Cawapres
untuk Jokowi
Syamsuddin Haris ; Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS,
12 Maret
2018
Rapat Kerja Nasional PDI
Perjuangan di Bali akhirnya memutuskan mengusung kembali Joko Widodo (Jokowi)
sebagai calon presiden pada 2019. Istana semakin ramai dikunjungi para
pesohor. Elite politik, media, dan lembaga survei pun sibuk mengutak-atik,
siapa calon wakil presiden yang tepat bagi Jokowi?
Keputusan rakernas Bali mengakhiri
spekulasi tentang tertundanya pencapresan Jokowi oleh basis politiknya
sendiri, PDI Perjuangan, padahal, tujuh partai politik lainnya sudah
mendeklarasikan dukungan bagi Jokowi. Ketujuh parpol terdiri atas empat
partai di DPR hasil Pemilu 2014 (Nasdem, Golkar, Hanura, dan PPP), dan tiga
partai non-DPR (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia/PKPI, Partai
Solidaritas Indonesia/PSI, dan Partai Persatuan Indonesia/Perindo).
Perhatian publik jelang Pilpres
2019 saat ini bukan lagi soal calon presiden (capres), tetapi justru pada
calon wakil presiden (cawapres). Hal ini bukan semata-mata karena sosok
capres sudah relatif jelas, yakni Jokowi sebagai petahana dan Prabowo
Subianto selaku penantang, tetapi juga karena peluang munculnya capres ketiga
relatif kecil. Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
membatasi, hanya parpol dan/atau gabungan parpol yang memperoleh 25 persen
suara atau 20 persen kursi DPR yang dapat mengajukan pasangan capres dan
cawapres. Mahkamah Konstitusi beberapa waktu yang lalu mengukuhkan kembali
amanat UU Pemilu tersebut melalui keputusan MK yang akhirnya menolak uji
materi (judicial review) yang diajukan sejumlah pihak terkait hal itu.
Apabila lima parpol koalisi
pendukung Jokowi yakni PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, Hanura, dan PPP (total
52,1 persen suara, 51,7 persen kursi) mengusung kembali Jokowi, maka yang
tersisa tinggal Gerindra, PKS, PAN, PKB, dan Partai Demokrat. Jika Gerindra
dan PKS mencalonkan Prabowo—kebetulan jumlah kursinya pas 20 persen—maka
gabungan suara ataupun kursi Demokrat (persentase suara 10,2 persen/kursi
10,9 persen) dan PAN (suara 7,7 persen/kursi 8,8 persen) tak cukup
memenuhi syarat mengajukan capres di luar Jokowi dan Prabowo.
Potensi munculnya poros ketiga
hanya terjadi jika PKB (suara 9,0 persen/kursi 8,4 persen) –parpol koalisi
tetapi belum mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi—akhirnya memilih
bergabung dengan Demokrat dan PAN. Kalaupun misalnya PKB bergabung dengan
Demokrat dan PAN, pertanyaannya, siapa yang menjadi capres? Bukankah,
dalam konteks Pilpres 2019, baik Muhaimin Iskandar maupun tokoh muda Partai
Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono lebih dipersiapkan dan memposisikan diri
sebagai cawapres ketimbang capres?
Empat sumber
Meskipun PDI Perjuangan sudah
memutuskan pengusungan kembali Jokowi, belum jelas siapa cawapres yang
dianggap tepat. Idealnya, Jokowi membutuhkan cawapres yang tidak sekadar
kompeten, visioner, serta memiliki chemistry dan bisa bekerja sama dengan
mantan walikota Solo tersebut, tetapi juga kandidat yang
merepresentasikan keberagaman Indonesia. Akan tetapi, adakah cawapres yang
memenuhi syarat ideal tersebut?
Dalam kaitan tersebut, paling
kurang ada empat sumber cawapres yang tersedia bagi Jokowi. Pertama, para
ketua umum parpol koalisi pendukung Jokowi di luar Ketua Umum PDI Perjuangan
Megawati yang sudah pernah menjadi wapres (1999-2001) dan bahkan presiden
(2001-2004). Partai-partai Golkar, Hanura, Nasdem, PKB, PPP, dan PAN tentu
akan berusaha mengajukan nama ketua umum dan/atau ketua dewan pembina partai
masing-masing sebagai pendamping Jokowi pada Pilpres 2019. Di pucuk pimpinan
parpol ini secara berturut-turut ada nama Airlangga Hartarto, Wiranto, Surya
Paloh, Muhaimin Iskandar, M Romahurmuziy, dan Zulkifli Hasan.
Kedua, para tokoh masyarakat,
termasuk kalangan profesional, perempuan, dan pemimpin-pemimpin organisasi
kemasyarakatan, juga dapat menjadi sumber cawapres bagi Jokowi. Sejumlah nama
dapat didaftar untuk kategori ini seperti Mahfud MD, Yenny Wahid, Jimly
Asshiddiqie, Chairul Tanjung, serta Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dan Ketua
Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Nama tokoh-tokoh masyarakat ini tentu
bisa didaftar lebih panjang lagi.
Ketiga, para menteri Kabinet Kerja
yang kinerjanya dianggap mampu memenuhi harapan Presiden, adalah salah satu
sumber cawapres lainnya yang bisa dilirik Jokowi. Ada beberapa menteri yang
menonjol dibandingkan yang lain seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dan Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono. Ada juga menteri yang
memiliki kedekatan politik dengan Jokowi seperti Puan Maharani, putri Ketua
Umum PDI Perjuangan Megawati, yang menjabat menko pembangunan manusia dan
kebudayaan dalam Kabinet Kerja.
Keempat, mereka yang secara
elektoral terekam oleh lembaga-lembaga survei. Ada banyak nama di luar Jokowi
dan Prabowo, namun hampir tidak satu pun yang benar-benar signifikan secara
elektoral. Sejumlah hasil survei mengkonfirmasi, selain Jusuf Kalla yang
sudah dua kali menjadi wapres, beberapa nama yang berada di lapis kedua
sesudah Jokowi dan Prabowo, di antaranya adalah Anies Baswedan, Gatot
Nurmantyo, dan Agus Yudhoyono. Di lapisan berikutnya ada banyak nama lain
yang potensi elektabilitasnya lebih rendah lagi.
Friksi internal koalisi
Dari empat sumber cawapres tersebut,
persaingan relatif ketat berlangsung di antara pimpinan parpol koalisi
pendukung Jokowi sendiri. Jauh-jauh hari Muhaimin bahkan telah
mendeklarasikan diri sebagai cawapres melalui baliho ukuran besar hampir di
seantero Tanah Air. Namun yang menarik, sebagai parpol koalisi pendukung
Jokowi, PKB sendiri belum mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi sebagai
capres 2019, sehingga tidak jelas bagi sebagian publik, ketua umum PKB ini
hendak menjadi cawapres bagi Jokowi, Prabowo, atau yang lain.
Di luar Muhaimin, Ketua Umum
Hanura Oesman Sapta Odang mengumumkan untuk mencalonkan Wiranto sebagai
pendamping Jokowi pada pilpres mendatang. Ketua-ketua umum parpol koalisi
lainnya tentu berharap sama, dipinang Jokowi untuk menggantikan posisi Jusuf
Kalla. Golkar yang begitu bersemangat mendukung Jokowi, tentu tak ingin
kehilangan momentum untuk mengusung Airlangga Hartarto sebagai pendamping
mantan gubernur Jakarta tersebut. Apalagi hubungan Jokowi dan Golkar tengah
mengalami masa bulan madu politik, sehingga Airlangga pun dibiarkan tetap
menjabat sebagai menteri perindustrian merangkap ketua umum partai beringin.
Apakah cawapres bagi Jokowi
berasal dari pimpinan parpol, tak seorang pun tahu. Sebagai kader PDI
Perjuangan, saya kira Jokowi tahu diri, sehingga belum tentu ia bisa memilih
cawapres sendiri. Apalagi potensi friksi internal koalisi akan muncul bila
cawapres berasal dari salah satu pimpinan parpol koalisi. Di sisi lain,
koalisi banyak parpol tidak sepenuhnya identik dengan dukungan elektoral,
sehingga tak ada jaminan pula bahwa pilihan atas cawapres dari parpol koalisi
akan turut mengerek elektabilitas Jokowi.
Tunaikan janji politik
Oleh karena itu prioritas Jokowi
saat ini semestinya bukanlah mencari dan memikirkan cawapres pendamping.
Komunikasi dan lobi-lobi politik dengan pimpinan parpol pendukung dan para
elite politik lain memang penting dan perlu. Namun yang tak kalah penting dan
seharusnya menjadi prioritas Presiden adalah memanfaatkan waktu 18 bulan
periode akhir masa jabatan untuk memenuhi janji-janji politik yang terlanjur
terucap. Biarlah cawapres menjadi urusan para ketua umum parpol koalisi
pendukung.
Dalam jangka waktu yang pendek ini
Jokowi sebaiknya fokus pada evaluasi diri atas pencapaian kinerja, termasuk
melunasi utang politik yang belum terbayar serta juga memenuhi tuntutan
sembilan program prioritas (Nawacita) Jokowi-JK. Apa saja program dan
kebijakan yang berhasil dicapai, apa yang belum, serta apa saja yang
terkendala. Dalam konteks Nawacita, misalnya, sejauh mana pemerintah berhasil
menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan
rasa aman pada seluruh warga negara dalam berbagai dimensi kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Evaluasi jujur Presiden Jokowi
atas pencapaian kinerja, serta pengakuan atas keterbatasan kapasitas
pemerintah dalam memenuhi janji-janji politik, hemat saya akan memberi
kontribusi elektoral yang signifikan ketimbang sekadar mencari dan
mengutak-atik cawapres. Siapa pun cawapres bagi Jokowi, ia haruslah seorang
tokoh yang bersih, memiliki rekam jejak sebagai pemimpin berintegritas, tidak
memiliki cacat hukum dan beban politik masa lalu, serta mempunyai komitmen
kebangsaan dan keindonesiaan yang kuat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar