Meniru
Rhenald Kasali ; Akademisi, Praktisi
Bisnis dan Guru Besar Bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia
|
KOMPAS,
22 Desember 2014
ANAK kecil umumnya suka meniru.
Ketika orang tuanya berangkat ke kantor sambil menenteng tas kerja, anak-anak
suka mengikutinya. Saat kakaknya berangkat sekolah, adik kecil pun ingin ikut
sekolah, minta dibelikan tas, buku, dan alat tulis. Lalu, berpura-pura
belajar di rumah dengan mencorat-coret. Bahkan, lantai atau tembok di rumah
jadi sasaran.
Malam, saat orang tuanya
istirahat sambil –maaf– minum kopi dan merokok, anak-anak pun bisa menirunya.
Anak lantas melinting kertas, menjepitnya dengan jari, dan mengisapnya. Kalau
kurang pengawasan, lintingan kertas itu pun dibakar dan diisap asapnya sampai
terbatuk-batuk.
Maka, hati-hatilah orang tua.
Jangan melakukan sesuatu yang tidak pantas di hadapan anak-anak. Anda bakal
repot di kemudian hari. Termasuk cara Anda marah saat mobil disalip pengemudi
lain atau mendamprat orang yang tidak berdaya.
Bahkan, menjelang dewasa,
remaja pun suka meniru. Entah itu gaya berbusana artis, potongan rambut,
sampai sepeda motor dan pilihan sekolah. Bahkan, belakangan banyak orang
dewasa yang suka merintis karir dengan ikut-ikutan meniru.
Belakangan ada juga kaum muda
yang gemar meniru karir orang-orang sukses. Ada yang polos, ada juga yang
sengak. Setelah coba-coba dan tidak berhasil, lama-lama belajar mengejek
orang lain sambil colek-colek para ahli untuk mengadu domba agar terlihat
hebat.
Tidak sedikit di antara peniru
yang mengganggu sehingga Twitter mereka terpaksa diblok walaupun mereka
menunjukkan fotonya bersama bintang pujaan, seakan tidak ada masalah. Mereka
diblok bukan karena pendapatnya hebat, melainkan karena amat mengganggu: annoying!
Main
Kubu-kubuan
Lambat laun saling meniru juga
mewabah di kalangan politisi. Mulai gaya interupsi, mengetuk palu tanpa
mendengarkan, bersekongkol untuk mengegolkan orang tertentu dalam jabatan,
lompat ”pagar”, gaya menekan dan menghina pejabat dalam rapat dengar pendapat,
cara menulis komentar di social media,
sampai membentuk partai tandingan. Tidak ketinggalan pula korupsi dalam
pembebasan tanah, perizinan, sampai praktik kawin siri dan mobil sport mewah.
Jadilah sebuah tontonan yang
tidak menarik kala politisi memainkan drama tiru-tiruan yang merugikan
publik, pakai duit kita. Karakternya tidak ada. Hanya kumpulan topeng badut
yang tidak memedulikan apa kata publik. Bayangkan, Partai Golkar berubah
haluan dalam hitungan hari terhadap sikapnya yang diputuskan pada munas dengan
ketukan penuh semangat dan tepuk tangan meriah saat menolak perppu terkait
pilkada langsung. Satu partai menolak, yang lain buru-buru meniru. Padahal,
bukan itu obrolan sehari-hari mereka. Ketika bos besar berubah haluan,
pengikut bukannya mundur karena tidak percaya pada karakternya, melainkan
ikut-ikutan berubah haluan.
Tiru-meniru di parlemen dengan
terbentuknya dua kubu, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat
(KIH), juga cepat menjalar ke bawah, ditiru di tingkat provinsi. Di Jakarta,
DPRD-nya ikut-ikutan memiliki kubu KMP. Kubu itu juga menempatkan dirinya
sebagai pihak oposisi bagi pemerintahan daerah yang sekarang berkuasa.
Aksi tiru-tiru tidak hanya
terjadi di DPRD. Ketika Presiden Joko Widodo melantik Basuki Tjahaja Purnama
menjadi gubernur DKI Jakarta, ternyata ada pihak lain yang meniru dengan
melantik orang lain juga sebagai gubernur DKI Jakarta. Yang membedakan cuma
satu: sumber duitnya.
Benar-benar menggelikan.
Fenomena
ATM
Sebetulnya di dunia bisnis,
tiru-meniru adalah hal yang biasa. Kaum muda menyebutnya ATM. Bukan anjungan
tunai mandiri, melainkan amati, tiru, dan modifikasi. Katanya, supaya tidak
dianggap pecundang, jangan jadi plagiat. Harus ada perbaikan. Tapi, peniru
yang hebat selalu diikuti R&D yang unggul, bukan cuma ikut-ikutan konyol.
Di dunia bisnis, kita mengenal
juga perusahaan yang hasil tiruannya lebih baik ketimbang produk aslinya.
Contohnya, Samsung asal Korea Selatan. Mereka meniru berbagai produk
smartphone, termasuk iPad dari Apple. Kita tahu kini produk smartphone dan
gadget Samsung merajai pasar. Kualitasnya baik, inovasi barunya jalan terus,
harganya pun bersaing.
Begitu pula, produk-produk
elektronik buatan Samsung kini mulai meninggalkan buatan Jepang. Kini kita
lebih mudah menemukan TV merek Samsung ketimbang Sony.
Di negara kita pun fenomena
serupa terjadi. Mungkin belum banyak yang tahu bahwa perintis rokok mild
adalah Bentoel. Tapi, Anda tentu bisa menilai siapa yang lebih sukses. Iya,
HM Sampoerna.
Di bisnis perbankan, dulu Bank
Niaga adalah yang mengawali penggunaan mesin ATM di tanah air. Lagi, Anda
tentu bisa menilai bank mana yang kemudian memiliki jaringan mesin ATM paling
banyak dan paling luas di negara ini.
Sayangnya, fenomena ATM semacam
itu tidak terjadi di dunia politik. Sebab, hasil tiruannya betul-betul lebih
buruk.
Maka, yang begini jangan kita
tiru-tiru! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar