Selasa, 09 Mei 2017

Doa Pedagang Bunga

Doa Pedagang Bunga
Toriq Hadad  ;   Wartawan Senior Tempo
                                                       TEMPO.CO, 06 Mei 2017




                                                           
Ya, Tuhan, terima kasih atas banjir pesanan bunga papan belakangan ini. Sudah lebih dari lima ribu papan kami kirim ke Balai Kota Jakarta. Belum lagi yang ke markas besar kepolisian di Jakarta dan berbagai kota. Kalau satu papan lima ratus ribu rupiah, tentu kalkulator-Mu lebih canggih menghitung berapa untung kami.

Kami ikut terharu dengan simpati yang luar biasa untuk Ahok-Djarot yang kalah dalam pilkada lalu--tentu beritanya sudah sampai ke rumah-Mu. Kami memang sempat protes sedikit, agak sulit membuat huruf-huruf baru dari styrofoam untuk melayani ucapan yang aneh-aneh. Misalnya ini: Oh Tuhan, Kucinta Basuki, Kusayang Tjahaja, Rindu Purnama, Inginkan Basuki-Djarot. Dari Mami Cantik yang lagi Mellow. Orang bilang kelompok "mellow" beginilah yang membuat bara pilkada terus menyala. Tapi apa salahnya membuat ucapan manis begitu? Kami sama sekali tak melihat ada yang keliru dengan curhat begini.

Ah, di sini kami harus minta ampun, Tuhan, kami sudah tak jujur. Kalau boleh mengaku, sesungguhnya kami tak terlalu peduli: semakin banyak kelompok "mellow", grup "baper", semakin bejibun yang enggan move on, kami semakin untung. Kalau doa yang terlalu serakah ini salah, maafkan kami. Sudah lama kami tak panen, dan kami yakin karena Kau memelihara kelompok "baper" dan "mellow" itulah kami menikmati rezeki seperti sekarang. Pemerintah? Jangan harap. Malah beberapa tahun lalu pemerintah mengimbau aparatnya agar tidak banyak-banyak kirim ucapan selamat lewat bunga papan.

Jadi, mumpung lagi panen, kami tak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Order apa pun kami terima, termasuk dengan pesan yang sudah tak ada hubungannya dengan Ahok-Djarot. Ada ajakan untuk menjaga keutuhan NKRI, harapan kepada kepolisian untuk mewaspadai gerakan radikal dan intoleran. Kami bingung, apa sih konteks ucapan itu, lalu ditujukan kepada siapa? Tapi kami sih hepi-hepi saja memenuhi permintaan pelanggan.
Siapa pelanggan itu? Kami tak mau ambil pusing, apakah mereka pendukung Ahok-Djarot atau pendukung Anies-Sandi, itu urusan mereka. Prinsip kami sama dengan dokter, tidak boleh menolak "pasien".

Tentu Kau serba tahu alasan kami: kalau kami terseret politik di balik perang kembang ini, maka hanya kepusingan yang kami dapat, bisnis kami bisa kacau-balau. Bayangkan saja, Tuhan. Bunga papan yang cantik di Balai Kota itu tiba-tiba saja ada yang membakar. Kalau kami ikut berpolitik, waktu kami akan habis dengan menebak-nebak siapa pelakunya, siapa yang hendak dibuat buruk muka dengan pembakaran itu. Kami bingung, mengapa bunga yang indah mendadak dipakai untuk urusan yang jauh dari indah, bahkan jahat.

Kami bingung, kenapa sikap anti-radikalisme yang seharusnya kita yakini bersama mendadak harus dinyatakan lewat bunga papan. Mengapa tidak langsung dan terang-terangan saja dinyatakan kepada polisi atau presiden. Bukankah menyampaikan pesan lewat bunga papan itu mahal?

Tapi lagi-lagi kami berpura-pura: kalau dinyatakan langsung, jelas kami kehilangan pesanan. Tapi apakah harus kami berdoa supaya Engkau terus memelihara ketidaknormalan di sekitar kami agar dagangan kami tetap laris? Kami tak tahu. Bisikkan jawaban kepada kami.

Urusan tempat berdoa kepada-Mu pun bisa menjadi urusan panjang, Tuhan. Kalau kami memilih tidak ikut berdoa di Monas, kami dituduh tidak membela agama, paling tidak dianggap kadar keimanan kami lemah. Kalau ikut ke sana, kami dituduh radikal. Jadi, biarkan kami tidak ikut berdebat soal tempat berdoa ini. Kami hanya ingin Kau kabulkan doa kami ini: semoga ketidakwarasan ini cepat berlalu, tapi bunga kami tetap laku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar