Rabu, 03 Mei 2017

Revolusi Media Sosial

Revolusi Media Sosial
SH Sarundajang  ;  Anggota Dewan Pers
                                               MEDIA INDONESIA, 03 Mei 2017



                                                           
PERKEMBANGAN teknologi yang sangat cepat saat ini telah memunculkan alternatif baru dalam dunia jurnalisme. Kehadiran internet menjadi channel baru bagi para jurnalis untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat. Internet sebagai new media, lebih interaktif dan memberikan keleluasaan kepada para pengguna. Dampak media baru itu menyebabkan kanal informasi media tradisional seperti televisi, radio, dan media cetak beradaptasi dengan membuat versi online-nya. Kuatnya pengaruh media sosial dalam menyebarkan informasi diibaratkan seperti ini: “Media sosial adalah perkataan yang keluar dari mulut akibat pengaruh steroid”. Contohnya, berita kematian Michael Jackson pada 2009, para pengguna Facebook dan Twitter terlebih dahulu mengungkapkan kabar tersebut jika dibandingkan dengan jaringan pemberitaan utama lainnya, momen UCLA Medical Center membuat pengumuman resmi kematian tersebut.

Situs-situs jaringan berita, mesin pencari, dan situs web berita melaporkan terjadinya lalu lintas yang sangat padat pada jam cerita itu tersebar, bahkan menyebabkan beberapa website mengalami crashed. Cerita ini menunjukkan bahwa bagaimana berita dikonsumsi dan tersebar dalam media sosial, seberapa jauh jangkauannya, dan bahkan kecepatannya, tidak ada batasan-batasannya. Berita kematian Michael Jackson sekarang ini digunakan sebagai contoh textbook oleh pakar-pakar media bagaimana media sosial menjembatani kesenjangan antara media tradisional dan audiensi (konsumen). Hal ini membuktikan bahwa peran ‘penjaga gerbang’ bukan lagi sesuatu yang eksklusif bagi para jurnalis, sebagaimana budaya partisipan media sosial tentang menarik perhatian audiensi telah membongkar dinding jurnalisme yang memisahkan pembaca dari jurnalis.

Berita, baik itu berupa informasi ataupun maupun pengetahuan yang sebelumnya berlangsung top-down sekarang dapat sebaliknya bottom-up. Audiensi sekarang dapat memilih berita apa yang penting bagi mereka dan dalam tingkatan mana mereka mau mengikat diri mereka untuk meraihnya. Apakah menonton TV, mendengarkan radio, memilih online, melakukan posting di Facebook, atau mengunggah lewat Youtube dalam pilihan device yang beraneka ragam, dan kapan mereka mau, serta di mana pun mereka berada. Secara global diperkirakan konsumen meluangkan waktu lebih dari 5 jam dalam jaringan sosial seperti Facebook dan Twitter. Bahkan, diperkirakan cenderung untuk meningkat. Kita seakan berada di tengah revolusi industri di bidang media, dengan pusat revolusi ini ialah bangkitnya media sosial yang berintegrasi dengan ledakan tablet PC sehingga membawa keduanya pada permintaan konsumen yang baru dan cara-cara baru pula dalam mengumpukan serta mendistribusikan berita.

Secara alami, ruang-ruang berita sedang bermetafora dan para jurnalis sedang bertransisi dengan perubahan-perubahan sosial, budaya, dan teknologi. Meski demikian, masih ada beberapa keraguan dalam penggunaan media sosial sebagai platform untuk mendistribusikan isi berita karena khawatir akan kehilangan kontrol terhadap informasi itu. Namun, baik kelompok jurnalis maupun redaktur sependapat bahwa diperkirakan media sosial akan mengubah sesuatu menjadi lebih baik atau buruk. Meskipun demikian, bagi para jurnalis, pasang surut perubahan akan membawa tekanan adanya kebutuhan multi-skill. Kemampuan untuk memproduksi secara cepat, mengurangi kapasitas untuk merefleksikan, mengurangi waktu untuk membuat tulisan yang indah, dan kemungkinan periode verikasi fakta menjadi lebih singkat.

Dengan hadirnya ledakan media sosial, pada akhirnya muncul pertanyaan, apakah jurnalisme masih dianggap penting? Jurnalisme tidak mati tetapi hanya sedang beradaptasi, dan para jurnalis masa depan perlu untuk menginvestasikan kembali diri mereka. Artinya, mereka perlu untuk peduli tentang di mana keberadaan audiensinya dan bagaimana menggapai audiensi itu. Apakah melalui platform media daring, cetak, penyiaran, mobile, atau media sosial.

Lindsey Hilsum, redaktur internasional dari Inggris Channel 4 News mengatakan bahwa, bentuk baru dari jurnalisme yang muncul dari media sosial dapat membuka pintu-pintu baru untuk keahlian jurnalistik. Artinya, kita dapat memperoleh informasi dari penjuru dunia yang sebelumnya sangat terbatas didapatkan. Media sosial telah mendemokratisasi media dan memberikan peluang kepada penonton, pendengar dan pembaca untuk berpartisipasi. Sementara itu, Richard Sambrook, mantan Direktur Global News di BBC mengatakan bahwa, “media sosial seharusnya tidak membuat kita lupa nilai dari kredibilitas jurnalistik, nilai untuk memercayai seseorang bersaksi atas sebuah kejadian. Bersaksi adalah pekerjaan jurnalis yang tidak dapat disediakan oleh teknologi”. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam industri media akibat dari perkembangan cepat teknologi seharusnya jangan dilihat sebagai ancaman bagi media tradisional tapi sebaliknya sebagai komplimen. Inovasi teknologi terjadi sangat cepat sehingga industri media seakan berlari untuk menyatukan langkah dengannya. Sementara itu, inovasi internet juga mungkin terlihat agak mengganggu saat ini. Namun, industri media pemberitan yang iebih baik akan tampil dan bentuk baru atau perpaduan dari jurnalisme akan muncul ke permukaan. Selamat menyambut event Hari Kemerdekaan Pers Sedunia, 1-4 Mei 2017, Jakarta, Indonesia.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar