Siti
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 21 Desember 2014
Semasa
sekolah menengah pertama (SMP) saya pernah membaca sebuah novel karangan
Marah Rusli terbitan Balai Pustaka berjudul Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai.
Dalam
buku itu diceritakan tentang kisah kasih tak sampai antara seorang gadis
cantik, Sitti Nurbaya, dengan seorang pemuda tampan, Samsul Bahri, yang
berlatar belakang masyarakat Minangkabau di Padang. Pada suatu masa, Samsul
Bahri hendak melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Dokter Jawa di Batavia
(sekarang FKUI). Sebelum berangkat ia pamit kepada Sitti Nurbaya sambil
menyatakan cintanya yang berbalas dari Sitti.
Maka,
berpisahlah dua muda-mudi itu setelah bersumpah untuk sehidup-semati. Tetapi,
sementara kepergian Samsul Bahri, ayah Sitti Nurbaya, seorang saudagar kaya
bernama Baginda Suleman, dizalimi oleh seorang kaya lain yang jahat bernama
Datuk Meringgih.
Karena
persaingan, Datuk Meringgih menyuruh para pendekarnya untuk membakar
perahu-perahu penuh dagangan dan meracuni kebun kelapa milik Baginda Suleman
sehingga Baginda Suleman bangkrut dan meminjam uang f10.000 (baca: 10.000
gulden) kepada Datuk Meringgih.
Karena
Baginda Suleman tidak bisa mengembalikan uang itu, di luar kehendaknya Sitti
Nurbaya dinikahkan dengan Datuk Meringgih, si tua bangka. Singkat cerita,
pada akhir kisah Samsul Bahri kembali ke Padang, tetapi bukan sebagai
mahasiswa kedokteran, melainkan sebagai seorang letnan dari tentara Belanda
yang datang untuk menumpas sebuah pemberontakan pajak.
Pada
kesempatan itu, Letnan Mas (nama samaran Samsul Bahri) sempat berduel dengan
Datuk Meringgih yang berakibat keduanya tewas dan Letnan Mas dimakamkan
berdampingan dengan makam Sitti Nurbaya, ibundanya, dan ayahandanya, Baginda
Suleman, yang sudah lebih dahulu meninggal akibat kekejaman Datuk Meringgih.
Pada
awal Era Reformasi, muncul lagi seorang Siti yaitu Siti Nurhaliza yang bukan
asli Indonesia, melainkan impor dari Malaysia. Karena itu, namanya panjang
sekali karena dilengkapi dengan berbagai gelar yaitu Datin Siti Nurhaliza
binti Tarudin DIMP, JSM, SAP, PMP, AAP, yang kemudian (setelah ngetop sebagai
penyanyi pop di Indonesia) menikah dengan Datuk Khalid, seorang duda yang
jauh lebih senior beranak empat.
Tetapi,
tidak seperti yang dikenal masyarakat Indonesia, ternyata Siti Nurhaliza yang
sangat cantik dan selalu tersenyum ketika bernyanyi (sehingga sangat memukau
para mas-mas dan om-om senang) adalah juga seorang perempuan pengusaha, punya
studio rekaman, dan sekaligus juga berprofesi sebagai presenter. Luar biasa.
Akhirnya, pada Era Reformasi ini, saya kenal dengan satu Siti lagi yaitu Siti
Nurbaya (dengan satu ”t”), yang nama lengkapnya adalah Dr Ir Siti Nurbaya
Bakar MSc.
Dari
gelarnya, kita tahu bahwa dia orang sekolahan. Dia lulusan SMAN 8 Jakarta
(yang pada waktu itu SMA paling top se-Indonesia), insinyur pertanian dari
IPB, dan lulusan S-3 dari IPB dan Siegen University, Jerman. Tetapi, Siti
Nurbaya yang ini tidak berkarier di universitas, tapi di birokrasi, dimulai
dari jabatan-jabatan papan bawah di Bappeda Provinsi Lampung, sampai menjadi
sekjen Depdagri RI, sekretaris DPD RI, dan sekarang menteri lingkungan hidup
dan kehutanan.
Saya
pernah dua kali mendapat job dari ibu yang luar biasa ini yaitu ketika
meneliti kasus bullying yang
menyebabkan kematian seorang taruna Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri
(STPDN) dan ketika saya ditunjuk untuk menjadi anggota tim seleksi calon
anggota KPU menjelang Pemilu 2004.
Tiga
orang Siti yang hidup pada era yang berlainan menunjukkan perjalanan sejarah
gender di Indonesia. Sitti Nurbaya menjadi korban diskriminasi gender yang
sangat terbuka dan dibenarkan oleh masyarakat pada zamannya. Kemudian dari
Malaysia, Siti Nurhaliza datang untuk menyapa masyarakat Indonesia dengan
lagu-lagu merdu dan senyumnya yang amat cantik.
Dia,
yang selalu menyebut dirinya dengan ”Siti” saja, datang dengan sederetan
gelar bangsawan yang menunjukkan betapa di negeri jiran itu status perempuan
bisa tinggi walaupun di sisi lain masih berlaku budaya poligami di sana.
Akhirnya ada Siti Nurbaya kedua, yang dengan kekuatannya sendiri, menempuh
pendidikannya sendiri dan menjalani kariernya sendiri sehingga mencapai
puncaknya, tanpa bantuan siapa-siapa dan menembus semua sistem diskriminasi
yang ada di Indonesia.
Inilah
perwujudan cita-cita Kongres Perempuan I di Yogya pada 28 Desember 1928.
Salah satu peserta sekaligus oratornya adalah seorang Siti juga yaitu Ibu
Siti Zahra Gunawan yang kebetulan nenek saya sendiri dari garis ibu saya.
Hidup Siti! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar