Partai-partai
Setelah Soeharto
Hendardi ; Ketua Badan Pengurus Setara Institute
|
KOMPAS,
12 Maret
2018
Meski rezim Soeharto sudah
tumbang, kekuasaan oligarki yang berwatak predatoris (predatory oligarchy)
tetap bercokol. Oligarki—segelintir lapisan super kaya yang
berkuasa—menemukan jalan untuk kembali dalam situasi politik yang berubah,
yaitu mengisi perubahan institusi politik melalui partai politik, parlemen,
dan desentralisasi.
Itu sebabnya mengapa
partai-partai politik pasca-Soeharto berada dalam jangkauan faksi-faksi
oligarki yang telah melakukan reorganisasi. Kini, tambahan partai baru
peserta Pemilu 2019, juga tak lepas dari oligarki. Oleh karena itu, demokrasi
elektoral haruslah dilihat sebagai “demokrasi oligarki” baik yang saling
bersaing maupun berkoalisi untuk memanfaatkan kontestasi politik.
Cara
memerintah
Usai jatuhnya Soeharto,
relasi kuasa yang didominasi oligarki predatoris tak berubah. Tetapi, para
elite negara dan politik tak bisa lagi memerintah dengan cara yang sama
seperti sebelumnya (Hadiz: 2005). Mereka menghadapi tuntutan reformasi
institusional baik di pusat maupun daerah.
Kekuasaan negara yang
tersentralisasi di tangan rezim politik telah berakhir, terjadilah
desentralisasi. Perubahan cara memerintah ini berjalan melalui beberapa
realitas politik.
Pertama, desentralisasi
kekuasaan negara berlangsung setelah diberlakukannya UUD 1945 hasil
amandemen. Presiden tak lagi dipilih oleh MPR, melainkan langsung melalui
pemilu presiden dan wakil presiden. Presiden tak dapat lagi membekukan atau
membubarkan parlemen. Sebaliknya, wewenang DPR diperkuat.
Kedua, kenyataannya sejak
hasil Pemilu 1999 hingga kini, tak satu pun partai menguasai mayoritas
tunggal di parlemen sebagaimana Golkar pada masa Soeharto. Implikasinya,
setiap calon presiden dibatasi oleh koalisi dalam membentuk pemerintahan.
Politik transaksional tak terhindarkan.
Ketiga, amandemen UUD 1945
juga telah meningkatkan independensi kekuasaan kehakiman (MA dan MK) serta
BPK. Dengan independensi ini maka kekuasaan Presiden juga dibatasi, yaitu
secara resmi tak boleh mencampuri atau mengendalikan wewenang dan fungsi
kedua lembaga negara tersebut.
Keempat, distribusi
kekuasaan bertambah seiring terbentuknya sejumlah lembaga negara penunjang
(state auxiliary bodies) seperti KPK, KPU dan Komnas HAM yang independen dan
tidak berada di bawah wewenang presiden.
Kelima, desentralisasi
kekuasaan negara pun meluas dengan otonomi yang lebih besar terhadap
pemerintahan daerah yang diberlakukan sejak Januari 2001. Pada paruh 2005,
kepala-kepala daerah—gubernur, bupati dan walikota—mulai dipilih secara
langsung, tak lagi melalui DPRD atau ditunjuk Presiden.
Dengan begitu,
desentralisasi kekuasaan negara telah tersebar ke banyak lembaga, tak lagi
tersentralisasi dan terkonsentrasi di tangan Presiden. Parlemen dan
kepala-kepala daerah juga bisa mengalokasi sumber daya negara sesuai otoritas
mereka.
Partai
oligarki
Setelah dihantam gelombang
krisis finansial, pemerintah kesulitan menarik investasi. Sehingga terpaksa
kompromi dengan para konglomerat yang terlibat skandal BLBI untuk
restrukturisasi utang dan memberi izin mereka membeli aset-aset yang disita
BPPN dengan harga lebih murah.
Cara memerintah seperti
itu rawan dibajak oleh oligarki. Kerawanan ini menguat ketika elemen-elemen
masyarakat sulit bangkit dari kondisi disorganisasi. Apalagi reformasi
institusional politik tidak melibatkan lapisan masyarakat yang sebelumnya
tenggelam dalam represi panjang Orde Baru.
Disorganisasi masyarakat
menjadi pintu masuk oligarki dari rezim Soeharto untuk kembali berkuasa dalam
pola akumulasi kekayaan yang bersifat predatoris dan pemburuan rente (Evans:
1989). Dari pintu-pintu reformasi institusional ini pula oligarki bergerak
mengontrol politik dan pemerintah.
Kehilangan patron utama
Soeharto juga ditandai dengan perubahan tipe oligarki, dari oligarki bertipe
sultanistik menjadi penguasa kolektif (Winters: 2011). Tipe ini buah dari
reorganisasi kekuasaan predatoris yang lebih terdesentralisasi melalui
jaringan patronase yang tersebar, koalisi-koalisi cair, bahkan saling
bersaing.
Partai
politik
Salah satu institusi
sebagai jalur untuk menguasai aparatur negara adalah partai politik. Maka
beberapa faksi oligarki menyusup ke partai. Golkar adalah partai rezim
Soeharto yang sebagian dikuasai pengusaha-politik, mudah menyesuaikan diri
dalam format politik baru. PDIP dan PAN juga menarik masuk sejumlah pengusaha
sebagai pengurus.
Meski rezim Soeharto sudah
tumbang, kekuasaan oligarki yang berwatak predatoris (predatory oligarchy)
tetap bercokol. Oligarki—segelintir lapisan super kaya yang
berkuasa—menemukan jalan untuk kembali dalam situasi politik yang berubah,
yaitu mengisi perubahan institusi politik melalui partai politik, parlemen,
dan desentralisasi.
Itu sebabnya mengapa
partai-partai politik pasca-Soeharto berada dalam jangkauan faksi-faksi
oligarki yang telah melakukan reorganisasi. Kini, tambahan partai baru
peserta Pemilu 2019, juga tak lepas dari oligarki. Oleh karena itu, demokrasi
elektoral haruslah dilihat sebagai “demokrasi oligarki” baik yang saling
bersaing maupun berkoalisi untuk memanfaatkan kontestasi politik.
Cara
memerintah
Usai jatuhnya Soeharto,
relasi kuasa yang didominasi oligarki predatoris tak berubah. Tetapi, para
elite negara dan politik tak bisa lagi memerintah dengan cara yang sama
seperti sebelumnya (Hadiz: 2005). Mereka menghadapi tuntutan reformasi
institusional baik di pusat maupun daerah.
Kekuasaan negara yang tersentralisasi di tangan rezim politik telah berakhir, terjadilah desentralisasi. Perubahan cara memerintah ini berjalan melalui beberapa realitas politik.
Pertama, desentralisasi
kekuasaan negara berlangsung setelah diberlakukannya UUD 1945 hasil
amandemen. Presiden tak lagi dipilih oleh MPR, melainkan langsung melalui
pemilu presiden dan wakil presiden. Presiden tak dapat lagi membekukan atau
membubarkan parlemen. Sebaliknya, wewenang DPR diperkuat.
Kedua, kenyataannya sejak
hasil Pemilu 1999 hingga kini, tak satu pun partai menguasai mayoritas
tunggal di parlemen sebagaimana Golkar pada masa Soeharto. Implikasinya,
setiap calon presiden dibatasi oleh koalisi dalam membentuk pemerintahan.
Politik transaksional tak terhindarkan.
Ketiga, amandemen UUD 1945
juga telah meningkatkan independensi kekuasaan kehakiman (MA dan MK) serta
BPK. Dengan independensi ini maka kekuasaan Presiden juga dibatasi, yaitu
secara resmi tak boleh mencampuri atau mengendalikan wewenang dan fungsi
kedua lembaga negara tersebut.
Keempat, distribusi
kekuasaan bertambah seiring terbentuknya sejumlah lembaga negara penunjang
(state auxiliary bodies) seperti KPK, KPU dan Komnas HAM yang independen dan
tidak berada di bawah wewenang presiden.
Kelima, desentralisasi
kekuasaan negara pun meluas dengan otonomi yang lebih besar terhadap
pemerintahan daerah yang diberlakukan sejak Januari 2001. Pada paruh 2005,
kepala-kepala daerah—gubernur, bupati dan walikota—mulai dipilih secara
langsung, tak lagi melalui DPRD atau ditunjuk Presiden.
Dengan begitu,
desentralisasi kekuasaan negara telah tersebar ke banyak lembaga, tak lagi
tersentralisasi dan terkonsentrasi di tangan Presiden. Parlemen dan
kepala-kepala daerah juga bisa mengalokasi sumber daya negara sesuai otoritas
mereka.
Partai
oligarki
Setelah dihantam gelombang
krisis finansial, pemerintah kesulitan menarik investasi. Sehingga terpaksa
kompromi dengan para konglomerat yang terlibat skandal BLBI untuk
restrukturisasi utang dan memberi izin mereka membeli aset-aset yang disita
BPPN dengan harga lebih murah.
Cara memerintah seperti itu rawan dibajak oleh oligarki. Kerawanan ini
menguat ketika elemen-elemen masyarakat sulit bangkit dari kondisi
disorganisasi. Apalagi reformasi institusional politik tidak melibatkan
lapisan masyarakat yang sebelumnya tenggelam dalam represi panjang Orde Baru.
Disorganisasi masyarakat
menjadi pintu masuk oligarki dari rezim Soeharto untuk kembali berkuasa dalam
pola akumulasi kekayaan yang bersifat predatoris dan pemburuan rente (Evans:
1989). Dari pintu-pintu reformasi institusional ini pula oligarki bergerak
mengontrol politik dan pemerintah.
Kehilangan patron utama
Soeharto juga ditandai dengan perubahan tipe oligarki, dari oligarki bertipe
sultanistik menjadi penguasa kolektif (Winters: 2011). Tipe ini buah dari
reorganisasi kekuasaan predatoris yang lebih terdesentralisasi melalui
jaringan patronase yang tersebar, koalisi-koalisi cair, bahkan saling
bersaing.
Partai
politik
Salah satu institusi
sebagai jalur untuk menguasai aparatur negara adalah partai politik. Maka
beberapa faksi oligarki menyusup ke partai. Golkar adalah partai rezim
Soeharto yang sebagian dikuasai pengusaha-politik, mudah menyesuaikan diri
dalam format politik baru. PDIP dan PAN juga menarik masuk sejumlah pengusaha
sebagai pengurus.
Partai Demokrat yang
melenggang menjadi partai yang memerintah (the ruling party) sama saja. Lebih
belakangan, Partai Gerindra langsung dipimpin oleh figur dari keluarga
konglomerat. Menyusul Partai Nasdem yang dikuasai konglomerat media dan
properti. PKB dan Hanura pun ikut menarik pengusaha.
Kekuasaan oligarki di
dalam partai bertambah dengan hadirnya Partai Perindo yang berada di tangan
konglomerat media dan properti. Sambung menyambung oligarki semakin menguat
dengan Partai Berkarya besutan keluarga Cendana. Begitu juga Partai Garuda
yang disebut-sebut ada keluarga Cendana di belakangnya.
Dengan banyaknya partai
yang dikuasai atau dikendalikan oligarki sebagai jalur menuju aparatur
negara, pemerintah dan parlemen akan sulit lepas dari cengkeraman oligarki
dalam berebut sumber daya negara. Begitu pula pemerintah daerah dan DPRD.
Sialnya, kekuasaan oligarki predatoris makin membuat “negara korup”.
Politik seperti itu memang
bisa disebut “demokrasi oligarki” karena mengabdi pada kepentingan oligarki
predatoris. Karena itu, diperlukan politik tandingan untuk memutus kondisi
disorganisasi berbagai elemen masyarakat agar bangkit dan berjuang untuk
redistribusi kekayaan publik.
Partai Demokrat yang
melenggang menjadi partai yang memerintah (the ruling party) sama saja. Lebih
belakangan, Partai Gerindra langsung dipimpin oleh figur dari keluarga
konglomerat. Menyusul Partai Nasdem yang dikuasai konglomerat media dan
properti. PKB dan Hanura pun ikut menarik pengusaha.
Kekuasaan oligarki di
dalam partai bertambah dengan hadirnya Partai Perindo yang berada di tangan
konglomerat media dan properti. Sambung menyambung oligarki semakin menguat
dengan Partai Berkarya besutan keluarga Cendana. Begitu juga Partai Garuda
yang disebut-sebut ada keluarga Cendana di belakangnya.
Dari realitas itu,
oligarki tak hanya berada di balik partai-partai, personifikasinya pun ada di
depan mata. Dalam pemilu legislatif, mereka saling bersaing. Tetapi dalam
pemilu presiden, mereka berkoalisi.
Dengan banyaknya partai
yang dikuasai atau dikendalikan oligarki sebagai jalur menuju aparatur negara,
pemerintah dan parlemen akan sulit lepas dari cengkeraman oligarki dalam
berebut sumber daya negara. Begitu pula pemerintah daerah dan DPRD. Sialnya,
kekuasaan oligarki predatoris makin membuat “negara korup”.
Politik seperti itu memang
bisa disebut “demokrasi oligarki” karena mengabdi pada kepentingan oligarki
predatoris. Karena itu, diperlukan politik tandingan untuk memutus kondisi
disorganisasi berbagai elemen masyarakat agar bangkit dan berjuang untuk
redistribusi kekayaan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar