Jumat, 23 Maret 2018

Atas Nama Indonesia

Atas Nama Indonesia
Hasibullah Satrawi  ;   Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam;
Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir
                                              MEDIA INDONESIA, 21 Maret 2018



                                                           
SEIRING dengan semakin dekatnya pergelaran pilkada serentak 2018 yang akan dilanjutkan dengan pemilu pada 2019 mendatang, tensi politik mulai terasa meningkat. Belajar dari sebelumnya, pertarungan memperebutkan kekuasaan acap berlangsung panas, sarat dengan perselisihan yang tak jarang menimbulkan gesekan bahkan memanaskan hubungan antaranggota keluarga ataupun hubungan pertemanan.

Para pihak yang terlibat dalam kontestasi perebutan kekuasaan harus menyadari akan keberadaan kelompok ekstrem yang belum menerima NKRI dengan segala kebijakan dan ketentuan kenegaraan yang telah ditetapkan bangsa ini, termasuk sistem demokrasi dalam rangka proses pergantian kepemimpinan. Sebagian dari kelompok ini mungkin secara aktif melakukan perjuangan nyata untuk mengekspresikan penolakan mereka terhadap Indonesia sebagai negara Pancasila. Sebagian lain mungkin lebih memilih diam tak menampakkan sikap moral kebangsaannya.

Pantauan kelompok ekstrem

Keberadaan kelompok seperti di atas harus selalu hadir dalam pikiran para pihak yang terlibat dalam pertarungan politik untuk memperebutkan kekuasaan, bahwa pertarungan yang mereka lakukan terjadi dengan para pihak yang sama-sama menerima Indonesia sebagai negara kesatuan berdasarkan Pancasila. Yang paling penting bahwa pertarungan mereka senantiasa berada dalam pantauan kelompok ekstrem yang tidak menerima Indonesia sebagai negara Pancasila. 

Hal yang harus diperhatikan ialah, hampir dalam semua tahapan pertarungan perebutan kekuasaan seperti pilkada, kelompok ekstrem selalu bisa mengambil keuntungan. Ketika pertarungan memperebutkan kekuasaan ini berjalan lancar dan menghasilkan pemimpin terpilih, kelompok ini juga masih bisa mendapatkan keuntungan. Apabila kepemimpinan yang ada gagal membumikan nilai-nilai Pancasila, baik secara sosial, politik, maupun ekonomi dll, kegagalan itu bisa dijadikan pembenar oleh mereka dalam menolak Indonesia sebagai negara Pancasila.

Lebih menguntungkan lagi bagi kelompok ekstrem bila proses perebutan kekuasaan berjalan dengan tensi politik yang tinggi. Lebih-lebih sampai menimbulkan konflik komunal. Dalam bahasa mereka, peluang atau konflik internal ini disebut dengan istilah miftah as-shira’ yang secara bahasa bermakna kunci pembuka konflik.

Maksudnya ialah konflik komunal yang ada bisa dijadikan sebagai pintu masuk oleh mereka untuk merekrut anggota baru, melakukan latihan-latihan bersenjata, juga mengorganisasi penyerangan (termasuk kepada aparat) hingga pembentukan wilayah basis gerakan yang dalam bahasa mereka disebut dengan istilah qa’idah aminah (wilayah aman).

Situasi global dan regional seperti sekarang bisa lebih menguntungkan lagi bagi mereka, mengingat terjadinya berbagai peristiwa politik di tingkat global yang selama ini menjadi salah satu faktor bagi tumbuhnya kelompok seperti ini. Mulai dari memanasnya kembali konflik Israel-Palestina hingga persoalan Rohingnya.

Sebagian sumber dan analis bahkan memperkirakan medan jihad para teroris ke depan akan mengalami pergeseran, dari Timur Tengah ke Asia Tenggara. Tidak hanya karena NIIS telah jatuh di Suriah dan Irak. Tidak juga hanya karena banyaknya kelompok perlawanan seperti di Filipina. Tapi juga karena banyaknya pendukung tidur (khalaya na`imah) dari kelompok ini di wilayah Asia Tenggara, tak terkecuali di Indonesia (As-Sharq Al-Awsat, 20/11/17).   

Pembuktian Indonesia

Karena itulah, daripada menjadi ajang ketegangan demi ketegangan, pergantian kepemimpinan seperti pilkada ataupun pilpres harus dimaknai sebagai momentum pembuktian dari kebenaran pilihan Indonesia sebagai negara Pancasila. Pembuktian seperti ini menjadi tantangan tersendiri, mengingat proses pergantian kepemimpinan selama ini hanya dimaknai sebagai pembuktian keunggulan dan kekuasaan kelompok tertentu (malah mungkin individu tertentu) dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Sementara itu dari sisi yang berlawanan, sebagian dari kelompok ekstrem tidak mau menerima Indonesia sebagai negara Pancasila. Mereka menginginkan Indonesia menjadi negara agama, dan hal itu juga dilakukan atas nama cinta terhadap Indonesia. Inilah politik atas nama Indonesia dari dua sisi yang saling berlawanan. Dari satu sisi, atas nama Indonesia sebagian besar masyarakat berjuang untuk mempertahankan Indonesia sebagai negara Pancasila bersama ketentuan-ketentuan kebangsaan lainnya. Dari sisi yang lain, juga atas nama Indonesia, sebagian kecil pihak yang bercita-cita Indonesia menjadi negara agama berjuang untuk mengganti Pancasila bersama segala ketentuan kebangsaan lainnya.

Akan tetapi, sampai sekarang kelompok ini gagal mencapai tujuan perjuangan mereka karena terbentur pilihan dan konsensus final para pendiri bangsa yang menetapkan RI sebagai negara Pancasila dengan dukungan kuat dari masyarakat luas. Hal yang harus diperhatikan, dalam konteks di atas, Indonesia sebagai negara Pancasila bisa mengalami pemudaran secara perlahan lantaran praktik pembajakan nilai-nilai Pancasila yang dilakukan sebagian elite, khususnya ketika mereka memegang kekuasaan, hingga akhirnya keistimewaan RI sebagai negara Pancasila tidak membumi dan tidak dirasakan langsung masyarakat luas, khususnya secara ekonomi.

Adapun konsepsi RI sebagai negara agama senantiasa tersimpan rapi dalam sanubari suci mereka (dengan segala bayang-bayang keberhasilan) lantaran belum pernah diujicobakan. Hal ini bisa menjadi daya tarik tersendiri, minimal menimbulkan penasaran di sebagian masyarakat. ●

1 komentar: