Mitos
Sektor Perikanan Indonesia
Shiskha Prabawaningtyas ; Dosen Tetap di Prodi
Hubungan Internasional, Universitas Paramadina; Kandidat Doktor di
Universitas Humboldt, Berlin
|
KORAN
SINDO, 22 Desember 2014
Pernyataan
Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti yang ingin meningkatkan target penangkapan
ikan laut dapat dimaknai dalam dua perspektif. Pertama, membawa pesan
sindiran atas lemahnya industri hasil olahan komoditas ikan.
Kedua,
menyiratkan keberlanjutan mindset
lama tentang kepercayaan atas berlimpahnya kekayaan laut Indonesia yang tidak
terbatas (abundance and unlimited
resources). Dengan luas teritorial sekitar 284.210 km2 dan zona ekonomi
eksklusif seluas 2.981.211 km2, tidak berlebihan jika memiliki kepercayaan
atas besarnya potensi alam laut Indonesia.
Namun
dalam lintasan sejarah ekonomi Indonesia, sektor perikanan tidak pernah
menjadi tulang punggung pendapatan ekonomi negara. Berbeda dengan beberapa
negara kepulauan lainnya seperti Swedia atau Norwegia yang menjadikan sektor
perikanan sebagai sumber penting bagi pendapatan negaranya.
John
Butcher (2004) menyimpulkan bahwa negara di Asia Tenggara baru mulai tertarik
untuk mengembangkan sektor perikanan di awal 1800 termasuk mengalokasikan
subsidi. Pada masa negara kolonial Hindia Belanda, industri perikanan lebih
banyak diinisiasi oleh orang lokal dari China atau Arab, seperti di Bagan Si
Api Api untuk industri pengasinan ikan atau pengumpulan teripang dan kerang mutiara
di wilayah Maluku-Aru.
Pihak
penguasa negara kolonial masih fokus pada komoditas konvensional pertanian
sehingga beroperasinya kapal-kapal milik Jepang, Vietnam, China-Taiwan dan
Thailand di sekitar perairan kepulauan tidak dianggap sebagai ancaman
ekonomi. Baru di awal 1950, negara Indonesia merdeka melirik sektor perikanan
sebagai hal penting dalam strategi pembangunan ketahanan pangan seiring
peningkatan populasi.
Bahkan,
sektor perikanan menjadi kunci kesediaan Indonesia ikut menandatangani perjanjian
damai San Francisco tahun 1952 serta paket konsensi Jepang untuk mengakui
perairan kepulauan Indonesia di tahun 1962 pasca-Deklarasi Djuanda tahun
1957.
Data
Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa di tahun 2007, sektor perikanan hanya
menyumbang 2,47% dari produk domestik bruto atau sekitar Rp97,697 miliar dan
hanya meningkat 3,10% di tahun 2010 atau Rp199,219 miliar. Sindiran tentang
komoditas laut “label” Malaysia tampaknya tepat diletakkan dalam kritik besar
terhadap struktur ekonomi Indonesia yang masih menitikberatkan pada ekspor
barang mentah daripada olahan yang tentu memiliki nilai jual lebih tinggi.
Sudah
jadi rahasia umum bahwa banyak produk mentah Indonesia yang diekspor ke
China, Singapura, atau Malaysia dengan harga “murah”, lalu dijual dan dikemas
ulang sebagai produk “label” mereka dengan nilai jual yang jauh lebih tinggi
di pasar dunia. Kecenderungan ekspor barang mentah dalam sektor perikanan
Indonesia nampaknya mendominasi para pengambil kebijakan.
Data
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2011 dengan jelas menampilkan
minimnya produksi pengolahan hasil laut (industri hilir) jika dibandingkan
dengan produksi hasil laut (industri hulu). Jika di 2010, industri hulu
perikanan menghasilkan pendapatan sekitar Rp199,219 miliar, maka industri
hilir hanya mampu bernilai Rp17,918 miliar.
Kondisi
ini dapat “dimaklumi” jika disandingkan dengan data statistik tentang masih
minimnya ketersediaan pelabuhan dan pasar ikan, produksi es dan penyimpanan
ikan (cold storage), produksi garam,
serta tempat dan sentra pengolahan ikan.
Beberapa
pihak meyakini bahwa kebijakan transshipment yang dikeluarkan Kementerian
Kelautan dan Perikanan menunjukkan kurang keberpihakan terhadap pengembangan
industri hilir perikanan, selain menguatkan persepsi ketidakmampuan sistem
pengawasan terhadap penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia dan
minimnya kapabilitas kapal-kapal penangkap ikan Indonesia.
Data KKP
mencatat tindakan pidana perikanan sebanyak 155 di tahun 2007, 172 di tahun
2010, dan turun di tahun 2011 menjadi 90. Mayoritas tindak pidana masuk dalam
kategori tanpa izin, tanpa izin dan alat tangkap terlarang, serta dokumen
tidak lengkap atau lebih dipahami sebagai tindakan pencurian ikan (illegal fishing).
Kondisi
ini jelas menggambarkan lemahnya sistem perizinan dan pengawasan penangkapan
ikan di perairan Indonesia. Tumpang tindih otoritas pengawasan dan lemahnya
alutsista di wilayah perairan Indonesia adalah persoalan klasik yang sering
dijadikan justifikasi tentang lemahnya sistem pengawasan dan pengamanan
aktivitas di perairan Indonesia.
Revitalisasi
Bakorkamla terbukti belum mampu menyodorkan solusi efektif dalam persoalan
ini. Tak mengejutkan jika illegal fishing di perairan Indonesia yang banyak
dilakukan oleh kapal penangkap ikan berbendera asing khususnya Jepang,
Thailand, Vietnam, dan China-Taiwan masih seperti penyakit yang belum mau
disembuhkan walaupun sudah ditemukan sumber penyakitnya.
Kajian
historis menunjukkan bahwa sejak akhir abad ke-19 beberapa wilayah perairan Indonesia
sudah masuk kategori overfishing khususnya Laut Jawa dan sekitar Selat
Malaka. Indikasi ini sebenarnya mudah terdeteksi dengan maraknya kapal
penangkap ikan lintas batas ini yang bersifat offshore. Akibatnya para nelayan Indonesia dihadapkan pada
“ancaman” penyusutan “jatah” penangkapan mereka.
Konsep tragedy of the commons (Hardin 1968)
menyebutkan fenomena eksploitasi sumber laut yang dianggap milik bersama
sehingga boleh dieksploitasi oleh siapa pun tanpa sadar adanya batas
toleransi sebuah ekosistem. Maraknya konflik nelayan menguatkan indikasi
menipisnya sumber ikan akibat ketakutan mereka terhadap menurunnya jumlah
tangkapan.
Apakah tantangan Menteri Susi untuk
peningkatan target produksi penangkapan ikan di laut dilandasi dari asumsi
masih rendahnya pengembangan industri hilir atau memang keyakinan tentang unlimited source di perairan
Indonesia? Apakah peningkatan hasil tangkapan akan meningkatkan kesejahteraan
nelayan? Asumsi dasar kebijakan pemerintahan dalam penataan sistem perikanan
menjadi sangat vital dalam memutuskan pilihan penyelesaian persoalan yang
ada.
Pada
1970-an, pemerintah pernah mengeluarkan kebijakan subsidi penyediaan kapal
dan penggunaan trawl sebagai upaya modernisasi sektor perikanan dan
peningkatan kesejahteraan nelayan. Tujuannya meningkatkan produksi
penangkapan ikan. Namun tak lama berselang, pemerintah mengeluarkan
pelarangan penggunaan trawl yang
diyakini telah menyebabkan overfishing
di tahun 1980-an.
Kelompok
nelayan tetap termarjinalisasi dan mayoritas menjadi kelompok ekonomi miskin.
Salah satu alasannya adalah nelayan dan komunitas kawasan pesisir pantai
tidak pernah “diikutsertakan” dalam siklus produksi ikan, namun hanya
penangkapan ikan saja. Ironisnya, jumlah nelayan cenderung meningkat walaupun
kemiskinan terus menjerat kehidupan mereka.
Ini
menunjukkan persoalan struktural. Bandingkan dengan Swedia misalnya di mana
jumlah nelayan menyusut drastis karena terserap dalam industri dan
modernisasi perikanan diwujudkan efisiensi penangkapan ikan. Bahkan,
pengembangan industri pariwisata kepulauan diintegrasikan dengan sistem
manajemen kawasan pesisir.
Dalam
semangat “revolusi mental”, pilihan perspektif dan asumsi menjadi penting
dalam mengidentifikasi masalah, pilihan solusi, serta penetapan parameter atau
target sebuah solusi. Beberapa “mitos” dalam penataan sektor perikanan harus
segera didekonstruksi seperti target peningkatan pendapatan perikanan melalui
peningkatan hasil tangkap semata, sumber laut yang berlimpah dan dapat
bergenerasi dengan sendirinya (unlimited
resources), subsidi langsung terhadap nelayan tanpa pengembangan industri
pengelolaan.
Masih
maraknya penggunaan bahan peledak merupakan ekspresi ekstrem dari hadirnya
mitos unlimited resouces. Konsep common property resources yang sering
dilekatkan pada arti laut harus segera berganti menjadi common pool resources (CPR), yaitu penataan sistem manajemen
perikanan didasarkan dari asumsi sumber daya alam yang terbatas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar