Menyikapi
Vonis Ahok
Muhammad Yuntri ; Praktisi
Hukum di Jakarta
|
KORAN
SINDO, 10
Mei 2017
TEKA-TEKI yang
selama ini mengambang, terjawab sudah! Majelis hakim yang diketuai Ketua PN
Jakut Dwiarso Budi Santiarto dengan mantap tanpa ragu mengetukkan palu, dua
tahun penjara dan langsung masuk penjara untuk Ahok yang dinilai menista
agama. Ahok terbukti bersalah, memenuhi semua unsur pelanggaran yang ada pada
Pasal 156a KUHP. Baik unsur menyatakan
permusuhan atau kebencian, penodaan terhadap suatu agama dan dilakukan di
depan umum. Pujian atas independensi majelis hakim ini dalam bertindak tidak
hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri khususnya dari
kaum muslimin di mancanegara.
Selama ini
sikap skeptis masyarakat cukup beralasan. Sejak awal dilaporkan ke polisi,
Ahok tidak ditahan. Padahal para penista agama sebelumnya langsung saja
ditahan, baru kemudian diadili. Kenapa Ahok mendapat perlakuan istimewa?
Begitu juga saat kasus dinyatakan P-21 (berkas lengkap), jaksa penuntut umum
(JPU) juga tidak menahannya, kemudian dalam hitungan jam JPU langsung
mendaftarkan berkasnya ke PN Jakut. Kesannya kasus ini bagaikan bola panas
membara jika dipegang terlalu lama oleh aparat penegak hukum.
Rasa keadilan
masyarakat pun terluka. Harapan masyarakat satu-satunya hanyalah majelis
hakim sebagai gerbang terakhir penegakan hukum. Kini, walau dijatuhi hukuman
dua tahun penjara tapi langsung dipenjara, sebagian besar masyarakat merasa
terobati rasa kecewanya selama ini yang berbulan-bulan mengikuti masa
persidangan yang seolah bagaikan panggung sandiwara, karena biasanya untuk
kasus yang sama cukup 3 atau 4 kali persidangan saja.
Vonis dua
tahun itu memang bersifat ultrapetita, yaitu vonis melebihi tuntutan JPU yang
hanya satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Ketentuan yang
melarang ultrapetita itu hanya berlaku untuk perkara perdata yang diatur pada
Pasal 178 (2) HIR. Sementara untuk kasus pidana, hakim secara independen
tidak perlu tunduk pada ketentuan tersebut guna mewujudkan rasa keadilan
masyarakat sebagaimana maksud-tujuan diadakan UU tersebut.
Dampak Perbuatan Ahok
Sebagaimana
kita tahu, multiplier effect yang ditimbulkan perbuatan Ahok selama ini
memang tidak sedikit. Masyarakat seakan terpecah ada yang pro dan kontra
Ahok. Rusaknya rasa kesatuan dan persatuan sesama anak bangsa. Semakin
menipisnya rasa nasionalisme masyarakat yang selama ini dikenal sangat
patriotik dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tanpa pamrih,
tercabiknya rasa kerukunan dan sopan santun dalam bertutur kata di
masyarakat. Siapa yang meniup angin maka pantaslah dia menerima badai. Tangan
mencincang bahu memikul. Dengan berpikir positif, kita berharap vonis yang
telah dijatuhkan ini bisa merekat kembali keretakan atau menjahit perpecahan
yang tercabik.
Menyikapi Vonis
Bagi
teman-teman pendukung Ahok yang selama ini mengidolakan jagoannya agar
terbebas dari jerat hukum, bisa dipahami jika kecewa. Kalau vonis dirasa
kurang adil, masih banyak upaya hukum untuk diperjuangkan. Banding atau kasasi
salah satu di antaranya, selain peninjauan kembali adalah upaya hukum luar
biasa. Vonis yang menghukum Ahok bukan berarti esok hari Jakarta akan kiamat,
melainkan hanya ”the show must go on.” Untuk sementara, satu permasalahan
hukum sudah selesai. Mari berkemas untuk menapak masa depan Jakarta yang
lebih baik pascakasus Ahok, bersama pemimpin yang bisa diterima mayoritas
masyarakat Jakarta.
Sebagai umat
beragama, semestinya kita berpikir bahwa tidak ada ”suatu peristiwa terjadi
secara kebetulan” melainkan hal itu terjadi atas kehendak dari Tuhan Yang
Mahakuasa. Sebutir debu pun tidak akan berpindah tempat jika tidak
diterbangkan angin dan begitulah selanjutnya.
Bagi kaum
muslimin, tidak ada hal yang perlu dirayakan untuk vonis tersebut, tetapi
harus bisa mengambil hikmah daripadanya. Karena suatu sikap arogansi dalam
kepemimpinan serta memaksakan kehendak demi mencapai tujuan dengan
menghalalkan segala cara, termasuk mencoba mengadu domba umat Islam dengan
menghinakan kitab suci Alquran sehingga menimbulkan pro-kontra di antara
mereka bukanlah suatu perbuatan yang baik.
Untuk
menyikapi gerakan Ahok ini, umat Islam sudah di posisi yang tepat tanpa harus
terpancing emosional dan berujung perang saudara. Aksi damai berkali-kali
dengan menyuarakan kebenaran tanpa merusak lingkungan sekitar dirasa cukup
tepat. Karena Allah SWT memerintahkan agar berusaha mengatasi masalah
tersebut sesuai tingkat keimanan yang kita miliki masing-masing dan setelah
itu berserah dirilah kepada Allah SWT.
Dan itu
dialami Ahok dalam beberapa momentum terakhir. Proyek reklamasi Jakarta yang
dibanggakannya dibatalkan PTUN Jakarta, kalah di Pilkada DKI Jakarta pada 19
April 2017 yang tidak pernah dia perkirakan sebelumnya, kemudian divonis dua
tahun penjara dan langsung ditahan pada 9 Mei 2017, dan lain-lain.
Maka itu, mari
kita ambil hikmah dari semua peristiwa di atas. Tidak perlu mengolok-olok
kebenaran Alquran. Sang pencipta Tuhan YME akan murka jika hasil karyanya
dinodai/ dihina. Mungkin akan lebih elegan jika kita saling jaga dan
menghormati keimanan seseorang sesuai keyakinannya. ”Lakum dinukum waliyadin”
bagiku agamaku dan bagimu agamamu, aku tidak menyembah Tuhan yang kamu sembah
dan engkau tidak menyembah Tuhan yang kami sembah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar