Selasa, 09 Mei 2017

Shari'ati

Shari'ati
Goenawan Mohamad  ;   Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
                                                       TEMPO.CO, 08 Mei 2017




                                                           
Tak cukup hanya mengatakan kita harus kembali ke Islam. Kita harus jelaskan Islam yang mana: Islam-nya Abu Zarr atau Islam-nya Marwan Sang Penguasa.... Islam kaum miskin, rakyat yang diisap, atau Islam khalifah, Islam istana....
-- Ali Shari'ati

Iran, tahun 1960-an. Shah berkuasa dan dinas keamanan yang ditakuti itu, SAVAK, bekerja sebagai mata dan telinga di tiap sudut.
Syahdan, pada suatu pagi 2 Juni 1964 sebuah mobil Mercedes 320 sampai di pos perbatasan di Bazargan, dengan tiga orang dewasa dan tiga anak kecil di dalamnya. Petugas meminta mereka turun. Di dalamnya ada Ali Shari'ati beserta istri dan anak-anaknya, menumpang mobil milik seorang temannya dari Paris. Di pos perbatasan itu Shari'ati dipisahkan dari keluarganya dan diinterogasi.

Ia mungkin tak menyangka, setelah lima tahun ia kuliah di Sorbonne, Paris, SAVAK masih belum menghapus namanya sebagai pembangkang. Tahun 1952 ia, ketika masih jadi guru sekolah menengah dan mendirikan Persatuan Pelajar Islam, ikut dalam sebuah demonstrasi protes; ia ditangkap. Tahun 1957, setelah lulus dari universitas di Mashhad, ia juga dipenjarakan; ia anggota gerakan yang mendukung Perdana Menteri Mosaddeq yang digulingkan militer dengan bantuan CIA. Tahun 1959 ia bebas dari pengawasan; ia mendapat kesempatan ke Paris untuk melanjutkan studinya. Tapi pagi itu, dalam perjalanan pulang ke Mashhad, kota kelahirannya, ia disetop. Petugas keamanan mengirimnya ke penjara Qezel Qal'eh.

Ia ditahan selama enam minggu. Tapi kelak ia akan dipenjarakan lagi selama 18 bulan di Penjara Komiteh yang seram.

Dari pemikiran dan riwayatnya, namanya harum sebagai "ideolog Revolusi Iran"--revolusi yang meletus setahun setelah ia tiba-tiba meninggal di Southampton, Inggris, 19 Juni 1977. Bukunya, pamfletnya, rekaman pidatonya dibaca luas dalam perlawanan rakyat terhadap kekuasaan Shah--bahkan lebih dikenal ketimbang pemikiran Ayatullah Khomeini.

Tak berarti Shari'ati menawarkan doktrin yang "siap-pakai" seperti Lenin dalam Revolusi Rusia di awal abad ke-20. Tulisan Shari'ati lebih literer ketimbang sistematis--dan lebih menggugah. Gagasannya merupakan perjalanan mencari. Ia cendekiawan yang dibesarkan dalam tradisi Islam, khususnya Syiah, yang bergulat dengan masalah besar negerinya: penindasan politik dan sosial dan kebekuan pemikiran--hal-hal yang dialami banyak orang Iran waktu itu.

Ia beruntung. Iran punya khazanah yang kaya dalam sastra dan filsafat, dan terutama sufisme, dan sekaligus sumber-sumber intelektual abad ke-20. Tapi keberuntungan itu juga membawa problem. Hadirnya pelbagai acuan itu--terutama ajaran Islam yang mewariskan nilai-nilai luhur dan Marxisme yang menjanjikan pembebasan dan keadilan--sering membelah perspektif. Shari'ati mencoba, dengan susah payah, menghindari bentrok kedua acuan dalam hidupnya itu.

Ia ambil dari sejarah Islam satu tauladan: Abu Zarr. Tokoh ini hidup di abad ke-7, konon orang kelima pertama yang masuk Islam. Di bawah kekhalifahan Usman, ketika kekayaan mulai menumpuk di kalangan yang berkuasa, ia jadi penganjur kehidupan sosial yang merata. Ia menolak harta. Ia menolak jabatan. Dalam biografi yang ditulis Ali Rahnema, An Islamic Utopian, Shari'ati menyebut Abu Zarr sebagai pejuang "komunisme Islami", eshterakiyat-e eslami. Selain menerjemahkan riwayat hidup sahabat Nabi ini, Shari'ati mendorong pementasan sebuah lakon tentang tokoh ini--lakon yang disambut hangat di mana-mana.

Pada Abu Zarr, Shari'ati menemukan titik pertemuan antara yang "Islami" dan yang "Marxis". Tapi pada saat yang sama, seraya mengemukakan kritik kepada "Islam" para ulama yang hanya menengok ke belakang, Shari'ati mengecam Marxisme seperti yang dipraktekkan di Uni Soviet yang mengekang kemerdekaan perorangan.

Di sini tampak kecenderungannya mengedepankan kemerdekaan manusia (ia pengagum Sartre dan juga Iqbal), tapi kemerdekaan itu dikaitkannya dengan kesetaraan: hidup yang tanpa hierarki. Shari'ati bukan penyusun ideologi revolusi melalui bangunan kekuasaan. Kekuasaan ia singkiri.

Melalui gurunya di Paris, Louis Massignon, ia mengagumi Al-Hallaj, sufi yang dihukum mati penguasa agama. Itu sebabnya ia tambah mengedepankan sifat ke-sufi-an sebagai iman yang tulus yang berada di luar struktur. Itu sebabnya ia mengecam kehidupan umat dan ulama Syiah di bawah dinasti Safavi.

Dari segi ini Shari'ati beruntung. Ia meninggalkan dunia sebelum Revolusi Iran meletus dan menang. Republik Islam yang menggantikan Shah ternyata juga mencekik kemerdekaan sesama muslim. Sejumlah orang, dulu sama-sama berjuang, dihukum mati. Mimbar para mullah pun jadi takhta tersendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar