Bencana
dan Politik
Azyumardi Azra ; Direktur Sekolah
Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
|
KOMPAS,
23 Desember 2014
BENCANA
demi bencana masih melanda Indonesia. Julukan Indonesia sebagai ring of fire (cincin api) mungkin
tidak memadai lagi. Karena itu, Phil Sylvester, editor Travel Insight, menyatakan, ”Indonesia
telah selalu menjadi hotbed of earthquake activity, but in the past few years
there have been more deadly quakes than usual.”
Mempertimbangkan
gejala itu, jangan-jangan julukan Tanah Air kita harus diganti jadi ring of disasters, lingkaran bencana.
Ini terlihat, misalnya, pada bencana longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah,
yang menewaskan sekitar 85 orang dan mungkin ratusan orang lainnya hilang
tertimbun longsoran.
Meski
kita selalu berdoa agar bencana tidak terus melanda Indonesia, hampir bisa
dipastikan musibah tetap bakal datang. Banyak lokasi alam Indonesia secara
alamiah sangat rawan bencana. Namun, kian merosotnya kualitas lingkungan
hidup karena perusakan hutan atau penggarapan lahan rawan longsor
mengakibatkan bencana longsor dan banjir bandang semakin sering.
Menurut
data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sampai menjelang bencana
di Banjarnegara, pada 2014 tercatat 248 korban bencana longsor. Pada 2011,
menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, terjadi 452 longsor dan banjir
bandang, menewaskan 371 jiwa; dan 2010 dengan korban 635 orang. Menurut
Prevention Web, pada 1980-2010 rata-rata 6.209 setiap tahun orang tewas
karena berbagai bentuk bencana.
Jumlah
kerugian harta benda akibat bencana tidak sedikit. Menurut Bappenas, dalam 10
tahun terakhir, jumlah kerugian akibat bencana Rp 162 triliun, sedangkan
menurut data Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Rp 400
triliun. Berhadapan dengan bencana silih berganti dengan jumlah kerugian
begitu besar, pemerintah, khususnya melalui BNPB dan Kementerian Sosial,
sering terlihat gagap. Sering pula bantuan tak bisa cepat disalurkan karena
hambatan birokrasi dan administrasi.
Namun,
Indonesia beruntung karena solidaritas masyarakat masih kuat untuk
meringankan beban warga. Banyak warga spontan turun tangan membantu. Selain
itu, organisasi dan kelompok filantropi yang bergerak dalam penyantunan
korban bencana (relief) juga
terlihat cepat bergerak memberikan berbagai bentuk kontribusi berupa dana
infak, sedekah, dan sumbangan lain dari masyarakat. Kelas menengah yang terus
bertumbuh menjadi tulang punggung (backbone)
filantropi Indonesia memungkinkan mereka bergerak lebih aktif dan lebih
cepat.
Bagaimana
hubungan bencana dengan politik? Dalam pengalaman Indonesia, bencana bisa
menjadi momentum untuk perdamaian dan rekonsiliasi politik di Aceh setelah
konflik berdarah-darah selama beberapa tahun (1976-2005). Kasus ini terlihat
dalam bencana tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, yang tahun ini genap 10
tahun. Bencana dahsyat yang menewaskan sekitar 160.000 jiwa itu memaksa
Pemerintah Indonesia berunding dengan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
yang menghasilkan Persetujuan Helsinki (15 Agustus 2005). Dengan begitu,
bencana tsunami Aceh menjadi blessing in disguise bagi NKRI.
Bencana
demi bencana di Tanah Air juga mengundang parpol atau elite politik ”turun
tangan”. Gejala ini tidak unik di Indonesia, tetapi juga bahkan di AS. David
G Twigg dalam The Politics of Disaster: Tracking the Impact of Hurricane
Andrew (2012) menyimpulkan, bencana alam sejak dari gempa sampai tornado
dapat meninggalkan bekas tidak terhapuskan dalam karier politik seseorang.
Kecepatan figur politik dalam turut menangani korban bencana dapat memberikan
manfaat baginya sebab dengan begitu ia telah melakukan ”kampanye tanpa
kampanye”.
Keterlibatan
elite politik dan parpol di Tanah Air mewujud dalam pemberian bantuan
berbarengan dengan pemasangan bendera parpol masing-masing di wilayah
terlanda dan terdampak bencana. Keadaan ini kadang-kadang mengesankan adanya
”perang bendera” di antara parpol berbeda. Namun, keadaan agak berbeda dengan
bencana longsor Banjarnegara. Tidak terlihat banyak bendera parpol meski
sebenarnya ada di antara mereka yang juga turun ke sana.
Apakah
gejala ini mengindikasikan meningkatnya ”sensitivitas” parpol untuk tidak
”memanfaatkan” bencana guna meningkatkan popularitas mereka, seperti sering
dikritik banyak kalangan. Atau, boleh jadi juga karena memang tidak banyak
parpol yang datang ke daerah bencana. Boleh jadi hal terakhir ini yang lebih
benar. Hal ini terkait disorientasi yang dialami banyak parpol setelah Pemilu
2014. Parpol-parpol terbelah dalam dua kubu yang terlibat dalam kontestasi
dan kegaduhan politik yang tak kunjung usai. Boleh jadi, jangankan memikirkan
dan turut turun tangan dalam menyantuni korban bencana, DPR saja, tempat mereka
bertarung, terlihat mengalami kemacetan.
Lalu,
ada lagi konflik internal seperti yang terus membara dalam PPP dan Partai
Golkar. Pembelahan dan friksi yang entah sampai kapan menunjukkan parpol
lebih sibuk dengan dirinya daripada menyantuni korban bencana yang merupakan
konstituen mereka. Keadaan ini patut disayangkan. Alangkah eloknya jika
sumber daya manusia dan keuangan yang dimiliki elite politik dan parpol
digunakan untuk kemaslahatan warga, khususnya korban bencana. Sudah saatnya
elite politik dan parpol meninggalkan kegaduhan internal dan eksternal
sehingga dapat lebih bermanfaat bagi negara-bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar