Pendidikan
Kewargaan
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
|
KOMPAS, 04 Mei 2017
Indonesia
memanggil keadaban saat kota-kota terkepung asap kebencian dan orang-orang
kesurupan membakar rumah kebangsaannya sendiri. Namun, keadaban yang
dipanggil tak kunjung datang saat genting memerlukan kehadirannya.
Bagaimana bisa
memenuhi panggilan jika pengasuhan dan pendidikan sudah lama mengabaikannya.
Sesuatu yang kita rendahkan dan telantarkan tak akan menyelamatkan dan
memerhatikan kita saat diperlukan.
Dalam tradisi
besar umat manusia, kita temukan istilah kota (polis, civic, madina) dalam konotasi
positif: keberadaban, kemuliaan, dan
keteraturan. Penjaga kehidupan kota itu sendiri bernama "polisi"
(police), yang masih satu rumpun dengan kata "poli" (polite), yang
berarti tertib sosial-santun berkeadaban.
Menjadi warga
kota berarti jadi manusia beradab. "Menjadi manusia beradab," ujar
Fernand Braudel, "berarti memuliakan tingkah laku, menjadi lebih
tertib-taat hukum dan ramah (sociable)." Max Weber mendefinisikan kota
sebagai "suatu tempat yang direncanakan bagi kelompok berbudaya dan rasional".
Namun,
kecenderungan kehidupan kota-kota besar-khususnya Ibu Kota-saat ini mendekati
karakter hollow city dalam gambaran Clifford Geertz; suatu ruang hampa tanpa
nilai, tanpa visi, tanpa hati.
Kehidupan kota yang semestinya jadi basis keberadaban mulai terjerumus
ke dalam apa yang disebut Machiavelli
sebagai "kota korup" atau apa yang disebut Al-Farabi
"kota jahiliyah" (almudun al-jahiliyyah).
Di republik
korup dan jahil, persahabatan madani sejati hancur. Setiap warga berlomba
mengkhianati negara dan sesamanya; keimanan dan keagamaan disalahgunakan;
rasa saling percaya pudar, hukum atau institusi tak ampuh menjaga ketertiban
dan kedamaian; kerja keras dan integritas dimusuhi, kemalasan dan korupsi
diagungkan. Kebajikan etis hancur digantikan kekerasan dan ketamakan. Kota
sebagai ruang sipilisasi berubah menjadi wahana dehumanisasi.
Perwujudan
civic nationalism terhadang oleh lemahnya budaya kewargaan. Keanggotaan dalam
suatu bangsa memerlukan "kebajikan sipilitas", yakni rasa pertautan
dan kemitraan di antara ragam perbedaan serta kesediaan untuk berbagi
substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, kemudian melunakkan dan
menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil. Sayang, meminjam penilaian
Edward Shils (1972), "Yang berkembang di sini adalah suatu kecenderungan
padat politisasi identitas yang disertai oleh keyakinan bahwa hanya mereka
yang memiliki kesamaan prinsip dan primordiallah yang dianggap sebagai
anggota absah dari masyarakat politik. Sementara bagi mereka yang berbeda, dikucilkan
oleh curam hambatan yang terjal."
Pendidikan karakter
Lumpuhnya
nilai-nilai keadaban publik dalam suatu masyarakat majemuk yang sulit
menemukan kehendak dan kebajikan bersama merupakan mimpi buruk bagi
perkembangan bangsa ini. Untuk itu, perlu ada pembudayaan pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai kewargaan multikultural melalui
proses pendidikan karakter.
Thomas Lickona dalam buku terkenalnya,
Educating for Character (1991), menyimpulkan, pendidikan karakter adalah
usaha sengaja untuk menolong peserta didik agar memahami, peduli akan, dan
bertindak atas dasar inti nilai-nilai etis. Ia menegaskan: tatkala kita
berpikir tentang bentuk karakter yang ingin ditunjukkan oleh anak-anak,
teramat jelas bahwa kita menghendaki mereka mampu menilai apa yang benar,
peduli tentang apa yang benar, serta melakukan apa yang diyakininya
benar-bahkan ketika harus menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam.
Pendidikan
karakter berorientasi ganda. Ke dalam, proses pendidikan harus membantu
peserta didik menemu-kenali kekhasan potensi diri sekaligus kemampuan untuk
menempatkan keistimewaan itu dalam konteks kebersamaan. Pengenalan terhadap
kekhasan potensi diri dan komitmennya terhadap nilai-nilai bersama itulah
yang menjadi dasar pembentukan karakter. "Karakter" dalam arti ini
adalah kecenderungan psikologis yang membentuk kepribadian bermoral (Lickona,
2011).
Ke luar,
pendidikan harus memberikan wahana kepada anak didik untuk mengenali dan
mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem
perilaku bersama, melalui olahpikir, olahrasa, olahkarsa, dan olahraga.
Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku ini
secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah
disposisi karakter seseorang berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Kebudayaan
sebagai lingkungan sosial tersebut bisa juga disebut sebagai wahana
pembentukan karakter kolektif (bangsa). Pengertian "bangsa" yang
terkenal dari Otto Bauer menyatakan, "Bangsa
adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan
karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan
pengalaman."
Proses
pendidikan harus mampu menghubungkan kapasitas individual ke dalam kehidupan
kolektif sebagai warga komunitas, bangsa, dan dunia demi memelihara tertib
kosmos dan harmoni di dunia. Pemahaman
seperti itu, menurut Ki Hadjar Dewantara, tertuang dalam semboyan mangaju-aju
salira, mengaju-aju bangsa, mangaju-aju manungsa (membahagiakan diri,
membahagiakan bangsa, membahagiakan kemanusiaan).
Pendidikan
karakter dalam kebangsaan multikultural dituntut memberikan perhatian lebih
besar pada pembinaan karakter kolektif kebangsaan. Kurikulum pendidikan tak
cukup mengembangkan kecerdasan kognitif, spiritual, atau kecerdasan
emosional, lebih penting lagi adalah "kecerdasan kewargaan". Bahwa
pribadi yang baik (hasil pendidikan keluarga, agama, dan komunitas-adat)
hanya bisa jadi warga negara yang baik jika punya kecakapan mengenali,
menghayati, serta mengamalkan konsepsi dan konsensus kebangsaan. Proses
pendidikan harus memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk bisa
menghargai perbedaan sebagai kekayaan bangsa seraya mengenali titik-titik
persamaan sebagai landasan persatuan.
Perlu ada
revitalisasi dan reaktualisasi pendidikan kewargaan berbasis Pancasila.
Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku
bersama bangsa secara keseluruhan diharapkan dapat membentuk lingkungan
sosial yang membuat disposisi karakter perseorangan berkembang ke arah yang
lebih baik.
Pendidikan: transformasi bangsa
Proses
pendidikan sebagai proses pengadaban kewargaan dalam kebangsaan multikultural
harus sesuai konteks tantangan sosio-historis masyarakat. Dengan kata lain,
proses pendidikan harus terkait juga dengan visi transformasi bangsa.
Bagi bangsa
Indonesia, visi pendidikan transformatif secara garis besarnya telah
dirumuskan oleh tim kecil dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
yang dipimpin Ki Hadjar Dewantara.
Pada 17 Juli 1945, tim kecil ini berhasil menyusun Garis-Garis Besar
Pendidikan dan Pengajaran yang pada pokoknya menggariskan proses transformasi
bangsa melalui pendidikan yang mengembangkan cita-cita kesetaraan,
kesejahteraan, kemajuan, kepribadian, persatuan dalam keragaman.
Dalam konteks
transformasi keadaban publik, setidaknya kita patut memerhatikan aspek
kesetaraan, persatuan dalam keragaman, dan respons kepribadian nasional dalam
menghadapi globalisasi.
Pertama,
hendaklah diingat, kemerdekaan Indonesia dirayakan dengan semangat kebebasan,
kesetaraan, dan persaudaraan. Berakhirnya kolonialisme menimbulkan harapan
kuat di kalangan rakyat bahwa batasan-batasan dan diskriminasi sosial yang
dipaksakan oleh pemerintah kolonial akan sirna. Pendidikan diharapkan jadi
sarana emansipasi sosial. Komitmen politik untuk memenuhi hasrat semacam itu
dimaktubkan dalam Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap warga
negara berhak mendapatkan pengajaran."
Oleh karena
itu, tatkala kita melihat ada tanda-tanda dunia pendidikan mengarah pada
pembelahan dan diskriminasi sosial baru atas dasar kekuatan daya beli, kita
harus berjuang mengatasi kuman-kuman degenerasi ini dan mengembalikan
pendidikan ke mandat konstitusi.
Kedua, dalam
menumbuhkan semangat persatuan dalam perbedaan, kebijakan pendidikan harus
mampu memberikan keseimbangan antara pemenuhan tuntutan perbedaan di satu
sisi dan persatuan di sisi lain. Untuk masa yang panjang, politik segregasi
telah mengantarkan Indonesia sebagai masyarakat plural terkunci dalam situasi
"plural monokulturalisme"; dalam arti terdiri atas ragam
etno-kultural, tetapi hidup dalam kepompong budayanya masing-masing tanpa
kehendak saling berbagi. Political correctness dituntut untuk
mentransformasikan situasi "plural-monokulturalisme" menuju situasi
"multikulturalisme" lewat berbagai kebijakan yang mendorong ke arah
proses-proses penyerbukan silang budaya. Dalam usaha ini harus dicegah
munculnya pemaksaan hegemoni budaya mayoritas atas minoritas, jika perbedaan
etnis, budaya, dan agama dikehendaki untuk bisa saling berinteraksi dan hidup
berdampingan secara setara dalam komunitas politik bersama.
Peserta didik
harus bisa mengenali dan mengakui hak-hak aneka kelompok untuk
mengekspresikan identitas masing-masing di ruang publik. Di sisi lain, persekolahan juga harus bisa mendorong
berbagai kelompok etnis-agama untuk saling berinteraksi dan berbagi warisan
budaya mereka serta berpartisipasi bersama dalam institusi pendidikan,
ekonomi, politik, dan hukum. Dalam jangka panjang diharapkan terjadinya
proses penyerbukan silang budaya yang bisa mencairkan hambatan-hambatan
prasangka antarkelompok, mendorong hibriditas budaya, yang pada akhirnya
lebih memberikan keleluasaan bagi individu untuk memenuhi hak dan menentukan
pilihannya sendiri.
Meski
demikian, upaya negara untuk memberikan ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi
berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama juga tidak boleh dibayar oleh ongkos yang mahal
berupa fragmentasi masyarakat. Oleh karena itu, setiap kelompok dituntut
memiliki komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi konsensus nasional
seperti yang tertuang dalam Pancasila dan konstitusi negara serta unsur-unsur
pemersatu bangsa lainnya, seperti bahasa Indonesia.
Ketiga, dalam
menghadapi arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya
dan instan kecepatannya, dunia pendidikan harus dapat meresponsnya secara
tepat. Thomas Lickona (2011) mengingatkan pentingnya pendidikan memberikan
perhatian terhadap gejala global yang memperlihatkan kecenderungan retaknya
kehidupan keluarga, meledaknya budaya pop oleh dorongan industri media,
menguatnya materialisme dan kecenderungan mementingkan diri sendiri di
kalangan anak-anak muda, serta krisis yang ditimbulkan oleh gaya hidup baru.
Globalisasi juga menjadi kendaraan bagi trans-nasionalisasi fundamentalisme
agama dan fundamentalisme pasar.
Dalam kerangka
pendidikan yang berwawasan global, jalur yang benar bagi perkembangan manusia
sebagai hasil proses pendidikan, menurut Ki Hadjar, dapat dilukiskan dalam
asas "tri-kon" (kontinu, konvergen, dan konsentris):
"Perkembangan itu harus berlaku 'kontinu' dengan alamnya sendiri,
'konvergen' dengan alam di luarnya, untuk menuju ke arah persatuan
'konsentris' yang universal, yaitu bersatu dengan alam besar, tetapi tetap
memiliki 'kepribadian' sendiri." Untuk itu, nilai-nilai universal dalam
wacana kemanusiaan harus didialogkan dengan khazanah kearifan lokal, visi
global harus dipadukan dengan daya cerna budaya lokal.
Ketika
rasionalitas instrumental arus globalisasi perlu penguatan rasionalitas nilai
(kepribadian), tendensi umum dunia pendidikan justru kurang memerhatikan
segi-segi nilai-keadaban. Kebajikan
tidak lagi dianggap penting dan cenderung diremehkan dalam dunia pendidikan
karena minat yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis.
Di masa depan,
dunia pendidikan diharapkan dapat mengambil sisi-sisi positif dari
perkembangan sains dan teknologi seraya menghindari implikasi negatifnya.
Untuk bisa terlibat dalam era globalisasi, para peserta didik harus diberikan
kemampuan melek teknologi, terutama komputer, internet, dan telematika
lainnya, ditambah penguasaan bahasa-bahasa internasional. Saat yang sama,
krisis global yang dipacu oleh introduksi teknologi baru harus menempatkan
kembali pendidikan nilai-karakter di jantung proses pembelajaran.
Pengadopsian teknologi tinggi perlu diimbangi dengan penguatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar