Penyebaran
Isu Provokatif
Rahma Sugihartati ; Dosen Ilmu Informasi FISIP Unair
|
KOMPAS,
12 Maret
2018
Polisi kembali menangkap pelaku
penyebaran hoaks dan isu provokatif di media sosial. Dilaporkan ada empat
orang yang ditangkap polisi di Jakarta, Bali, Bangka belitung dan Jawa Barat.
Para pelaku ditangkap karena terlibat aktivitas pencemaran nama baik Presiden
Jokowi, dan penyebaran ujaran kebencian yang memanfaatkan isu penculikan
ulama dan kebangkitan Partai Komunis di Indonesia. Dalam dua bulan
pertama 2018, polisi sudah menangkap 22 orang yang diduga terlibat
penyebarluasan hoaks dan ujaran kebencian.
Pada 2017 lalu polisi berhasil
membongkar kerja grup Saracen yang secara sengaja memperdagangkan hoaks dan
ujaran kebencian layaknya komoditi yang bisa diperjual-belikan. Awal 2018,
polisi kembali mengamankan 18 orang karena terlibat aktivitas penyebarluasan
ujaran kebencian. Kasus yang terbaru, 26 Februari 2018, polisi telah menangkap
lima orang anggota The Family Muslim Cyber Army (TFMCA) yang diduga terlibat
dalam kasus yang sama.
Ancaman yang timbul
Di tahun di mana suhu politik
sedang naik, penyebarluasan hoaks dan ujaran kebencian di medsos dan dunia
maya harus diakui sangat mencemaskan. Bukan tak mungkin masyarakat yang tidak
memiliki literasi kritis yang memadai kemudian menjadi mudah termakan isu
yang sengaja “digoreng” di media sosial hingga menjadi bibit dan habitat yang
subur bagi munculnya friksi, atau bahkan konflik terbuka di masyarakat.
Seperti dikatakan Jenkins, Ford
dan Green (2013), dewasa ini perkembangan teknologi informasi, aplikasi
daring dan internet telah meningkatkan kecepatan dan lingkup berbagi pesan
media, yang kemudian memunculkan praktik-praktik yang terkadang melanggar
etika dan kontra-produktif bagi kemajuan.
Dalam dua tahun terakhir,
pengaduan masyarakat naik 900 persen terkait konten kebencian dan informasi
bohong di situs internet, akun medsos, aplikasi telepon genggam dan perangkat
lunak. Kenaikan pengaduan masyarakat yang luar biasa tinggi ini membuktikan
penyebarluasan ujaran kebencian dan hoaks di medsos sudah tak lagi bisa
ditoleransi.
Secara garis besar, ancaman bahaya
di balik ulah para provokator penyebar ujaran kebencian dan hoaks adalah, pertama,
terjadinya akumulasi penyebarluasan ujaran kebencian dan hoaks yang membuat
masyarakat tak lagi bisa membedakan mana informasi yang benar dan mana pula
yang salah. Ketika ujaran provokatif sengaja dikemas dan disebarluaskan,
bukan tak mungkin masyarakat akan mensirkulasi dan meresirkulasi ke teman
atau grup medsos lain sehingga dalam hitungan detik telah menyebar pada
ratusan, ribuan atau bahkan jutaan pengguna medsos lain.
Di era masyarakat digital di mana
dalam hitungan detik warganet dengan mudah bisa mengakses informasi dan
menjadi penerima sekian banyak informasi, maka penyebarluasan hoaks dan
ujaran kebencian ibaratnya seperti bara api yang mudah menyala karena disiram
bahan bakar. Bukannya meredam dan memendam informasi yang dirasa keliru, dalam
kenyataan mereka justru tanpa berpikir panjang menyebarluaskan ke orang
lain dengan harapan memperoleh kepuasan dan dukungan sosial.
Kedua, munculnya konstruksi sosial
yang salah di masyarakat terhadap kebenaran sebuah informasi, dan
ujung-ujungnya akan melahirkan sikap ideologis dan politis yang salah pula.
Bagi warga masyarakat yang memiliki preferensi ideologi dan dukungan politik
pada kelompok tertentu, dengan mudah mereka akan mudah termakan isu
provokatif dan menelan bulat-bulat isu itu layaknya sebuah keyakinan.
Seseorang yang sejak awal sudah
tak menyukai orang tertentu, atau seseorang yang sejak awal sudah mendukung
pihak tertentu, biasanya dengan mudah akan membenarkan dan kemudian
meresirkulasi isu tertentu sepanjang isu itu dianggap menguntungkan
kelompoknya. Alih-alih memeriksa kebenaran informasi itu, yang terjadi mereka
biasanya malah menjadi prosumer yang menambah bumbu-bumbu informasi lain yang
justru kian memperkeruh suasana.
Ketiga, ketika penyebaran
informasi yang provokatif dilakukan secara intens, maka cepat atau lambat hal
itu akan berpotensi memicu munculnya konflik yang semula laten (latent)
menjadi manifest. Pengalaman selama ini telah banyak membuktikan, akibat
hoaks dan penyebaran ujaran kebencian, di akar rumput dengan mudah terprovokasi
dan tidak segan melakukan aksi kekerasan karena dipicu sentimen yang diberi
pupuk informasi hoaks dan ujaran kebencian melalui medsos.
Munculnya berbagai sikap intoleran
dan sensitivitas masyarakat yang begitu mudah terprovokasi jika dilacak ke belakang
sering berkaitan dengan risiko mereka terkontaminasi informasi bohong dan
ujaran kebencian. Narasi dan foto bermuatan kebencian yang banyak bertebaran
di medsos, yang diunggah pihak-pihak tertentu dengan pseudo name, sering
menjadi pemicu bagi munculnya aksi intoleransi dan bahkan tindak kekerasan.
Jalan pintas
Saat ini, paling tidak ada
sembilan kelompok yang tengah diburu aparat kepolisian karena menjadi penebar
isu provokatif, yaitu Akademi Tempur MCA, Pojok MCA, The United MCA, The
legend MCA, M. Coming, MCA News Legend, Special Force MCA, Srikandi MCA dan
M. Sniper. Mereka semua adalah sekelompok orang yang dengan sengaja melakukan
proses komodifikasi pada hoaks dan ujaran kebencian untuk mencari keuntungan:
semacam tindakan untuk mengail di air keruh yang jahat.
Di tahun 2018 yang disebut-sebut
sebagai tahun politik, ulah berbagai kelompok yang melakukan proses
komodifikasi terhadap isu provokatif ini, tentunya sangat memprihatinkan.
Penyebarluasan isu provokatif bukan hanya berpotensi melahirkan keresahan
sosial, tetapi juga kontra-produktif bagi proses pengembangan demokratisasi.
Pengalaman selama ini telah mengajarkan, kekuatan medsos sebagai media
kampanye sekarang ini jauh lebih efektif daripada iming-iming politik uang.
Dalam percaturan politik, keberadaan medsos tak sekadar hanya menjadi media
untuk berkomunikasi dan menyebarluaskan program para kandidat, tetapi sering
kali pula medsos dimanfaatkan untuk melakukan pembunuhan karakter lawan,
melakukan pencemaran nama baik lawan, dan bahkan dengan cara menyebarluaskan
berita bohong.
Fitnah, ujaran kebencian, berita
hoaks adalah makanan keseharian yang dihadapi elite politik ketika kehidupan
berdemokrasi yang sehat belum sepenuhnya terbentuk. Alih-alih beradu program
dan tampil secara terbuka di televisi dalam acara debat antarkandidat untuk
mendemonstrasikan siapa yang lebih menguasai persoalan, dan program siapa
yang lebih menjanjikan, dalam kenyataan tak jarang para pendukung kandidat
politik tertentu memilih jalan pintas.
Ketika masyarakat masih belum
memiliki tingkat literasi kritis memadai, kemungkinan mereka terperdaya oleh
berita hoaks dan ujaran kebencian memang sangat besar. Daripada
bersusah-payah menyiapkan diri dan membangun reputasi untuk berkompetisi
secara sehat, memanfaatkan medsos untuk menebar kampanye hitam adalah pilihan
yang acapkali lebih menarik.
Kehidupan privat elite politik
yang maju dalam persaingan di Pilkada biasanya menjadi sasaran empuk untuk
dikritisi dan dijadikan amunisi menembak kelemahan lawan. Berbeda dengan di
Amerika Serikat di mana masyarakat relatif sudah bisa membedakan mana ranah
privat dan mana pula kinerja seorang pemimpin yang obyektif, di Indonesia dua
hal itu sering kali dicampuradukkan.
Sebaik apapun kinerja seorang
pemimpin, ketika di wilayah privat mereka memiliki sedikit saja kesalahan di
masa lalunya, maka bisa dipastikan hal itu akan menjadi amunisi bagi lawan
politiknnya untuk menyerang habis-habisan hingga memenangkan persaingan.
Kasus yang terjadi dalam dinamika
politik di DKI Jakarta, di Jawa Timur, dan di berbagai daerah lain di Tanah
Air adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga. Semoga kedewasaan sikap
politik dan tingkat literasi masyarakat makin tumbuh menghadapi tahun politik
yang penuh intrik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar