Laporan Akhir Tahun Olahraga
Yang
Terdengar Selalu Lagu Lama
soal
Keping Medali
YNS ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
22 Desember 2014
REZIM
berganti dengan lagu lama tentang olahraga. Lagu itu selalu tentang keping
medali, bukan medali sebagai bagian dari bangunan besar olahraga yang fungsi
utamanya sebagai agen pembangunan karakter, pembentuk peradaban.
Pengujung
Oktober, segera setelah dilantik, Imam Nahrawi mengutarakan tugas utamanya
sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, perintah dari Presiden Joko Widodo.
Tugas itu, pertama, adalah tuan rumah Indonesia harus sukses menyelenggarakan
Asian Games 2018. Kedua, mendamaikan konflik antar-petinggi badan tertinggi
olahraga prestasi, Komite Olahraga Nasional Indonesia dan Komite Olimpiade
Indonesia.
Bicara
tentang sukses penyelenggaraan, tengoklah pengalaman tiga tahun silam.
Indonesia tuan rumah SEA Games 2011. Saat itu Indonesia menjadi juara umum.
Nyaris tidak ada protes dari peserta lain. Penonton memenuhi semua gelanggang
di setiap pertandingan. Penyelenggara puas, penonton puas, prestasi diraih.
Sukses.
Sukses
itu menggetarkan seluruh bangsa Indonesia dalam hitungan hari. Setelah itu,
kita kembali tersadarkan, kita tetaplah bangsa yang terpuruk.
Para
atlet kembali ke berbagai persoalannya: peralatan latihan usang atau yang
rusak tidak terganti, mau bertanding tak punya uang. Belum keresahan bagi
mereka yang sudah ”lanjut usia”. Mau ke mana setelah prestasi? Kita sadari,
pendidikan formal sebagian atlet prestasi kita tidaklah tinggi.
Dari
segi organisasi, olahraga tetap saja karut-marut. Pertanggungjawaban keuangan
molor tak karuan. Ini masih ada contohnya belakangan: soal pembelian alat
tanding kontingen Asian Games, Oktober lalu.
Pemenang
lelang mundur saat pesta olahraga itu hampir berakhir. Padahal, para pengurus
induk organisasi olahraga keburu membeli peralatan. Mereka minta uang
diganti. Terdesak, pejabat perusahaan pemenang lelang memberikan sinyal,
merasa dijebak. Lalu, senyap.
Menpora
saat itu, Roy Suryo, murka. Dia memerintahkan jajarannya menyelidiki kasus
itu tuntas. ”Harus dibuka semuanya. Kalau perlu, lapor polisi untuk
menyelidiki,” kata Roy kepada Kompas.
Jadi,
Pak Nahrawi, sukses penyelenggaraan Asian Games 2018 itu relatif mudah.
Namun, apa gunanya jika kisah 2011 hingga 2014 berulang.
Kisah
seperti itu tidak akan pernah menjadikan olahraga sebagai agen perubahan.
Padahal, olahraga masyarakat (terutama pendidikan jasmani) terbukti merupakan
jalan ampuh dalam membentuk mental. Amerika Serikat serta negara-negara Eropa
dan Asia Timur sudah lama membuktikannya.
Di kita,
sekolah dan olahraga adalah dua kutub yang berseberangan, tak pernah seiring
sejalan. Semua anak dan remaja yang menemukan dirinya berpotensi dalam
olahraga harus memilih: sekolah atau olahraga. Konsep ideal bahwa
perkembangan anak haruslah seimbang antara kognisi, kebugaran jasmani, dan
seni tak pernah ada di sini.
Sementara
itu, dunia olahraga prestasi kita tidak pernah terlindungi predikatnya sebagai
role model atas segala kebaikan. Yang terjadi, sektor itu penuh dengan
potensi penyelewengan dana, uang atlet yang disunat, potensi perpindahan
atlet antardaerah lain yang dijadikan ”proyek” oleh oknum birokrat pemerintah
dan birokrat olahraga.
Jadi,
akankah pemerintah yang sekarang mau menggunakan olahraga sebagai alat untuk
merevolusi mental, seperti yang diimpikan Bung Karno dulu? Atau, lagi-lagi
yang terdengar lagu lama yang itu-itu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar