Senin, 22 Desember 2014

Siti

Siti

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  21 Desember 2014

                                                                                                                       


Semasa sekolah menengah pertama (SMP) saya pernah membaca sebuah novel karangan Marah Rusli terbitan Balai Pustaka berjudul Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai.

Dalam buku itu diceritakan tentang kisah kasih tak sampai antara seorang gadis cantik, Sitti Nurbaya, dengan seorang pemuda tampan, Samsul Bahri, yang berlatar belakang masyarakat Minangkabau di Padang. Pada suatu masa, Samsul Bahri hendak melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Dokter Jawa di Batavia (sekarang FKUI). Sebelum berangkat ia pamit kepada Sitti Nurbaya sambil menyatakan cintanya yang berbalas dari Sitti.

Maka, berpisahlah dua muda-mudi itu setelah bersumpah untuk sehidup-semati. Tetapi, sementara kepergian Samsul Bahri, ayah Sitti Nurbaya, seorang saudagar kaya bernama Baginda Suleman, dizalimi oleh seorang kaya lain yang jahat bernama Datuk Meringgih.

Karena persaingan, Datuk Meringgih menyuruh para pendekarnya untuk membakar perahu-perahu penuh dagangan dan meracuni kebun kelapa milik Baginda Suleman sehingga Baginda Suleman bangkrut dan meminjam uang f10.000 (baca: 10.000 gulden) kepada Datuk Meringgih.

Karena Baginda Suleman tidak bisa mengembalikan uang itu, di luar kehendaknya Sitti Nurbaya dinikahkan dengan Datuk Meringgih, si tua bangka. Singkat cerita, pada akhir kisah Samsul Bahri kembali ke Padang, tetapi bukan sebagai mahasiswa kedokteran, melainkan sebagai seorang letnan dari tentara Belanda yang datang untuk menumpas sebuah pemberontakan pajak.

Pada kesempatan itu, Letnan Mas (nama samaran Samsul Bahri) sempat berduel dengan Datuk Meringgih yang berakibat keduanya tewas dan Letnan Mas dimakamkan berdampingan dengan makam Sitti Nurbaya, ibundanya, dan ayahandanya, Baginda Suleman, yang sudah lebih dahulu meninggal akibat kekejaman Datuk Meringgih.

Pada awal Era Reformasi, muncul lagi seorang Siti yaitu Siti Nurhaliza yang bukan asli Indonesia, melainkan impor dari Malaysia. Karena itu, namanya panjang sekali karena dilengkapi dengan berbagai gelar yaitu Datin Siti Nurhaliza binti Tarudin DIMP, JSM, SAP, PMP, AAP, yang kemudian (setelah ngetop sebagai penyanyi pop di Indonesia) menikah dengan Datuk Khalid, seorang duda yang jauh lebih senior beranak empat.

Tetapi, tidak seperti yang dikenal masyarakat Indonesia, ternyata Siti Nurhaliza yang sangat cantik dan selalu tersenyum ketika bernyanyi (sehingga sangat memukau para mas-mas dan om-om senang) adalah juga seorang perempuan pengusaha, punya studio rekaman, dan sekaligus juga berprofesi sebagai presenter. Luar biasa. Akhirnya, pada Era Reformasi ini, saya kenal dengan satu Siti lagi yaitu Siti Nurbaya (dengan satu ”t”), yang nama lengkapnya adalah Dr Ir Siti Nurbaya Bakar MSc.

Dari gelarnya, kita tahu bahwa dia orang sekolahan. Dia lulusan SMAN 8 Jakarta (yang pada waktu itu SMA paling top se-Indonesia), insinyur pertanian dari IPB, dan lulusan S-3 dari IPB dan Siegen University, Jerman. Tetapi, Siti Nurbaya yang ini tidak berkarier di universitas, tapi di birokrasi, dimulai dari jabatan-jabatan papan bawah di Bappeda Provinsi Lampung, sampai menjadi sekjen Depdagri RI, sekretaris DPD RI, dan sekarang menteri lingkungan hidup dan kehutanan.

Saya pernah dua kali mendapat job dari ibu yang luar biasa ini yaitu ketika meneliti kasus bullying yang menyebabkan kematian seorang taruna Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan ketika saya ditunjuk untuk menjadi anggota tim seleksi calon anggota KPU menjelang Pemilu 2004.

Tiga orang Siti yang hidup pada era yang berlainan menunjukkan perjalanan sejarah gender di Indonesia. Sitti Nurbaya menjadi korban diskriminasi gender yang sangat terbuka dan dibenarkan oleh masyarakat pada zamannya. Kemudian dari Malaysia, Siti Nurhaliza datang untuk menyapa masyarakat Indonesia dengan lagu-lagu merdu dan senyumnya yang amat cantik.

Dia, yang selalu menyebut dirinya dengan ”Siti” saja, datang dengan sederetan gelar bangsawan yang menunjukkan betapa di negeri jiran itu status perempuan bisa tinggi walaupun di sisi lain masih berlaku budaya poligami di sana. Akhirnya ada Siti Nurbaya kedua, yang dengan kekuatannya sendiri, menempuh pendidikannya sendiri dan menjalani kariernya sendiri sehingga mencapai puncaknya, tanpa bantuan siapa-siapa dan menembus semua sistem diskriminasi yang ada di Indonesia.

Inilah perwujudan cita-cita Kongres Perempuan I di Yogya pada 28 Desember 1928. Salah satu peserta sekaligus oratornya adalah seorang Siti juga yaitu Ibu Siti Zahra Gunawan yang kebetulan nenek saya sendiri dari garis ibu saya. Hidup Siti!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar