Selasa, 09 Mei 2017

Literasi Keagamaan Pemimpin

Literasi Keagamaan Pemimpin
Paulinus Yan Olla  ;   Rohaniwan Kongregasi MSF;  Lulusan Program Doktoral Universitas Pontificio Istituto di Spiritualita Teresianum, Roma
                                                          KOMPAS, 08 Mei 2017



                                                           
Survei Kompas pasca-Pilkada DKI Jakarta telah mengukuhkan soal efektifnya ikatan berbasis sosial-secara khusus kesamaan ikatan keagamaan dan kelompok suku-dalam memengaruhi keputusan pemilih (Kompas, 20/4/2017).

Pertanyaannya, bagaimana di masa depan ikatan sosial-keagamaan dan isu-isu sektarian tidak lagi digunakan sekadar "batu loncatan" dalam setiap ajang perebutan kekuasaan? Wacana tentang literasi agama yang telah digulirkan setelah pertemuan Presiden Jokowi dan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar di Istana Negara (5/4/2017) bisa memberikan inspirasi.

Literasi agama dianggap sebagai salah satu kunci membendung maraknya perilaku intoleransi dalam kehidupan masyarakat yang disebabkan dangkalnya pemahaman keagamaan.

Dalam arus wacana itu, Fathorrahman Ghufron dalam "Menumbuhkan Literasi Agama" (Kompas, 12/3/2017) melihat perlunya pemahaman keagamaan sebagai kunci utama yang perlu dibenahi agar bisa memunculkan sikap moderat, toleran, dan progresif.

Untuk mewujudkan literasi agama disebutkan adanya tiga aspek yang harus ditumbuhkan dalam hidup penganut agama: (i) memiliki pemahaman terhadap agama yang dipeluk; (ii) memiliki pemahaman konteks relasional antara satu agama yang dipeluk dan agama-agama yang lain; (iii) memiliki pengetahuan tentang konteks evolusi setiap agama.

Sebenarnya mudah untuk melihat bahwa ketiga aspek di atas terangkum semuanya dalam aspek yang pertama. Pemahaman terhadap suatu agama jelas memerlukan pula pengenalan akan konteks relasional (baca: aspek dialogal) maupun aspek evolusi atau historisitas agama yang bersangkutan. Sintesis ketiga hal itu menjadi tantangan bagi bangsa ini jika ingin menggunakan agama-agama secara positif bagi pembangunan bangsa.

Literasi keagamaan seperti diungkap Fathorrahman terarah pada pendidikan "warga" pemeluk agama. Namun, menurut hemat kami, ketiga aspek yang disebutkan merupakan suatu rujukan yang ideal dan bisa jadi tuntutan itu "terlalu tinggi" bagi warga kebanyakan. Selain itu, masuknya agama di ruang publik perebutan kekuasaan tidak selalu berpangkal pada ketidakpahaman keagamaan rakyat jelata.

Indonesia yang mendefinisikan diri sebagai "bukan negara agama", tetapi juga "bukan negara sekuler", sebenarnya ditantang untuk pertama-tama membenahi literasi keagamaan para pemimpin agama maupun pemimpin politisnya. Keberagaman keagamaan yang dimiliki negeri ini bagaimanapun akan menghadapkan setiap pemimpin agama atau tokoh kenegaraan pada persoalan literasi keagamaan. Agama sering dipolitisasi bukan oleh rakyat kebanyakan, tetapi oleh para elite pemimpin.

Setelah Pilkada DKI, para pemimpin "dipaksa" merajut kembali jalinan relasi sosial yang terkoyak oleh politik identitas yang "kebablasan". Masyarakat telah telanjur terpolarisasi berdasarkan identitas primordial yang bisa makin melemahkan demokrasi. Bagaimana menumbuhkan literasi keagamaan para pemimpin agar dapat membantu merawat keberagaman yang menjadi jati diri bangsa Indonesia?

Tak terelakkan

Pertama-tama perlu sungguh disadari, literasi keagamaan para pemimpin merupakan suatu kondisi sine qua non (baca: tak terelakkan/wajib) sebelum rakyat dibantu "melek" keagamaan. Para pemimpinlah yang harus pertama-tama dan terutama memiliki ketiga aspek seperti dirumuskan di atas. Terjadinya banyak perdebatan antarpemimpin agama tentang tafsiran doktrinal atas "kasus-kasus" tertentu memperlihatkan betapa mendasarnya tuntutan literasi agama para pemimpin agama maupun pejabat publik. Situasi Indonesia yang plural menantang literasi keagamaan para pemimpin.

Salah satu jalan menjawab tantangan itu adalah mendorong para elite pemimpin agama dan bangsa mewujudkan apa yang diwacanakan sebagai "integritas terbuka" dalam dialog antaragama. Yang dimaksudkan integritas terbuka adalah pengakuan akan keunikan, kebebasan, klaim-klaim kebenaran, dan inti kepercayaan dan keyakinan masing-masing agama (bdk, Gerardette Philips, 2016).

Literasi keagamaan para pemimpin yang mengadopsi pendekatan "integritas terbuka" akan membantu terciptanya kohesi sosial warga negara dengan mengakui perbedaan dan hal-hal sensitif agama lain tanpa niat mengubahnya. Perbedaan seharusnya mendorong pada dialog dan bukannya disembunyikan demi harmoni sosial yang palsu.

Pemimpin dunia seperti Paus Fransiskus menerapkan pendekatan "integritas terbuka" itu dalam hidup keagamaannya. Ia mendatangkan pengungsi dari Suriah dan memberi mereka status sebagai "warga negara" Vatikan tanpa niat mengubah keyakinan iman mereka.

Ia "membasuh kaki" perempuan Muslim untuk mengungkapkan bahwa "pelayanan" adalah salah satu aspek utama ajaran keagamaan.  Tindakan menolak atau mendiskriminasi para pengungsi berdasarkan identitas sosialnya merupakan pula bentuk illiteracy (baca: kedunguan) keagamaan yang dikritik Paus karena tidak koheren dengan nilai-nilai keagamaan di Eropa.

Literasi keagamaan pemimpin agama yang berpola "integritas terbuka" akan menjadi inspirasi bagi siapa pun untuk tak menyangkal kebenaran agama sendiri untuk memahami klaim kebenaran mitra dialognya. Di sana diciptakan ruang perjumpaan bagi keyakinan yang dipegang teguh diri sendiri dan orang lain. Ada sikap saling menghormati dalam perbedaan serta menerima perbedaan sebagai kekayaan dan bukan kutuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar