Jangan
Grogi Presiden!
Umbu TW Pariangu ; Dosen
Fisipol Undana Kupang
|
REPUBLIKA,
30 Januari 2015
Artikel UTWP ini juga dimuat di JAWA POS 30 Januari 2015
dengan judul “Lupakan Politik Balas Budi demi Rakyat”
Tim Independen yang terdiri dari sembilan orang (Tim
Sembilan) untuk mencari solusi atas kisruh KPK-Polri merekomendasikan kepada
Presiden Joko Widodo untuk tidak melantik Komjen Budi Gunawan sebagai kepala
Polri karena berstatus sebagai tersangka (Republika, 29/1). Meski berjanji
akan mempertimbangkannya, dikhawatirkan Presiden agak sulit melaksanakan
rekomendasi dimaksud karena berada dalam tekanan partai politik.
Tekanan politik inilah yang belakangan membuat sikap
politiknya terkesan kompromistis dan terjebak dalam dilema. Apabila melantik
Budi dengan status tersangka, Jokowi pasti ditentang masyarakat luas.
Jangankan melantik, saat menyatakan menunda pelantikan Budi saja moralitas
publik sudah tersinggung.
Jika di Filipina, Presiden Ferdinand Marcos
yang dikenal diktator dan korup saja berani melantik hakim bersih Efren Plana yang
sukses besar memberantas korupsi di Kantor Pajak Filipina tahun 1975. Masak
di sini, Presiden penerima Bung Hatta
Anti Corruption Award (2010), yang dipilih langsung rakyat, justru
melantik petinggi polisi berkasus.
Jika tak dilantik, Jokowi pasti diserang elite-elite
politik di belakangnya, termasuk DPR. Ia akan dianggap sebagai presiden hapaheman alias tak tahu berterima
kasih atas pencapresannya pada Pemilu 2014 lalu. Dengan tak mengindahkan
hasil fit and proper test, DPR bisa
saja menggolongkan keputusan tidak melantik Budi sebagai penghinaan parlemen.
Meskipun sebenarnya "politik mengharimaui" ini terkesan tidak etis
dan bermoral. Sebab, awalnya "bola panas" status Budi berasal dari
DPR yang grasa-grusu tetap meluluskan uji kepatutan dan kelayakan meski Budi
sudah ditersangkakan.
Memang ada opsi lain yang ditawarkan Tim Sembilan, yakni
melantik Budi lalu kemudian diminta mundur, sebagaimana diusulkan Menko
Polhukam dan Menkumham. Namun, cara ini bisa mengangkangi maksud Pasal 11
Ayat 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, di mana Pasal 11 ayat 5 berbunyi, "Dalam keadaan mendesak,
presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana
tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat."
Dalam penjelasannya disebutkan, "Yang dimaksud dengan dalam keadaan mendesak ialah suatu keadaan
yang secara yuridis mengharuskan presiden menghentikan sementara Kapolri
karena melanggar sumpah jabatan dan membahayakan keselamatan negara."
Pertanyaannya, sumpah jabatan apa yang dilanggar oleh Budi?
Sulit dicerna akal sehat, seseorang yang baru disumpah,
langsung dinilai melanggar sumpah jabatan. Budi bisa saja tak mundur dengan
bersandar pada penafsiran hukum tersebut. Indikasi awalnya pun sudah tampak
ketika Budi ngotot mempraperadilankan KPK ke pengadilan, termasuk juga
melaporkan dua komisioner KPK ke Kejaksaan Agung, yakni Ketua KPK Abraham
Samad dan Wakil Ketua Bambang Widjojanto, pascapenersangkaan dirinya. Kini,
kontroversi Budi telah memicu "kuretase" dalam rahim pemberantasan
korupsi di mana semua pimpinan KPK sudah berstatus terlapor dan tersandung masalah
hukum.
Bagaimanapun pedang pengambilan keputusan tetap harus
dihunus Presiden. Tak mengenakkan memang, apalagi desas-desus pemakzulan
mulai bergaung di Senayan. Salah satunya oleh politisi PDIP sendiri, Efendi
Simbolon, yang menganggap sikap dan keputusan Jokowi membuka celah bagi
kemungkinan pemakzulan dirinya. Misalnya, ketidaktegasan pidato Jokowi dalam
menengahi ketegangan KPK dan kepolisian pascapenetapan Wakil Ketua KPK
Bambang Widjojanto sebagai tersangka.
Memang sejauh ini kekuatan Koalisi Indonesia Hebat tak
cukup kuat untuk menopang pemerintahan terhindar dari berbagai gangguan
politis, termasuk pemakzulan. Kuatnya posisi politik DPR yang dikuasai
Koalisi Merah Putih dan masih rentannya relasi politik antara pemerintah dan
DPR membuat roda pemerintahan sewaktu-waktu bisa terganjal.
Meski demikian, Jokowi tak perlu terlalu grogi, yang
kemudian bisa membuatnya salah mengambil keputusan. Sistem presidensial masih
memberikan kemewahan konstitusional bagi pemerintahan untuk tetap eksis
selama lima tahun. Menurut konstitusi, presiden dapat dimakzulkan oleh
sejumlah alasan hukum—bukan alasan politik—yakni melakukan pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, perbuatan tercela,
dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Itu pun dengan sejumlah
tahapan politik yang "rumit" dan memakan waktu.
Sejauh ini kepercayaan rakyat terhadap Jokowi masih
terjaga. Hasil survei Indopolling
Network (28/1) menyatakan, tingkat kepercayaan terhadap kemampuan
Presiden Jokowi dan Wakil Presiden JK dalam melaksanakan program prioritas
Nawa Cita masih tinggi. Tingkat kepercayaan tertinggi ada pada aspek menjaga
toleransi kehidupan beragama (78,5 persen), disusul membangun infrastruktur
(69,8 persen), dan memperkuat posisi Komisi Pemberantasan Korupsi sebesar
68,2 persen.
Modal inilah yang harus dirawat sebaik-baiknya oleh
Jokowi. Maka, lupakan saja soal Budi atau baik budi ataupun balas budi. Kali
ini, Jokowi sebaiknya membuktikan definisi demokrasinya—sewaktu debat capres
kemarin—yakni "mendengarkan suara rakyat" dengan membatalkan
pelantikan Budi dan melantik kapolri lain yang memiliki jejak rekam
integritas, kompetensi, dan akseptabilitas demi martabat bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar