Pagar
Nusa dan Komitmen Kebangsaan
Emha Nabil Haroen ; Sekretaris Umum Pimpinan Pusat
Pencak Silat Nahdlatul Ulama
(PSNU) Pagar Nusa
|
JAWA
POS, 04
Mei 2017
Saat
ini warga Indonesia menghadapi ancaman berupa merebaknya ujaran kebencian dan
sinisme antarkelompok. Sentimen tersebut semakin meluap dengan daya dorong
kontestasi politik, khususnya di DKI Jakarta. Meskipun geografis ruang
kontestasi hanya terjadi di DKI, energi kebencian meluap hingga ke daerah.
Energi
kebencian yang meluap dari kanal-kanal politik semoga segera surut setelah
momen politiknya usai. Pidato-pidato penuh prasangka yang berkumandang di
mimbar-mimbar masjid semoga segera bergeser menjadi khotbah penuh cinta serta
seruan-seruan untuk kemaslahatan publik.
Terlepas
dari proses kontestasi yang terjadi, dengan drama politik maupun komodifikasi
agama, apa yang terjadi dalam panggung politik negeri ini perlu menjadi
renungan. Setidaknya, bagaimana menjaga energi bangsa ini agar tetap menjadi
penyangga kedaulatan NKRI.
Kelompok-kelompok
yang selama ini mengusung ide kekerasan beragama maupun berencana meruntuhkan
sistem negara mendapat ruang kebebasan. Dengan dalih membela agama, dalam hal
ini Islam, kelompok tersebut mendapatkan panggung untuk mengampanyekan
ide-idenya. Padahal, apa yang disuarakan jelas mengarah pada usaha
mengonsepsi sistem politik yang berbenturan dengan fondasi kebangsaan
Indonesia.
Bangkitnya
kelompok Islamis, dalam ungkapan Bassam Tibi (2016), sebenarnya memiliki
motif politik, tapi dengan menggunakan jubah dan simbol-simbol agama. Tibi
membedakan antara Islam dan Islamisme. Menurut Tibi, gerakan Islamisme yang
diusung kelompok Islamis memiliki tujuan kekuasaan. Klaim-klaim keagamaan
yang didengungkan untuk menarik simpati publik sekaligus memperbesar pengaruhnya
di ruang sosial politik.
Riset
Wahid Foundation (2016) mengonfirmasi tantangan tersebut, berupa meningkatnya
radikalisme, terutama pada anak muda. Sebanyak 11,5 juta warga muslim
berpotensi radikal atau sejumlah 7,7 persen dari proporsi 150 juta warga
muslim. Sedangkan yang pernah terlibat dalam aksi-aksi radikal sejumlah 600
ribu.
Komitmen Kebangsaan
Pada
titik ini, Pencak Silat Nahdlatul Ulama (PSNU) Pagar Nusa konsisten pada
komitmen untuk menjaga NKRI. Pagar Nusa merujuk pada sikap kiai-kiai
pesantren dan arah organisasi NU yang berprinsip pada nilai Islam dan
kebangsaan. Konsepsi itu muncul dari pemahaman mendasar atas sikap para kiai
dalam memperjuangkan kemerdekaan serta menjaga negara. Hubbul wathan minal
iman, cinta tanah air sebagian dari iman. Itulah yang menjadi prinsip NU
serta menjadi rujukan Pagar Nusa.
Perjuangan
kebangsaan para kiai NU berdasar pemahaman bahwa ad-din (agama) merupakan
latar belakang perilaku dan pemikiran, berlandasan nilai dan prinsip Islam.
Semisal musyawarah (asy-syura), kebebasan (al-hurriyah), keadilan
(al-’adalah), dan persamaan derajat (al-musawah). Prinsip-prinsip tersebut
sejalan dengan nilai dasar Pancasila yang disepakati para pendiri bangsa.
Sejarah
hadirnya Pagar Nusa tidak lepas dari perjuangan mengawal negara. Para
pendekar silat dari pesantren telah sejak awal bergabung dalam perjuangan
kemerdekaan. Bersama laskar rakyat dan barisan militer, para pendekar dan
santri itu menjadi tulang punggung perjuangan.
Selanjutnya,
untuk mewadahi para pendekar, para kiai sepakat membentuk perkumpulan. Pada
27 September 1985 diselenggarakan pertemuan para kiai untuk membahas wadah
pencak silat dari komunitas pesantren dan warga nahdliyin. Pertemuan yang
berlangsung di Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, itu dihadiri KH
Maksum Jauhary (Gus Maksum Lirboyo), KH Abdullah Usman, KH Muhajir, H
Athoillah, Drs Lamro Azhari, KH Ahmad Buchori Susasto, dan Prof Dr
Suharbillah.
Pertemuan
tersebut menandai pembentukan Pagar Nusa untuk mewadahi kader-kader dan
pendekar silat yang berafiliasi dengan nahdliyin. Kemudian, pada 3 Januari
1986, melalui pertemuan kiai dan pendekar-pendekar khos (khusus) di Pesantren
Lirboyo Kediri, terbentuklah Pencak Silat Nahdlatul Ulama (PSNU) Pagar Nusa
yang secara resmi menjadi media komunikasi dan konsolidasi para pendekar
silat.
Kemaslahatan Publik
Prinsip
yang menjadi acuan Pagar Nusa dalam komitmen berbangsa adalah kemaslahatan
publik, maslahah ’ammah. Hal itulah yang seharusnya menjadi tujuan pemimpin
bangsa ini untuk mengupayakan kesejahteraan. Tasharruful imam ’ala ar-raiyyah
manuthun bil mashlahah, kebijakan pemimpin haruslah bertumpu pada
kemaslahatan bersama.
Islam
menegaskan pentingnya organisasi (jam’iyyah) yang mampu menghadirkan
kemaslahatan umat. Menyatukan komitmen untuk menegakkan maslahat merupakan
tujuan ibadah sosial yang diserukan Islam. Hal itu selaras dengan ayat Allah
Swt dalam QS An Nisa 114: ”Tidak ada kebaikan pada kebanyakan
pembicaraan-pembicaraan rahasia mereka, kecuali untuk menyuruh manusia
memberi sedekah, menghadirkan kebaikan, atau mengupayakan perdamaian antara
umat manusia.” Islam menyerukan pentingnya kemaslahatan umat sebagai wujud
dari peran penting kaum muslim.
Pagar
Nusa berusaha menyiapkan kader-kader terbaiknya agar mampu menjadi pemimpin.
Kepemimpinan yang berfondasi etika, moralitas, spiritualitas, dan strategi
politik kebangsaan akan melahirkan kemaslahatan untuk publik. Momen Kongres
III Pagar Nusa pada 3–5 Mei 2017 di Jakarta menjadi agenda untuk konsolidasi
antarpendekar dan kader guna memantapkan komitmen kebangsaan di tengah
tantangan kontestasi ideologi keagamaan di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar