Jumat, 05 Mei 2017

Le Pen dan Bumerang Politik SARA di Prancis

Le Pen dan Bumerang Politik SARA di Prancis
Dinna Wisnu  ;  Pengamat Hubungan Internasional;
Senior Advisor, Atma Jaya Public Policy Institute
                                                    KORAN SINDO, 03 Mei 2017



                                                           
TEMAN saya, warga negara Indonesia, yang telah bekerja di Kota Paris selama lebih dari lima tahun menjadi sangat khawatir dengan hasil pemilu dua minggu lalu di Prancis, khususnya karena keunggulan Marine Le Pen dari Partai Front Nasional.

Marine Le Pen, menurut dia, dipandang sebagai kandidat yang tidak punya jalan keluar atas masalah yang ada di Prancis, tetapi pandai menggunakan sentimen antiminoritas, anti terhadap imigran, dan anti terhadap EU dalam setiap diskusinya.

Le Pen menggunakan isu SARA dan menunjuk para imigran, khususnya umat muslim, sebagai penyebab dari pelambatan ekonomi dan peningkatan pengangguran yang relatif tinggi. Provokasi semacam itu sulit dibendung karena dalam beberapa tahun terakhir ini Prancis memang diserang oleh aksi teroris yang berafiliasi kepada ISIS.

Meskipun ia kalah dari Macron pada putaran pertama, secara umum agenda para kandidat telah cenderung bergerak ke kanan dan intoleransi semakin menguat di antara warga Prancis.
                                                                            
Siapakah Marine Le Pen? Apakah beda model politik Marine Le Pen dari pemimpin Partai Front Nasional terdahulu dan partai-partai mainstream di Prancis?

Marine Le Pen adalah putri Jean Le Pen, pendiri Front Nasional, satu di antara partai politik sayap kanan di Prancis yang didirikan pada 1974. Jean Le Pen sangat populer karena ia selalu mencoba keberuntungan untuk menjadi calon presiden dalam setiap kesempatan pemilihan presiden sejak 1974, 1988, 1995, 2002, hingga 2007.

Kemenangannya terhadap Jacques Chirac dari Partai Konservatif yang fenomenal pada putaran pertama pemilihan presiden pada 2002 membuat ia semakin percaya diri walaupun akhirnya ia kalah pada putaran kedua karena partai Sosialis dan partai kecil lain bekerja untuk memenangkan Chirac dan mencegah Le Pen menang. Jumlah pemilih pada putaran kedua tahun itu lebih banyak dibandingkan putaran pertama sebagai hasil mobilisasi penuh partai-partai yang sudah mapan.

Meski demikian, popularitasnya pada putaran pertama itu pun tidak dapat menyelamatkan dirinya dari kudeta yang dilakukan oleh putrinya sendiri pada 2011. Marine Le Pen tidak menyukai sikap ayahnya yang sangat provokatif, intoleran, dan tidak diplomatis, serta dianggap membuat suara partai tidak tumbuh.

Sebab itu, ia menyingkirkan ayahnya dan tampil sebagai pemimpin partai di Front Nasional yang baru. Tindakan politik tersebut tepat dan menguntungkan bagi Front Nasional.

Marine Le Pen membawa Front Nasional jauh “lebih moderat” dalam ukuran sayap kanan sehingga dapat menghimpun para pemilih yang tidak suka terhadap gaya kepemimpinan Jean Le Pen.

Marine melakukan pembenahan di dalam partai. Ia mengurangi figur-figur yang dianggap sebagai tokoh sayap kanan ekstrem, bigot, pendukung NAZI atau anti-Yahudi. Ia melakukan strukturisasi partai dengan mengisi kepengurusan dengan orang-orang yang lebih muda, modern, berpendidikan, dan santun.

Ia bahkan memilih Florian Phillipot sebagai wakilnya yang berusia 31 tahun dan baru tamat dari perguruan tinggi elite Ecole Nationale d’Administration. Perubahan ini terutama untuk menyasar pemilih muda dari sayap kiri dan kanan.

Strategi untuk membawa Front Nasional lebih “moderat” tidak berati mengurangi garis politik partai yang sangat populis dan kanan ini. Secara politik, kebijakan Front Nasional adalah menolak keanggotaan Prancis dalam masyarakat Uni Eropa (EU), menolak Eurozone, menolak Schengen Area, pendekatan yang keras terhadap pelanggaran hukum, dan penolakan terhadap kebebasan bergerak bagi pendatang baik yang berasal dari negara-negara anggota EU dan khususnya pendatang di luar EU.

Marine hanya mencoba untuk mengimbangi garis politiknya populis kanan, tetapi berusaha untuk mencitrakan partainya sebagai partai yang peduli dengan kelompok masyarakat lain, modern, dan progresif. Ia bahkan tidak segan-segan mengancam membawa ke pengadilan apabila ada orang yang menuduh Front Nasional sebagai partainya sayap kanan ekstrem di Prancis.

 Strategi itu berhasil. Marine Le Pen mengikuti jejak ayahnya untuk menjadi calon presiden setiap kali ada kesempatan untuk mengikutinya. Ia adalah kandidat dengan perolehan suara banyak ketiga di bawah François Hollande dan petahana Presiden Nicolas Sarkozy pada 2012. Ia memperoleh 17% atau sekitar 6,42 juta suara.

Perolehannya lebih tinggi dari yang dicapai oleh ayahnya pada 2002. Jean Le Pen saat itu hanya memperoleh 4,8 juta atau sekitar 16,8%. Bintangnya pun terus bersinar hingga menempatkan diri sebagai unggulan kedua di bawah Emmanuel Macron dari sayap tengah pada putaran pertama presiden Prancis dua minggu lalu.

Kemajuan demi kemajuan yang dicapai oleh Front Nasional bukanlah sebuah kejutan. Para pengamat sudah sejak jauh-jauh hari meramalkan bahwa Front Nasional akan berhasil mengubah dirinya dari partai gurem menjadi partai mainstream di Prancis.

Kemenangan Marine dan Macron dalam Pilpres Prancis 2017 ini juga telah menjadi catatan sejarah penting di Prancis. Dalam pilpres tahun ini mereka telah mengalahkan dua partai besar dan mapan yang selalu ada dalam sejarah pemilu yaitu Partai Sosialis dan Partai Konservatif (Union pour un Mouvement Populaire-UMP).

Mengapa Front Nasional dapat membesar dan mengalahkan ideologi dua partai besar di Prancis? Mehdi Hasan, seorang jurnalis di Washington DC, mengatakan di The Intercept bahwa penguatan Front Nasional bukan hanya karena reformasi internal yang dilakukan oleh Marine sejak 2011, melainkan juga karena politisi dari Partai Konservatif dan Sosialis yang ikut memainkan isu SARA sejak lama untuk mendulang suara dan dengan dalih membendung Le Pen agar tidak mendominasi suara anti-imigran yang sedang berkembang.

Politik SARA yang Jadi Bumerang

Contohnya adalah Presiden Mitterrand (Partai Sosialis) yang mengatakan bahwa Prancis telah melampaui “ambang toleransi” terhadap imigrasi. Meskipun kemudian Mitterand menarik pernyataannya tersebut, Perdana Menterinya yang juga dari Partai Sosialis, Edith Cresson, memunculkan kegaduhan ketika menyarankan agar imigran ilegal dideportasi dengan dipesankan pesawat khusus.

Wartawan dari Uni Eropa Cathryn Cluver menjelaskan bahwa pernyataan Mitterand pada akhir 1980-an itu mengejutkan karena selama sepuluh tahun sebelumnya Mitterand dikenal sebagai presiden sosialis pertama di Prancis yang memberi nuansa kemanusiaan pada kebijakan imigrasi di Prancis. Antara 1981-1986 justru ada banyak peraturan imigrasi yang mendukung imigrasi secara legal.

Penerus Mitterand, Jacques Chirac, mantan perdana menteri Prancis pada 1991, rupanya bertugas mengembalikan suara Partai Sosialis yang tergerus oleh Front Nasional. Karena itu, Chirac mengamini pernyataan bahwa seluruh pekerja Prancis sudah lelah dengan imigran yang “malodorant et bruyant” (berbau dan berisik).

Kaum imigran di Eropa, yang umumnya dari Arab dan Afrika, dikonotasikan bau karena aroma masakannya dan berisik karena kerap berkelahi dengan polisi. Pada masa itu pula mantan Presiden Valery Giscard d’Estaing (Partai Konservatif/UMP) memperingatkan masyarakat akan “bahaya invasi” imigran.

Isu SARA diangkat lagi oleh Nikolas Sarkozy yang meluncurkan “Debat Nasional tentang Identitas Nasional” pada 2009. Ia mengumumkan larangan berkerudung yang sebenarnya hanya berlaku pada 2.000 perempuan dari total 2 juta perempuan muslim di Prancis pada 2010, juga berkoar bahwa daging halal adalah “isu yang paling dibincangkan di Prancis” pada 2012. Sarkozy pula yang menyebut Partai Front Nasional sebagai partai demokratis dan menyebutnya “cocok untuk Republik”.

Kondisi di atas mengingatkan kita pada situasi yang dihadapi juga di Tanah Air. Politisi yang mapan dari dua partai besar di Prancis tidak pernah membayangkan bahwa strategi mereka untuk memainkan isu SARA ternyata justru melapangkan jalan bagi Le Pen untuk menjadi lebih populer.

Diskriminasi dan konflik sosial di antara warga Prancis dan imigran semakin tajam. Bibit radikalisme dan terorisme tidak hanya subur di antara warga imigran muslim, tetapi juga warga Prancis. Kekerasan seperti lingkaran setan yang semakin lama semakin rumit dan kompleks untuk diuraikan.

Perkembangan politik SARA di Prancis patut menjadi pertimbangan politisi dan pemilih di Indonesia saat pilkada, pemilu legislatif, dan pemilu presiden. Memenangkan suara mayoritas hari ini bisa jadi bumerang bagi stabilitas sosial pada tahun-tahun selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar