Minggu, 14 Desember 2014

Hari Nusantara dan Poros Maritim Dunia

                 Hari Nusantara dan Poros Maritim Dunia

Rokhmin Dahuri  ;   Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Maritim dan Perikanan
MEDIA INDONESIA,  13 Desember 2014

                                                                                                                       


KENDATI Deklarasi Djoeanda 13 Desember 1957 secara geopolitik dan geoekonomi sangat penting bagi kejayaan dan kedaulatan bangsa Indonesia, kita baru memperingatinya sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tepatnya 13 Desember 2000. Kemudian melalui Keppres No 126/2001, Presiden Megawati Soekarnoputri mengukuhkan Hari Nusantara, 13 Desember, sebagai hari nasional yang kemudian diperingati setiap tahun.

Tanpa Deklarasi Djoeanda, potensi kekayaan laut Indonesia hanya sekitar 1/3 dari potensi yang kita miliki sekarang. Pasalnya, wilayah laut Indonesia saat itu hanya meliputi laut sejauh 3 mil dari garis pantai yang mengelilingi pulau-pulau kita. Dengan demikian, di antara pulau-pulau Indonesia terdapat laut bebas (internasional), yang memisahkan satu pulau dengan lainnya, memisahkan kita, dan ini berarti ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa NKRI.

Kita patut bersyukur bahwa Ir H Djoeanda, perdana menteri pada waktu itu, dengan berani pada 13 Desember 1957 mendeklarasikan kepada dunia bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas itu, seperti diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonnantie 1939. Wilayah laut Indonesia ialah termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam Kepulauan Indonesia.

Deklarasi Djoeanda tidak langsung diterima masyarakat dunia, bahkan Amerika Serikat dan Australia menentangnya.

Namun, berkat kegigihan perjuangan diplomasi oleh para penerusnya seperti Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja dan Dr Hasyim Djalal, deklarasi yang berisikan konsepsi negara kepulauan (archipelagic state) tersebut diterima masyarakat dunia dan akhirnya ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982.

Peran Strategis Laut

Kini kita memiliki wilayah laut, termasuk ZEEI, sangat luas yakni 5,8 juta km2 yang merupakan 3/4 dari total wilayah Indonesia. Di dalamnya terdapat 17.504 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 95.200 km, terpanjang kedua setelah Kanada. Fakta fisik itulah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia. Di sinilah Deklarasi Djoeanda mendapatkan peran geopolitik yang sangat mendasar bagi kesatuan, persatuan, dan kedaulatan Indonesia.

Selain geopolitik, laut memiliki peran geoekonomi yang sangat strategis bagi kemajuan dan kemakmuran Indonesia. Laut kita mengandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam, baik berupa SDA terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi); SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC atau ocean thermal energy conversion); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah.

Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat kita daya gunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) tuan, persatuan, dan kedaulatan Indonesia.

Selain geopolitik, laut memiliki peran geoekonomi yang sangat strategis bagi kemajuan dan kemakmuran Indonesia.Laut kita mengandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam, baik berupa SDA terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi); SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC atau ocean thermal energy conversion); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah.

Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat kita daya gunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA nonkonvensional.

Total nilai ekonomi dari ke-11 sektor ekonomi kelautan itu diperkirakan mencapai US$1,2 triliun/tahun, sekitar 1,2 kali PDB dan 8 kali APBN 2014, dan dapat menyediakan lapangan kerja untuk 40 juta orang. Bila mampu mendayagunakan potensi ekonomi kelautan tersebut secara produktif dan optimal, kita bisa menjadi bangsa besar yang maju dan makmur dalam waktu dekat.

Potret kelautan masa lalu

Sayangnya, sejak zaman penjajahan sampai sebelum berdirinya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kita bangsa Indonesia melupakan jati diri kita sebagai bangsa maritim terbesar di dunia dan pernah menjadi bangsa besar yang makmur berbasis ekonomi kelautan dari abad ke-7 sampai abad ke-13, pada masa Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan kesultanan Islam. Sumber daya kelautan hanya dipandang dengan ‘sebelah mata’. Kalaupun ada kegiatan pemanfaatan, itu dilakukan secara kurang profesional dan ekstraktif, kurang mengindahkan aspek kelestariannya.

Laut dipersepsikan sebagai tempat buangan berbagai macam jenis limbah baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut. Dukungan infrastruktur, permodalan, iptek, SDM, dan kelembagaan terhadap bidang kelautan di masa lalu sangat rendah. Contohnya, Jepang dengan panjang pantai 34 ribu km memiliki 3.000 pelabuhan perikanan (satu pelabuhan setiap 11 km garis pantai). Thailand dengan 2.600 km panjang pantai mempunyai 52 pelabuhan perikanan, satu pelabuhan perikanan setiap 50 km garis pantai. 
Adapun Indonesia hanya punya 18 pelabuhan perikanan yang setingkat Jepang, atau satu pelabuhan perikanan setiap 4.500 km garis pantai.

Sejak 1970 sampai 1996, kredit usaha yang dicurahkan untuk usaha perikanan hanya sekitar 0,02% dari total kredit. Kekuatan hankam laut kita pun masih lemah. Betapa tidak, untuk menjaga wilayah laut seluas ini sedikitnya kita harus memiliki 10 kapal selam. Namun, kita hanya punya dua kapal selam tua, berumur 40 tahun. Jumlah kapal perang dan patroli minimal 130 unit, sekarang kita hanya memiliki 40 unit.

Agenda pembangunan

Sejak berdirinya KKP pada akhir 1999, geliat pembangunan kelautan mulai menunjukkan hasilnya. Dari perspektif geopolitik, hukum dan perundangan di bidang kelautan telah disusun dan disempurnakan, seperti UU No 31/2004 jo UU No 45/2009 tentang Perikanan, UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil, dan UU No 17/2008 tentang Pelayaran beserta sejumlah petunjuk teknis dan pelaksanaannya berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, dan peraturan daerah.

Visi dan gagasan besar Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia merupakan momentum bagi kita untuk mendayagunakan segenap potensi kelautan secara produktif, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan menuju Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat. Untuk itu, sejak sekarang kita harus: (1) menegakkan kedaulatan wilayah laut; (2) merevitalisasi semua kegiatan ekonomi kelautan yang ada; (3) mengembangkan ekonomiekonomi kelautan baru berbasis inovasi ramah lingkungan; (4) memperbaiki dan membangun infrastruktur, logistik, dan konektivitas maritim; (5) mengembangkan iptek kelautan; (6) menyediakan finansial kelautan; (7) mengembangkan SDM dan budaya maritim; dan (8) kelembagaan dan tata kelola kelautan.

Dalam jangka pendek (2015¬2020), kita mesti merevitalisasi dan mengembangkan sektor perikanan tangkap, perikanan budi daya, industri pengolahan hasil perikanan (laut), industri bioteknologi kelautan, pariwisata bahari, dan industri dan jasa maritim supaya lebih efisien, produktif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Untuk itu, semua kegiatan pembangunan dan bisnis di sektor kelautan akan mengikuti prinsip-prinsip berikut: (1) setiap unit bisnis harus memenuhi skala ekonominya; (2) menggunakan integrated supply chain management system, dari hulu (produksi) sampai ke hilir (pasar); (3) menggunakan inovasi teknologi mutakhir dalam setiap mata rantai supply chain system bisnis kelautan; (4) penguatan dan pengembangan industri hulu dan hilir, terutama untuk sektor perikanan tangkap, perikanan budi daya, dan ESDM; dan (5) pembangunan ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Selain itu, cluster-cluster industri kelautan akan dibangun secara proporsional di seluruh wilayah NKRI, khususnya di luar Jawa dan wilayah perbatasan. Dengan demikian, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru bakal terbangun di seluruh wilayah Nusantara dan sekaligus mengurangi masalah disparitas pembangunan antarwilayah dan menjadi `sabuk pengaman' (security belt) wilayah NKRI. Dalam jangka panjang, sektor ekonomi kelautan baru (SDA kelautan nonkonvensional) akan dikembangkan dengan menggunakan teknologi baru (seperti nano-bioteknologi dan lainnya) dan manajemen inovatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar