatasi secara individual karena memerlukan ikhtiar bersama.

 

Jelas bahwa penggunaan kata meneladani dalam berita tersebut memiliki makna: umat Islam diharapkan mengambil teladan atau mencontoh Nabi Muhammad.

 

Namun, jika kita kembali melihat arti kata meneladani dalam KBBI, yakni ’memberikan teladan’, kalimat dalam berita tersebut justru bermakna kebalikannya. Kalimat di atas berarti Presiden mengajak umat Islam ’untuk memberikan teladan’ kepada Nabi Muhammad.

Tentu hal itu sangat tidak mungkin. Bagaimana mungkin umat memberi contoh kepada Nabi, yang sifat dan perbuatannya lebih mulia. Sebaliknya, Nabi-lah yang memberikan teladan kepada umat. Oleh karena itu, kalimat dengan menggunakan kata meneladani di atas sungguh melenceng dari maksud sebenarnya.

 

Contoh lainnya:

 

”Generasi muda diajak untuk meneladani pahlawan bangsa dalam mencintai Tanah Air”.

 

Sama seperti kalimat sebelumnya, kalimat di atas menyimpang dari maksud sebenarnya. Tentu tidak sesuai logika bahwa generasi muda yang memberikan teladan kepada para pahlawan yang telah tiada dan berjasa besar terhadap bangsa.

 

Meneladan

 

Setelah memahami kesalahan fatal ini, jadi sesungguhnya kata apa yang sesuai untuk konteks kalimat-kalimat di atas? Jawabannya tentu dengan melihat kembali makna yang tepat di kamus.

 

Dalam konteks menjadikan seorang tokoh sebagai teladan, kata yang semestinya digunakan adalah meneladan alih-alih meneladani. Meneladan, sesuai dengan KBBI, bermakna ’mencontoh’ atau ’meniru’. Dengan demikian, perbaikan kalimat dapat dilakukan dengan mengganti kata meneladani menjadi meneladan:

 

”Generasi muda diajak untuk meneladan pahlawan bangsa dalam mencintai Tanah Air”.

 

Kalimat itu berarti yang menjadi teladan adalah pahlawan bangsa, sedangkan yang mengambil teladan adalah generasi muda. Dengan demikian, makna kalimat tersebut sesuai dengan maksudnya.

 

Begitu pula untuk contoh kalimat sebelumnya, perbaikannya menjadi:

 

”Dalam peringatan Maulid Nabi, Presiden mengajak umat Islam untuk meneladan akhlak terbaik Nabi Muhammad SAW yang sangat relevan dalam situasi pandemi saat ini, yaitu peduli terhadap lingkungan sekitar”.

 

Untuk meyakini perbaikan yang kita lakukan itu tepat atau tidak, kata meneladan bisa diuji menggunakan sinonim atau persamaan katanya, seperti mencontoh atau meniru.

 

Meneladani

 

Mengenai kata meneladani, bagaimana penggunaan kata tersebut yang benar?

 

Untuk membedakan penggunaan kata meneladan dan meneladani, kita ambil contoh dua kalimat sederhana berikut.

 

1.   Anak meneladan

2.   Orangtua meneladani

 

Kalimat pertama berarti seorang anak mencontoh orangtuanya. Adapun kalimat kedua bermakna orangtua mencontohi (memberi contoh kepada) anaknya.

 

Nah, mulai sekarang, jika ada orang memberikan nasihat untuk meneladani orangtua, sudah selayaknya kita menolak. Sebab, tentu saja, yang tepat adalah kita harus meneladan orangtua. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar