Banjir
Bunga untuk Pemimpin
Hendra Kurniawan ; Dosen Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
|
KORAN
JAKARTA, 29 April 2017
Gubernur
DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), memang tokoh penuh sensasi. Media
massa tak pernah kehabisan cerita untuk memberitakannya. Apa pun yang
berhubungan dengannya menjadi bahan pemberitaan. Kekalahan dalam Pilkada DKI
tahun 2017 tak jua menyudahi berita mengenai dirinya. Jalan Ahok selama
menjadi gubernur tidaklah mulus. Sejak awal telah muncul polemik
pengangkatannya yang definitif menggantikan Joko Widodo karena menjadi
presiden.
Setelah
Ahok menjadi gubernur, posisi wakil mengundang persoalan. Ahok bersikeras
agar dapat mendukung kinerjanya, sangat tidak bijak bila jabatan wakil
gubernur diisi atas dasar pertimbangan politis belaka. Akhirnya, muncul
Djarot Saiful Hidayat yang dapat diterima berbagai pihak sebagai pendamping
Ahok. Basuki juga sempat mengambil keputusan berani untuk keluar dari partai
politik. Bahkan, sempat menyatakan siap maju kembali sebagai calon gubernur
melalui jalur independen, meski akhirnya diusung partai.
Selama
menjabat, dia nyaris menjadi single fighter, tanpa dukungan partai politik.
Kinerjanya membuktikan dia pemimpin bersih. Dia tak mempan digoyang isu
korupsi. Namun, ada saja cobaan yang membuat Ahok harus tegar. Dia diterpa
tuduhan penista agama. Ini bermula dari pidato di Pulau Pramuka yang
dipenggal dan di-posting secara sembarangan dan tersebar di media sosial.
Postingan berbumbu SARA yang kemudian terus dipolitisasi ini berhasil menggiring opini kelompok-kelompok
tertentu untuk bergerak. Ahok dilaporkan dan berujung pada persidangan yang
hingga kini belum selesai.
Dia
masih menunggu vonis. Akibatnya, Ahok setiap pekan harus absen dari kegiatan
kampanye untuk menjalani persidangan. Titipan Tuhan Beberapa pengamat
menilai, Ahok tepat menduduki jabatannya sekarang. Sosok idealis dan
progresif seperti dia menjadi modal kuat memimpin dan membenahi DKI yang
memiliki begitu banyak persoalan. Keberhasilan Ahok memimpin DKI sebenarnya
dapat dilihat secara langsung. Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat
yang meringankan beban rakyat kecil. Titik-titik banjir mulai berkurang.
Pembangunan
berjalan pesat. Normalisasi sungai berjalan lancar. Pembangunan rumah susun
untuk rakyat kecil dan kemunculan ruang-ruang publik yang mengakomodasi
kebutuhan anak. Lebih penting lagi, melalui e-budgeting, anggaran milik
rakyat benar-benar diselamatkan dari tangan-tangan perampok berdasi.
Birokrasi juga dibenahi sehingga pelayanan semakin baik dan optimal. Ahok
bernyali besar mempertaruhkan popularitas dan kedudukannya seslaku gubernur.
Dia
tidak khawatir kehilangan jabatan demi kebenaran. Gayanya yang begitu frontal
dan blak-blakan memang diuji. Tindakannya menjadi senjata makan tuan atau
pedang yang memberangus kemaksiatan politik yang selama ini mengakar kuat.
Inilah wujud nyata ketaatan iman seorang pemimpin. Dalam pidatonya
pascapemungutan suara, mantan Bupati Belitung Timur ini dengan legawa
mengatakan, kekuasaan itu titipan Tuhan semata.
Riset
terakhir memang menunjukkan tingkat kepuasaan masyarakat DKI terhadap
kepemimpinannya mencapai 70 persen. Dukungan dan komentar para netizen juga
tak sedikit yang mengapresiasi. Sayang, semua ini tidak berhasil membawanya
melanjutkan kepemimpinan di DKI untuk periode kedua. Isu agama yang menerpa
ternyata begitu kuat hingga berhasil menumbangkan. Namun, rasa cinta dan
kekaguman rakyat kepada Ahok tak bisa dipadamkan.
Dalam
beberapa hari terakhir sejak hasil hitung cepat Pilkada DKI putaran kedua
tanggal 19 April 2017 menunjukkan kekalahan Ahok, balai kota terus dibanjiri
karangan bunga. Ini bukan ucapan duka. Itu wujud ucapan terima kasih dan
semangat untuk pasangan Ahok-Djarot yang segera meninggalkan balai kota.
Boleh jadi, para pengirim bunga ini kecewa karena Ahok kalah. Akan tetapi,
ribuan karangan bunga untuk Ahok-Djarot ini menunjukkan begitu hangatnya
kedekatan rakyat dengan pemimpinnya.
Jumlah
masyarakat yang datang ke balai kota untuk bertemu Ahok setiap pagi terus
bertambah. Mereka tidak hanya warga DKI. Banyak juga dari daerah lain yang
bersimpati dengan pasangan Ahok-Djarot. Media sosial pun dibanjiri komentar-komentar
yang menginginkan pasangan ini dapat membenahi daerahnya. Artinya, meskipun
harus kalah dalam Pilkada DKI, Ahok-Djarot berhasil memenangkan hati rakyat
seantero Indonesia. Mereka masih dicintai dan kelak diharapkan dapat
berkesempatan untuk terus berkontribusi bagi negara. Persoalan di DKI begitu
kompleks dan pelik.
Sampai
saat ini, Ahok masih menyisakan pekerjaan rumah yang penting. Sejumlah
prioritas di antaranya masih seputar penanganan banjir, kemacetan, reformasi
birokrasi, dan peningkatan layanan transportasi publik. Hubungan
interpersonal yang baik antara Ahok-Djarot dengan gubernur-wakil gubernur
terpilih dinilai dapat menjadi pendukung. Permasalahan di DKI memang tidak
bisa semuanya diselesaikan sendiri. Ada banyak yang harus dilakukan secara
berkesinambungan dengan duduk bersama.
Tugas
gubernur baru semakin berat dengan berbagai tantangan mengadang, di antaranya
birokrasi harus terus didorong untuk berevolusi mental dan bekerja dengan
melayani. Perlu keberanian dan ketegasan menghadapi berbagai kelompok
kepentingan di DKI mulai dari mafia, pengusaha hitam, preman berdasi, hingga
ormas-ormas intoleran. Untuk itu, diperlukan gaya komunikasi yang lebih
diplomatis dengan berbagai pihak untuk menuntaskan banyak masalah di DKI.
Masyarakat
telah memilih dan tentu berharap banyak pada gubernur baru untuk mewujudkan
janjijanji kampanye demi DKI Jakarta yang lebih baik. Untuk Pak Ahok dan Pak
Djarot, teruslah berkarya untuk negeri! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar