Tantangan
bagi Presiden Jokowi
Saurip Kadi ; Mayor
Jenderal TNI (Purn); Mantan Aster KSAD
|
KOMPAS, 16 Mei 2017
Mendengarkan pidato Presiden Joko Widodo dalam temu
masyarakat Indonesia yang ada di Australia, 26 Februari 2017, telah membuka
mata hati dan pikiran kita bahwa slogan ”kerja-kerja-kerja” sama sekali
bukanlah untuk pencitraan, apalagi ”omdo” alias ”omong doang”.
Dengan semangat ”kerja-kerja-kerja”, sejumlah proyek yang
berpuluh tahun baru sebatas pada niat, akan, rencana, dan nanti, kini
diwujudkan. Tanpa harus banyak mendengar keberatan banyak pihak, APBN
serta-merta dialihkan ke infrastruktur.
Dalam tiga tahun pemerintahan Presiden Jokowi, belasan
ribu kilometer jalan negara dan ribuan kilometer jalan tol telah dan sedang
dibangun. Dalam hitungan maksimal dua tahun ke depan, sejumlah pelabuhan
udara dan laut, serta rel kereta api di sejumlah wilayah di luar Jawa akan
beroperasi. Pos-pos perbatasan telah dibangun dengan megah, puluhan
pembangkit listrik sedang dibangun secara merata di semua wilayah negeri. Kini
harga BBM di Papua disamakan, seperti yang berlaku di wilayah lainnya, dan
masih banyak prestasi lainnya yang selama ini tidak terekspos di media massa.
Presiden Jokowi sepertinya hendak mengatakan bahwa tanpa
dibarengi kesamaan perlakuan negara yang diwujudkan dalam bentuk kesamaan
fasilitas, infrastruktur, dan pelayanan publik tidak sepatutnya kita menyebut
sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pendek kata, Presiden
Jokowi sedang mendefinisikan ulang makna NKRI. Bukan hanya secara politik dan
hukum, tetapi juga makna kesamaan hak, manfaat keberadaan, dan perlakuan
negara terhadap segenap anak negeri, tanpa kecuali mereka yang tinggal di
bagian wilayah yang mana pun.
Meski demikian, ada satu pertanyaan yang harus kita jawab
bersama: mengapa Presiden Jokowi hanya mengutamakan infrastruktur, sementara
warisan pendahulunya berupa maraknya praktik mafia, premanisme,
kriminalisasi, korupsi, dan sejenisnya hingga kini terkesan dibiarkan begitu
saja?
Alih-alih menghentikannya, sekadar tanda-tanda perbaikan
saja belum terwujud. Upaya menuntaskan kasus megakorupsi yang terjadi di masa
lalu juga seolah hanya tanggung jawab KPK alias bukan pemerintahannya.
Sejumlah capital violence serta state terorisme
juga masih terjadi di beberapa tempat.
Infrastruktur sebagai unggulan
Kuatnya belenggu sistem telah membuat presiden yang
dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilu tak berdaya untuk membentuk zaken kabinet.
Sementara itu, figur yang disodorkan oleh pimpinan partai-partai dan tim-tim
suksesnya dalam pembentukan dan dua kali perombakan kabinet sebagian besar
justru figur yang belum keluar dari pasungan masa lalu. Beberapa di antaranya
nyata-nyata sebagai bagian dari masalah yang sedang dihadapi bangsa ini.
Memang, di luar jajaran kabinet, di antara 240 juta warga
negara nicaya banyak figur berintegritas dan berkapasitas serta bukan bagian
dari masalah masa lalu. Akan tetapi, dipastikan mereka belum dikenali
langsung oleh Presiden Jokowi. Realitas bahwa Presiden Jokowi adalah
pendatang baru dalam ”turbulensi” perpolitikan nasional kiranya bisa dipahami
bersama.
Presiden Jokowi juga banyak terkendala oleh kekacauan
aturan main tata kelola kekuasaan negara. Kita tahu, jangankan pada
lingkungan kementerian sipil, di lingkungan pemangku fungsi keamanan negara
saja terjadi kekacauan rule of the law dan rule of
engagement. ”Konflik” terbuka antara Panglima TNI dan Menteri Pertahanan
dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR pada 6 Februari 2017 adalah fakta.
Program Bela Negara yang melanggar ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 3
Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara juga terus dilakukan.
Begitu pula dalam menghadapi terorisme. Sebagai ancaman
negara, semestinya dalam memberantas, negara bisa mengerahkan semua kekuatan
nasional nya, termasuk tentaranya. Namun, UU terorisme membatasi terorisme
hanya sebagai tindak pidana semata sehingga untuk mengatasinya menjadi porsi
Polri. Polisi kemudian melakukan penyerbuan terhadap terduga teroris dengan
senjata laras panjang, layaknya tentara menghadapi ”kombatan” di medan perang.
Jatuhnya sejumlah korban tak bersenjata pun tidak bisa dielakkan. Dan, semua
pihak merasa tidak ada yang salah karena memang semua yang mereka kerjakan
sah secara hukum.
Dari kondisi yang seperti itulah, maka menjadi sangat
tepat kalau pilihan jatuh pada infrastruktur sebagai program unggulan.
Apalagi kemudian Presiden Jokowi memberi atensi secara khusus sehingga secara
terukur hasilnya segera dapat dinikmati oleh segenap warga bangsa di wilayah
mana pun. Karena itu, di luar infrastruktur, masih perlu waktu yang panjang
untuk menaklukkan segenap ”binatang buas” yang salah perlakuan malah akan
menerkamnya.
Cara cerdas sukseskan Nawacita
Dalam paruh pertama masa pemerintahannya, kita tahu
sejumlah menteri gagal paham dalam menerjemahkan Nawacita. Boleh jadi mereka
juga tidak tahu bahwa jiwa dan semangat Nawacita salah satu sumbernya adalah
tiga program unggulan (Trisakti) Bung Karno, yaitu ”retooling aparatur
negara, redistribusi alat produksi, dan penataan logistik nasional”.
Karena itu, ke depan, persoalan konsolidasi kekuasaan
untuk membuat kabinet menjadi zaken—tak peduli para menteri yang
berasal dari partai sekalipun—menjadi sangat mendasar. Perkuatan kementerian
dan lembaga yang terkait dengan reformasi birokrasi, hukum, agraria, dan semua
urusan yang terkait langsung dengan rakyat banyak perlu menjadi prioritas.
Kombinasi pilihan strategi nglurug tanpa bala (menyerbu
tanpa bala tentara), ”membalik kura-kura” (mengubah paradigma), dan
”memanfaatkan tenaga lawan” agar tidak membuat gejolak politik apa
pun—apalagi ”perang” dengan pihak mana pun—perlu dikedepankan. Dengan
demikian, ke depan tidak terjadi lagi ruang publik yang kosong dan kemudian
dipakai oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menggelar
”gamelan”, dan kemudian justru pemerintah sendiri sibuk menari di irama
kendang mereka.
Publik juga mengharapkan Presiden Jokowi mengambil langkah
dan upaya terukur untuk mewujudkan makna revolusi mental, reformasi
birokrasi, dan reformasi hukum yang terus dikumandangkan. Juga langkah-
langkah nyata yang konseptual dan komprehensif tentang ”reformasi agraria”
yang dikombinasikan dengan upaya swasembada pangan dan penyelamatan
lingkungan hidup, serta penataan logistik nasional sebagaimana tiga program
unggulan yang dicanangkan Bung Karno tersebut di atas.
Memang mustahil dalam 2,5 tahun sisa pemerintahannya
Presiden Jokowi mampu mewujudkan secara sempurna kontrak sosial Nawacita-nya.
Namun, setidaknya di akhir masa kepemimpinannya, sebuah perubahan model dalam
mewujudkan NKRI, sebagaimana yang dimaksudkan di atas, melahirkan harapan
baru dan sedikit banyak telah dirasakan hasilnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar