Minggu, 01 Februari 2015

Nalar Transisi Korupsi

Nalar Transisi Korupsi

Arifuddin Hamid  ;  Peneliti di Center on Policy Innovation, Jakarta;
Pegiat Studi Hukum UI
JAWA POS, 31 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Reformasi yang telah berjalan hampir dua windu meninggalkan berbagai sengkarut yang tidak saja berada pada lokus empirik, melainkan juga paradigmatik. Secara empiris, hal ini terlihat dari jumlah pelaku korupsi yang tidak secara konsisten menunjukkan grafik menurun. Bahkan tidak ada tanda untuk berakhir. Data dari berbagai institusi menyatakan bahwa perbuatan koruptif, baik tindak pidana korupsi sendiri sebagaimana diatur dalam UU 31/1999 dan perubahannya UU 20/2001 (UU Tipikor) maupun pencucian uang dalam UU 8/2010 (UU TPPU) kian bertambah dari tahun ke tahun.

Sementara secara paradigmatik, banyak elemen bangsa ini yang masih memakluminya sebagai suatu keniscayaan masa transisi. Terdapat semacam apalogia, bahwa korupsi belum berakhir karena reformasi baru saja berjalan kurang dari dua dekade. Apologia serupa kerap dihubungkan secara historis, dengan menuduh rezim Orde baru melakukan korupsi dengan sedemikian masif dan sistemik. Terhadap klaim ini, pertanyaan perlu diajukan: kapan masa transisi ini berakhir?

Menggugat Nalar

Dari sisi teoritik, transisi adalah konsep determinis. Thomas Carothers (The End of The Transition Paradigm, 2002) memberikan lima asumsi utama mengenai paradigma transisi. Pertama, negara yang bergerak menjauh dari diktatorianisme dapat dianggap sebagai negara yang bertransisi menuju demokrasi. Kedua, demokratisasi mengarah pada adanya tahapan-tahapan tertentu, yakni periode keterbukaan ketika demokrasi bertunas dan keterbukaan politik mulai tampak menggoncang rezim diktator. Kemudian diikuti oleh adanya terobosan dengan hadirnya pemerintah baru yang dilahirkan oleh pemilihan secara nasional dan pembentukan struktur institusi demokrasi, yang biasanya diikuti oleh pengumuman adanya konstitusi yang baru. Perkembangan terakhir memasuki era konsolidasi, yakni proses dimana bentuk demokrasi berubah menjadi lebih substantif melalui reformasi institusi-institusi negara, peraturan mengenai pemilihan, dan penguatan masyarakat sipil, dan secara menyeluruh adanya habituasi masyarakat ke dalam era demokrasi baru yang mengedepankan tata aturan yang baku dan diakui bersama.

Ketiga, kepercayaan mengenai penting dan menentukannya pemilihan. Pada titik ini, para penganjur demokrasi  tidak hanya meyakini bahwa pemilihan sebagai sumber legitimasi pemerintahan selepas era diktatorial, namun pemilihan juga memperluas dan mempertajam partisipasi politik dan akuntabilitas demokrasi negara pada warganya. Keempat, kondisi yang mendasari negara yang sedang dalam masa transisi, baik terkait dengan tingkat perkembangan ekonominya, sejarah politik, warisan kelembagaan, tradisi sosio kultural, atau aneka institusi struktural lainnya, bukanlah faktor utama dalam masukan ataupun keluaran dari proses transisi. Kelima, paradigma transisi berakhir pada asumsi bahwa transisi demokrasi mencapai gelombang demokrasi ketiga. Proses demokratisasi kelihatannya mencakup desain ulang institusi-institusi negara—pembentukan institusi elektoral baru, reformasi parlementarian, dan reformasi peradilan—tetapi hal tersebut merupakan perubahan bahwa negara telah berfungsi.

Terhadap determinasi tersebut, kita semua patut merasa ragu. Hal ini karena secara logis dan empirik, Indonesia telah layak disematkan sebagai negara demokratis—berakhirnya masa transisi. Dari sisi hukum, keraguan tersebut ternyata menemukan landasan faktualnya. Berbicara transisi, tidak dapat dilepaskan dari fakta objektif mengenai prasyarat bagi cita negara bebas korupsi. Secara konseptual, korupsi dapat diberantas, atau setidaknya dapat diminimalisir pada kondisi maklum, pada dua sistem pemerintahan. Di satu sisi, pada sistem pemerintahan otoriter, dengan kepemimpinan yang kuat, penegakan aturan dapat lebih terjamin. Di sisi lain, korupsi juga dapat ditekan pada sistem pemerintahan demokratis, dengan sikap proaktif masyarakat sipil.

Terhadap preposisi pertama, meskipun acapkali meleset, dapat dibayangkan secara logis. Artinya, keberhasilan tersebut bergantung pada komitmen penguasa tertinggi, sehingga satuan pemerintahan yang lebih rendah tidak memiliki ruang gerak untuk melakukan tindak koruptif. Keberhasilan pada situasi ini juga sangat bergantung pada berjalannya kendali internal pemerintahan. Sebaliknya pada pemerintahan demokratis, ruang gerak juga terbatas karena kuatnya pengawasan oleh publik, dengan faktorial transparansi dan akuntabilitas kepada masyarakat.

Namun sebagaimana adagium hukum, yang konseptual tidak berjalan paralel dengan fakta empiris. Sejarah bangsa ini justru menemukan anomali dan paradoksnya sendiri. Pada rezim Orde Baru, korupsi malah terjadi dengan sedemikian parah, dengan lumpuhnya pengawasan internal. Bahkan kalaupun aturan ditegakkan, terbatas hanya pada pemerintahan berlevel rendah. Akibatnya, korupsi berjalan signifikan, dengan kualitas mencengangkan. Tidak aneh kemudian korupsi yang bersifat oligarkis ini melumpuhkan republik dengan derajat endemik.

Hal yang sama juga terjadi pada pemerintahan demokratis pasca reformasi ini. Objektifikasi bagi keberhasilan antikorupsi justru berlajur simpang. Dengan predikat negara demokrasi terbesar ketiga, yang pengisian kekuasaannya meniscayakan keterlibatan publik, serta tren kuatnya masyarakat sipil, korupsi justru tumbuh subur. Dalam bidang ekonomi, negara ini telah sepakat menempuh jalur liberal yang ditandai oleh rezim devisa bebas, investasi asing dan beberapa kesepakatan perdagangan bebas regional. Dengan deretan fakta ini, bagaimana kita menjelaskan Indonesia belum memenuhi syarat minimal negara demokratis?

Apabila mendasarkan pada tabulasi perkara korupsi yang dihimpun KPK (per 31 Desember 2014), data perkara korupsi tidak menunjukkan pola sistematis, bahkan yang ada justru memiliki pola yang acak. Pada instansi kementerian/ lembaga misalnya, meskipun pada tahun 2014 ini menurun (26 perkara) ketimbang tahun 2013 (46 perkara), pada pemerintah provinsi justru trennya menaik (11 perkara pada 2014 dan 4 perkara pada 2013). Data ini setidaknya menunjukkan bahwa volatilitas korupsi di Indonesia sangat tinggi. Dari sisi penyelamatan uang negara, KPK hanya mampu mengembalikan Rp1.21 Triliun ke kas negara selama satu dasawarsa keberadaannya. Dengan fakta seperti ini, bagaimana demokrasi dapat menjamin pemberantasan korupsi dapat berlangsung optimal dan berhasil guna?

Pada akhirnya dibutuhkan upaya ekstra dan inovasi taktis dalam melawan korupsi. Aksi gemuruh yang dilakoni secara kolektif hari ini justru menyemai persoalan yang jauh lebih pokok dan mendasar. Bahwa demokrasi sebagai sumber legitimasi pembentukan institusi pejuang antikorupsi, baik di tataran struktural negara maupun kultural di kalangan masyarakat sipil, harus dapat menjawab klaim teknokratiknya sendiri yakni demokrasi jauh lebih efektif dalam mengurangi korupsi (Kolstad dan Wiig, 2011). Sebab kalau tidak, demokrasi sedang menyimpan bara di tungku republik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar