Minggu, 01 Februari 2015

Jangan Grogi Presiden!

Jangan Grogi Presiden!

Umbu TW Pariangu  ;  Dosen Fisipol Undana Kupang
REPUBLIKA, 30 Januari 2015

Artikel UTWP ini juga dimuat di JAWA POS 30 Januari 2015
dengan judul “Lupakan Politik Balas Budi demi Rakyat”
                                                                                                                                     
                                                

Tim Independen yang terdiri dari sembilan orang (Tim Sembilan) untuk mencari solusi atas kisruh KPK-Polri merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo untuk tidak melantik Komjen Budi Gunawan sebagai kepala Polri karena berstatus sebagai tersangka (Republika, 29/1). Meski berjanji akan mempertimbangkannya, dikhawatirkan Presiden agak sulit melaksanakan rekomendasi dimaksud karena berada dalam tekanan partai politik.

Tekanan politik inilah yang belakangan membuat sikap politiknya terkesan kompromistis dan terjebak dalam dilema. Apabila melantik Budi dengan status tersangka, Jokowi pasti ditentang masyarakat luas. Jangankan melantik, saat menyatakan menunda pelantikan Budi saja moralitas publik sudah tersinggung.

Jika di Filipina, Presiden Ferdinand Marcos yang dikenal diktator dan korup saja berani melantik hakim bersih Efren Plana yang sukses besar memberantas korupsi di Kantor Pajak Filipina tahun 1975. Masak di sini, Presiden penerima Bung Hatta Anti Corruption Award (2010), yang dipilih langsung rakyat, justru melantik petinggi polisi berkasus.

Jika tak dilantik, Jokowi pasti diserang elite-elite politik di belakangnya, termasuk DPR. Ia akan dianggap sebagai presiden hapaheman alias tak tahu berterima kasih atas pencapresannya pada Pemilu 2014 lalu. Dengan tak mengindahkan hasil fit and proper test, DPR bisa saja menggolongkan keputusan tidak melantik Budi sebagai penghinaan parlemen. Meskipun sebenarnya "politik mengharimaui" ini terkesan tidak etis dan bermoral. Sebab, awalnya "bola panas" status Budi berasal dari DPR yang grasa-grusu tetap meluluskan uji kepatutan dan kelayakan meski Budi sudah ditersangkakan.

Memang ada opsi lain yang ditawarkan Tim Sembilan, yakni melantik Budi lalu kemudian diminta mundur, sebagaimana diusulkan Menko Polhukam dan Menkumham. Namun, cara ini bisa mengangkangi maksud Pasal 11 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di mana Pasal 11 ayat 5 berbunyi, "Dalam keadaan mendesak, presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat."

Dalam penjelasannya disebutkan, "Yang dimaksud dengan dalam keadaan mendesak ialah suatu keadaan yang secara yuridis mengharuskan presiden menghentikan sementara Kapolri karena melanggar sumpah jabatan dan membahayakan keselamatan negara." Pertanyaannya, sumpah jabatan apa yang dilanggar oleh Budi?

Sulit dicerna akal sehat, seseorang yang baru disumpah, langsung dinilai melanggar sumpah jabatan. Budi bisa saja tak mundur dengan bersandar pada penafsiran hukum tersebut. Indikasi awalnya pun sudah tampak ketika Budi ngotot mempraperadilankan KPK ke pengadilan, termasuk juga melaporkan dua komisioner KPK ke Kejaksaan Agung, yakni Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua Bambang Widjojanto, pascapenersangkaan dirinya. Kini, kontroversi Budi telah memicu "kuretase" dalam rahim pemberantasan korupsi di mana semua pimpinan KPK sudah berstatus terlapor dan tersandung masalah hukum.

Bagaimanapun pedang pengambilan keputusan tetap harus dihunus Presiden. Tak mengenakkan memang, apalagi desas-desus pemakzulan mulai bergaung di Senayan. Salah satunya oleh politisi PDIP sendiri, Efendi Simbolon, yang menganggap sikap dan keputusan Jokowi membuka celah bagi kemungkinan pemakzulan dirinya. Misalnya, ketidaktegasan pidato Jokowi dalam menengahi ketegangan KPK dan kepolisian pascapenetapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka.

Memang sejauh ini kekuatan Koalisi Indonesia Hebat tak cukup kuat untuk menopang pemerintahan terhindar dari berbagai gangguan politis, termasuk pemakzulan. Kuatnya posisi politik DPR yang dikuasai Koalisi Merah Putih dan masih rentannya relasi politik antara pemerintah dan DPR membuat roda pemerintahan sewaktu-waktu bisa terganjal.

Meski demikian, Jokowi tak perlu terlalu grogi, yang kemudian bisa membuatnya salah mengambil keputusan. Sistem presidensial masih memberikan kemewahan konstitusional bagi pemerintahan untuk tetap eksis selama lima tahun. Menurut konstitusi, presiden dapat dimakzulkan oleh sejumlah alasan hukum—bukan alasan politik—yakni melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Itu pun dengan sejumlah tahapan politik yang "rumit" dan memakan waktu.

Sejauh ini kepercayaan rakyat terhadap Jokowi masih terjaga. Hasil survei Indopolling Network (28/1) menyatakan, tingkat kepercayaan terhadap kemampuan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden JK dalam melaksanakan program prioritas Nawa Cita masih tinggi. Tingkat kepercayaan tertinggi ada pada aspek menjaga toleransi kehidupan beragama (78,5 persen), disusul membangun infrastruktur (69,8 persen), dan memperkuat posisi Komisi Pemberantasan Korupsi sebesar 68,2 persen.

Modal inilah yang harus dirawat sebaik-baiknya oleh Jokowi. Maka, lupakan saja soal Budi atau baik budi ataupun balas budi. Kali ini, Jokowi sebaiknya membuktikan definisi demokrasinya—sewaktu debat capres kemarin—yakni "mendengarkan suara rakyat" dengan membatalkan pelantikan Budi dan melantik kapolri lain yang memiliki jejak rekam integritas, kompetensi, dan akseptabilitas demi martabat bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar