Laporan Akhir Tahun Olahraga
Saatnya
Birokrat Bekerja
Helena Fransisca Nababan ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
22 Desember 2014
KABAR
tak sedap terdengar pada pekan pertama Oktober 2014 seusai Asian Games
Incheon. Tim angkat besi Indonesia terancam tidak bisa bertanding di
Kejuaraan Dunia yang berlangsung di Almaty, Kazakhstan.
Sebulan
menjelang keberangkatan untuk mengikuti kejuaraan yang merupakan babak
kualifikasi Olimpiade Rio de Janeiro 2016, dukungan dari Kementerian Pemuda
dan Olahraga (Kemenpora) untuk tim belum jelas.
Dengan
rencana memberangkatkan 11 lifter putra-putri, 5 pelatih, dan 1 manajer,
kebutuhan dana untuk mengikuti kejuaraan di Almaty, 4-16 November, sekitar Rp
880 juta. Sesuai regulasi yang dipahami pengurus cabang olahraga, setiap
cabang yang akan mengikuti kejuaraan internasional mesti membuat proposal
untuk mendapat dukungan dana dari Kemenpora.
Tak mau
melewatkan kejuaraan yang menentukan kehadiran lifter Indonesia di Olimpiade
2016 itu, Pengurus Besar Persatuan Angkat Besi, Binaraga, dan Angkat Berat
Seluruh Indonesia (PB PABBSI) pun mengirimkan proposal kejuaraan sejak jauh
hari. Tujuannya agar Kemenpora bisa mencermati keperluan tim dan menyiapkan
dana. ”Kami bolak-balik mengingatkan Kemenpora tentang proposal kejuaraan
dunia yang akan diikuti para lifter. Sudah kami sampaikan jauh-jauh hari.
Namun, ya responnya seperti itu,” ujar Wakil Ketua Umum PB PABBSI Djoko
Pramono, tanpa menjelaskan detail respons yang dimaksud. Djoko ditemui di
Bandara Soekarno-Hatta, pertengahan November silam, saat menjemput tim angkat
besi seusai kejuaraan di Almaty itu.
Sebagai
cabang yang tidak pernah absen menyumbangkan medali sejak Asian Games
1982—angkat besi Indonesia bahkan pernah mendapat perunggu dari Thio Ging
Hwie pada Asian Games 1954—angkat besi sangat berambisi meningkatkan prestasi
mereka. Maklum, lifter Indonesia belum pernah berdiri di podium tertinggi.
Hasil terbaik adalah medali perak yang diraih lima lifter sejak 1990 hingga
yang terakhir diperoleh Sri Wahyuni di Incheon 2014.
Untuk
mewujudkan target tersebut, tim pelatih dan pengurus PABBSI bahkan langsung
menyusun pemetaan kekuatan tim seusai Olimpiade London 2012. Kebutuhan dana
dihitung untuk pelatnas dan mengikuti sejumlah kejuaraan. Road to Olympic Rio
2016, begitu PB PABBSI menamai misi sukses emas di Olimpiade.
Dua
tahun setelah menyampaikan pemetaan itu, PB PABBSI kembali mengingatkan
Kemenpora. Namun, respons yang diterima minim.
Persiapan
panjang wajar dilakukan mengingat bersaing merebut emas di tingkat Olimpiade
bukan perkara mudah. Keberhasilan mendapat satu perak dan dua perunggu dalam
Olimpiade Sydney 2000, misalnya, merupakan hasil persiapan sejak 1990-an.
Sebagai cabang andalan medali Olimpiade, selain bulu tangkis, sangatlah wajar
apabila pemerintah memberikan dukungan pendanaan sejak masa persiapan, bukan
mempersulit.
”Untuk
ke Almaty, proposal sudah kami serahkan 12 Agustus 2014. Begitu Asian Games
Incheon usai, kami bertanya kepada Kemenpora tentang proposal. Namun,
kejelasan tak kunjung datang. Kami sempat pesimistis,” ujar manajer tim
nasional angkat besi Alamsyah Wijaya.
Berkat
kegigihan pengurus PABBSI terus mempertanyakan komitmen Kemenpora,
kementerian akhirnya membantu. Pihak Kemenpora menyebutkan, angkat besi
mendapat bantuan tiket dan uang saku untuk 12 orang, tetapi tak ada dana
untuk pelatnas sebagai persiapan menuju Almaty. Untuk itu, PABBSI kembali
harus memutar otak mencari dana. Beruntung, PT Kereta Api Indonesia sebagai bapak
angkat PB PABBSI memberikan bantuan tunai Rp 200 juta.
Seperti
disebutkan Alamsyah seusai Asian Games, demi mencapai target emas di Rio,
pihaknya akan berusaha bekerja sama dengan perusahaan swasta. Langkah ini
harus dilakukan mengingat pemerintah sangat sulit diandalkan untuk bisa
membantu 100 persen.
”Kejuaraan
angkat besi itu membutuhkan detail, mulai pra-kompetisi hingga saat
kompetisi. Jadi, pelatih yang mesti berangkat juga banyak. Bagaimana dengan
sisa tim yang belum terdukung? Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, dan Sekretaris
Jenderal PB PABBSI berpatungan membiayai setelah kami berhitung ulang,” ujar
Alamsyah.
Kerja
keras PB PABBSI di langkah awal menuju Rio membuahkan hasil. Lima tiket dari
tim putra dan dua tiket dari tim putri direbut dari Almaty. Kesempatan
menambah tiket untuk tampil di Olimpiade Rio masih terbuka dalam Kejuaraan
Dunia 2015 di Amerika Serikat. Di sisi lain, Kemenpora akhirnya mengganti
dana yang dikeluarkan pengurus untuk keperluan lifter tampil di Almaty, 19
Desember lalu.
Blusukan dan jemput bola
Pengamat
olahraga nasional Fritz E Simandjuntak menyatakan apresiasi atas sikap
pengurus PB PABBSI. ”Mau menalangi dulu keperluan tim, itu menjadi bukti
tanggung jawab pengurus. Saat belum ada solusi dari Kemenpora, pengurus mengambil
sikap dengan cara berpatungan itu bagus. Daripada tak bisa ikut kualifikasi
dan tidak mendapat tiket ke Olimpiade?” ujar Fritz.
Meski
begitu, ia melihat ada yang mesti dibenahi. Kemenpora belum memiliki
manajemen olahraga profesional.
Belajar
dari masalah pendanaan yang dihadapi angkat besi dan sebagian besar cabang
olahraga lain yang mengalami hal serupa, seharusnya Kemenpora menerapkan
sistem prioritas cabang, diurutkan dari cabang-cabang penyumbang medali di
Olimpiade sebagai target tertinggi, diikuti Asian Games, lalu SEA Games.
Dengan demikian, sistem pendanaan bisa lebih terfokus untuk cabang-cabang
yang ada dalam daftar prioritas tersebut.
Mulai
awal November, tiga cabang ditetapkan menjadi cabang prioritas Olimpiade.
Selain angkat besi, ada bulu tangkis dan panahan. ”Namun, sudahkah Kemenpora
memiliki manajemen pelatnas yang profesional? Kalau sudah, tentu penyediaan
peralatan tanding, uang saku atlet dan pelatih, juga suplemen seharusnya
lancar,” kata Fritz.
Belajar
dari masalah angkat besi pula, prosedur proposal yang diterapkan Kemenpora
merupakan cara lama yang sudah diterapkan belasan tahun. Selain membutuhkan
waktu lama dalam menunggu realisasinya, cara itu juga tidak efektif.
Pengurus
cabang mesti bolak-balik mengurus proposal yang selalu saja dinilai kurang
lengkap. Hal ini juga pernah dialami Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis
Seluruh Indonesia (PBSI) yang harus berkali-kali mengulang membuat proposal
dari awal.
Sistem
proposal, ujar Fritz, boleh saja dipakai. Namun, Menpora mesti melengkapi
Satlak Prima sebagai institusi yang menyiapkan atlet dan memverifikasi
proposal dengan tim asisten. Tim itu beranggotakan orang-orang yang paham
penggunaan anggaran secara benar.
Tim
sebaiknya blusukan menjemput bola, mendatangi satu demi satu cabang yang
terpilih menjalankan pelatnas untuk pekan olahraga internasional. ”Bukan
hanya datang, melainkan juga mempelajari program setiap cabang sehingga paham
besaran kebutuhan anggaran setiap cabang dan waktu penggunaannya,” lanjut
Fritz.
Tim itu
juga berhak memberikan asistensi kepada pengurus cabang tentang menyusun
proposal yang benar sehingga tak membutuhkan waktu lama untuk
menyelesaikannya. Sebagai tim yang juga paham anggaran, tim juga boleh
membantu mempercepat pencairan anggaran. Perubahan sistem kerja ini, kata
Fritz, sebaiknya didialogkan dengan pihak yang mengawasi anggaran, seperti
Komisi Pemberantasan Korupsi. Tujuannya, agar cara penyerapan dan pencairan
anggaran tidak menyalahi peraturan keuangan negara.
Namun,
sekali lagi, Menpora mesti memiliki tim asisten dengan orang-orang bermental
pekerja, bukan mempersulit. Kemenpora harus mulai berubah dari titik ini,
karena itu menjadi titik tolak pembenahan manajemen olahraga Indonesia, dalam
hal ini dari sisi kinerja birokrat.
Bagaimana
dengan pengurus cabang? Pengurus cabang juga sebaiknya mengubah pola pikir
dan perilaku. Pengurus tidak bisa selalu menggantungkan anggaran pada
Kemenpora. Mereka harus berpikir kreatif di tengah keterbatasan dana olahraga
dari pemerintah.
Sejak
2011, Kemenpora sudah menggandengkan setiap cabang dengan badan usaha milik
negara sebagai bapak angkat. Namun, bapak angkat juga sebaiknya tak dianggap
sebagai sumber dana yang bisa dimintai tolong kapan pun. Ada etika timbal
balik yang mesti dipahami pengurus cabang. Ketika meminta bantuan, keuntungan
apa yang bisa diberikan kepada BUMN itu?
Demi kemajuan olahraga Indonesia, memang birokrat dan birokrasi di
Kemenpora harus dibenahi. Pengurus juga sebaiknya kreatif membuat terobosan,
terutama dalam hal pendanaan yang selalu menjadi kendala. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar