Rabu, 17 Mei 2017

Tantangan bagi Presiden Jokowi

Tantangan bagi Presiden Jokowi
Saurip Kadi  ;   Mayor Jenderal TNI (Purn);  Mantan Aster KSAD
                                                          KOMPAS, 16 Mei 2017



                                                           
Mendengarkan pidato Presiden Joko Widodo dalam temu masyarakat Indonesia yang ada di Australia, 26 Februari 2017, telah membuka mata hati dan pikiran kita bahwa slogan ”kerja-kerja-kerja” sama sekali bukanlah untuk pencitraan, apalagi ”omdo” alias ”omong doang”.

Dengan semangat ”kerja-kerja-kerja”, sejumlah proyek yang berpuluh tahun baru sebatas pada niat, akan, rencana, dan nanti, kini diwujudkan. Tanpa harus banyak mendengar keberatan banyak pihak, APBN serta-merta dialihkan ke infrastruktur.

Dalam tiga tahun pemerintahan Presiden Jokowi, belasan ribu kilometer jalan negara dan ribuan kilometer jalan tol telah dan sedang dibangun. Dalam hitungan maksimal dua tahun ke depan, sejumlah pelabuhan udara dan laut, serta rel kereta api di sejumlah wilayah di luar Jawa akan beroperasi. Pos-pos perbatasan telah dibangun dengan megah, puluhan pembangkit listrik sedang dibangun secara merata di semua wilayah negeri. Kini harga BBM di Papua disamakan, seperti yang berlaku di wilayah lainnya, dan masih banyak prestasi lainnya yang selama ini tidak terekspos di media massa.

Presiden Jokowi sepertinya hendak mengatakan bahwa tanpa dibarengi kesamaan perlakuan negara yang diwujudkan dalam bentuk kesamaan fasilitas, infrastruktur, dan pelayanan publik tidak sepatutnya kita menyebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pendek kata, Presiden Jokowi sedang mendefinisikan ulang makna NKRI. Bukan hanya secara politik dan hukum, tetapi juga makna kesamaan hak, manfaat keberadaan, dan perlakuan negara terhadap segenap anak negeri, tanpa kecuali mereka yang tinggal di bagian wilayah yang mana pun.

Meski demikian, ada satu pertanyaan yang harus kita jawab bersama: mengapa Presiden Jokowi hanya mengutamakan infrastruktur, sementara warisan pendahulunya berupa maraknya praktik mafia, premanisme, kriminalisasi, korupsi, dan sejenisnya hingga kini terkesan dibiarkan begitu saja?

Alih-alih menghentikannya, sekadar tanda-tanda perbaikan saja belum terwujud. Upaya menuntaskan kasus megakorupsi yang terjadi di masa lalu juga seolah hanya tanggung jawab KPK alias bukan pemerintahannya. Sejumlah capital violence serta state terorisme juga masih terjadi di beberapa tempat.

Infrastruktur sebagai unggulan

Kuatnya belenggu sistem telah membuat presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilu tak berdaya untuk membentuk zaken kabinet. Sementara itu, figur yang disodorkan oleh pimpinan partai-partai dan tim-tim suksesnya dalam pembentukan dan dua kali perombakan kabinet sebagian besar justru figur yang belum keluar dari pasungan masa lalu. Beberapa di antaranya nyata-nyata sebagai bagian dari masalah yang sedang dihadapi bangsa ini.

Memang, di luar jajaran kabinet, di antara 240 juta warga negara nicaya banyak figur berintegritas dan berkapasitas serta bukan bagian dari masalah masa lalu. Akan tetapi, dipastikan mereka belum dikenali langsung oleh Presiden Jokowi. Realitas bahwa Presiden Jokowi adalah pendatang baru dalam ”turbulensi” perpolitikan nasional kiranya bisa dipahami bersama.

Presiden Jokowi juga banyak terkendala oleh kekacauan aturan main tata kelola kekuasaan negara. Kita tahu, jangankan pada lingkungan kementerian sipil, di lingkungan pemangku fungsi keamanan negara saja terjadi kekacauan rule of the law dan rule of engagement. ”Konflik” terbuka antara Panglima TNI dan Menteri Pertahanan dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR pada 6 Februari 2017 adalah fakta. Program Bela Negara yang melanggar ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara juga terus dilakukan.

Begitu pula dalam menghadapi terorisme. Sebagai ancaman negara, semestinya dalam memberantas, negara bisa mengerahkan semua kekuatan nasional nya, termasuk tentaranya. Namun, UU terorisme membatasi terorisme hanya sebagai tindak pidana semata sehingga untuk mengatasinya menjadi porsi Polri. Polisi kemudian melakukan penyerbuan terhadap terduga teroris dengan senjata laras panjang, layaknya tentara menghadapi ”kombatan” di medan perang. Jatuhnya sejumlah korban tak bersenjata pun tidak bisa dielakkan. Dan, semua pihak merasa tidak ada yang salah karena memang semua yang mereka kerjakan sah secara hukum.

Dari kondisi yang seperti itulah, maka menjadi sangat tepat kalau pilihan jatuh pada infrastruktur sebagai program unggulan. Apalagi kemudian Presiden Jokowi memberi atensi secara khusus sehingga secara terukur hasilnya segera dapat dinikmati oleh segenap warga bangsa di wilayah mana pun. Karena itu, di luar infrastruktur, masih perlu waktu yang panjang untuk menaklukkan segenap ”binatang buas” yang salah perlakuan malah akan menerkamnya.

Cara cerdas sukseskan Nawacita

Dalam paruh pertama masa pemerintahannya, kita tahu sejumlah menteri gagal paham dalam menerjemahkan Nawacita. Boleh jadi mereka juga tidak tahu bahwa jiwa dan semangat Nawacita salah satu sumbernya adalah tiga program unggulan (Trisakti) Bung Karno, yaitu ”retooling aparatur negara, redistribusi alat produksi, dan penataan logistik nasional”.

Karena itu, ke depan, persoalan konsolidasi kekuasaan untuk membuat kabinet menjadi zaken—tak peduli para menteri yang berasal dari partai sekalipun—menjadi sangat mendasar. Perkuatan kementerian dan lembaga yang terkait dengan reformasi birokrasi, hukum, agraria, dan semua urusan yang terkait langsung dengan rakyat banyak perlu menjadi prioritas.

Kombinasi pilihan strategi nglurug tanpa bala (menyerbu tanpa bala tentara), ”membalik kura-kura” (mengubah paradigma), dan ”memanfaatkan tenaga lawan” agar tidak membuat gejolak politik apa pun—apalagi ”perang” dengan pihak mana pun—perlu dikedepankan. Dengan demikian, ke depan tidak terjadi lagi ruang publik yang kosong dan kemudian dipakai oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menggelar ”gamelan”, dan kemudian justru pemerintah sendiri sibuk menari di irama kendang mereka.

Publik juga mengharapkan Presiden Jokowi mengambil langkah dan upaya terukur untuk mewujudkan makna revolusi mental, reformasi birokrasi, dan reformasi hukum yang terus dikumandangkan. Juga langkah- langkah nyata yang konseptual dan komprehensif tentang ”reformasi agraria” yang dikombinasikan dengan upaya swasembada pangan dan penyelamatan lingkungan hidup, serta penataan logistik nasional sebagaimana tiga program unggulan yang dicanangkan Bung Karno tersebut di atas.

Memang mustahil dalam 2,5 tahun sisa pemerintahannya Presiden Jokowi mampu mewujudkan secara sempurna kontrak sosial Nawacita-nya. Namun, setidaknya di akhir masa kepemimpinannya, sebuah perubahan model dalam mewujudkan NKRI, sebagaimana yang dimaksudkan di atas, melahirkan harapan baru dan sedikit banyak telah dirasakan hasilnya.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar