Laporan Akhir Tahun Olahraga
Berbenahlah
dari Akar Rumput
Yulia Sapthiani ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
22 Desember 2014
ASIAN
Games Incheon menjadi momen besar olahraga Indonesia tahun 2014. Merah Putih
meraih empat emas, sama seperti Asian Games 2010. Di pekan olahraga
negara-negara Asia itu, Indonesia masih kesulitan bersaing, termasuk dengan
negara-negara Asia Tenggara.
Dengan 4
emas, 5 perak, dan 11 perunggu, Indonesia berada di peringkat ke-22, jauh di
bawah juara umum Tiongkok dengan 151 emas, 108 perak, dan 83 perunggu.
Dibandingkan dengan negara tetangga, tim Merah Putih tertinggal dari Thailand
di peringkat keenam dengan 12 emas serta Malaysia dan Singapura di urutan ke-14
dan ke-15, masing-masing dengan lima emas.
Dua emas
Indonesia didapat cabang bulu tangkis, melalui ganda putra Hendra
Setiawan/Mohammad Ahsan dan ganda putri Greysia Polii/Nitya Krishinda
Maheswari. Dua emas lain disumbangkan atlet putri Maria Natalia Londa (lompat
jauh) dan Juwita Nisa Wasni (wushu).
Bulu
tangkis masih menjadi cabang andalan untuk meraih emas di berbagai pekan
olahraga, dari SEA Games hingga Olimpiade. Di Incheon, prestasi Maria Londa
memecah kebuntuan emas atletik sejak Supriati Sutono terakhir kali meraihnya
di Asian Games 1998. Sementara emas dari Juwita menjadi emas pertama wushu
Indonesia di arena Asian Games.
Meski
ada ”cabang baru”, penyumbang emas Indonesia tak pernah lebih dari dua-tiga
cabang di setiap Asian Games, kecuali tahun 1962, ketika Indonesia menjadi
tuan rumah. Saat itu, atlet-atlet atletik, bulu tangkis, loncat indah, dan
balap sepeda menyumbang total 11 emas.
Selain
empat cabang itu, ada boling, perahu naga, wushu, tenis, tinju, karate, dan
layar dalam daftar peraih emas Indonesia hingga Asian Games 2014.
Seperti
pekan olahraga internasional lain, baru bulu tangkis yang terbilang konsisten
menyumbangkan emas. Kecuali di Seoul 1986 dan Beijing 1990, atlet bulu
tangkis selalu membuat ”Indonesia Raya” berkumandang.
Tenis
pernah menyumbangkan emas antara 1966 hingga 2002, kecuali di Bangkok 1970
dan Hiroshima 1994. Namun, cabang lain hanya muncul di satu-dua Asian Games,
setelah itu menghilang.
Boling
yang pertama kali menyumbangkan emas di Doha 2006, misalnya, gagal mengulang
hal yang sama pada dua Asian Games berikutnya. Pun dengan perahu naga yang
menggebrak di Guangzhou 2010 dengan tiga emas, melorot drastis hanya dalam
waktu setahun. Tak satu emas pun didapat ketika berkompetisi di tingkat Asia
Tenggara, SEA Games 2011, meski berlangsung di hadapan publik sendiri.
Di
Incheon, atletik dan wushu turut membuat ”Indonesia Raya” terdengar. Namun,
mempertahankan reputasi cabang peraih emas di tingkat Asia tak akan mudah.
Demikian pula mewujudkan target peringkat kelima Asian Games 2018, kala
negeri ini menjadi tuan rumah. Target itu disampaikan Menteri Pemuda dan
Olahraga Imam Nahrawi di awal masa jabatannya, Oktober lalu, meski Imam pun
menyadari target itu berat diwujudkan.
Cabang andalan
Tak
dikuasainya cabang tambang emas, seperti atletik, akuatik, dan senam, oleh
Indonesia menjadi salah satu penyebab sulitnya mencapai target itu. Perenang
Indonesia misalnya—setelah terakhir kali Richard Sam Bera dan kawan-kawan
menyumbangkan tiga perunggu di Beijing 1990—hanya mentok di peringkat keempat
Asia. Atletik juga masih kalah bersaing dengan atlet Asia Timur,
negara-negara Arab, dan atlet dari pecahan Uni Soviet.
Bandingkan
dengan Tiongkok dan Jepang yang selalu berada di peringkat tiga besar karena
menguasai arena atletik dan kolam renang. Thailand tak kalah gemilang di
lintasan atletik dengan koleksi 13 emas selama Asian Games. Thailand juga
selalu berada di peringkat 10 besar pada 12 kali Asian Games dan tak pernah
terlempar dari urutan ke-12 sebagai peringkat terburuk mereka.
Atlet-atlet
Indonesia juga tak mampu bersaing di arena Olimpiade Remaja yang digelar
untuk atlet usia 14-18 tahun. Tahun ini, di Nanjing, Tiongkok, Indonesia
hanya meraih 1 perunggu. Lagi-lagi, hasil itu jauh tertinggal dibandingkan
dengan Tiongkok sebagai juara umum, termasuk Thailand, Singapura, Vietnam,
dan Malaysia.
Jika tak
ada pembenahan, hasil tersebut menjadi refleksi dunia olahraga Indonesia pada
masa depan, di kala para remaja itu beranjak status menjadi atlet senior.
Apalagi,
jalan pikiran beberapa pejabat olahraga turut merusak tatanan olahraga
prestasi negeri ini. Beberapa kali, pejabat di lingkungan Kemenpora menyebut
SEA Games sebagai puncak dari piramida prestasi di atas Asian Games dan
Olimpiade.
Sebagai
negara terbesar, Indonesia memang sepantasnya menjadi nomor satu di Asia
Tenggara. Namun, negara ini juga punya atlet yang tak hanya berstatus
Olimpian (pernah tampil di Olimpiade), tetapi juga peraih medali Olimpiade.
Sejak
perak panahan di Seoul 1988—medali pertama Indonesia di Olimpiade—kontingen
Merah Putih selalu berada dalam daftar peraih medali di setiap Olimpiade.
Selain panahan yang hanya meraih medali di Seoul, bulu tangkis dan angkat
besi menjadi penyumbang tetap medali hingga London 2012.
Berdasarkan
catatan itu, Olimpiade seharusnya berada dalam hierarki tertinggi, bukan
sebagai sasaran antara untuk menjadi juara umum SEA Games. ”Di Indonesia,
Pekan Olahraga Nasional (PON) bahkan dinilai lebih penting daripada
Olimpiade,” kata Ketua Kelompok Ilmu Keolahragaan Sekolah Farmasi Institut
Teknologi Bandung Tommy Apriantono.
Penyebabnya
adalah perang bonus hingga puluhan juta rupiah untuk per keping emas dari
sejumlah daerah. Fenomena perpindahan atlet antardaerah setiap menjelang PON,
bahkan sejak empat tahun sebelumnya, tak terhindarkan.
Fungsi pembinaan
Sebagai
mata rantai dari kondisi itu, fungsi pembinaan olahraga sejak dari daerah,
seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional, tak ada. Padahal, pembinaan olahraga di daerah, dengan
fokus pada cabang tertentu, dapat menjadi modal untuk menentukan cabang
andalan Indonesia di berbagai pekan olahraga internasional.
”Lampung,
misalnya, telah menghasilkan lifter berprestasi hingga tingkat dunia. Jawa
dan Manado melahirkan atlet bulu tangkis, Nusa Tenggara Barat punya banyak
sprinter,” kata Tommy, menyebut beberapa contoh cabang yang bisa dikembangkan
di daerah.
”Dengan
adanya pemetaan berdasarkan fakta yang ada selama ini, penelitian dan
pengembangan berdasarkan sport science bisa dilakukan. Misalnya, apa yang
membuat Lampung punya banyak lifter dan NTB punya sprinter? Apakah ada
kondisi genetik dan lingkungan yang berpengaruh? Jika ini bisa diketahui,
pembinaan yang selama ini banyak dilakukan secara tradisional bisa didekati
dengan pendekatan ilmiah,” kata Tommy.
Menuai
hasil dari pembinaan yang dimulai dari akar rumput memang membutuhkan waktu
lama. Namun, ini akan lebih baik dibandingkan dengan cara instan, seperti
yang dilakukan ketika mempertandingkan cabang yang hanya menguntungkan
Indonesia ketika menjadi tuan rumah SEA Games 2011. Perolehan 182 emas—40 di
antaranya dari sepatu roda, panjat dinding, renang sirip, dan paralayang—tak
berbekas di Olimpiade 2012, SEA Games 2013, dan Asian Games 2014.
Jepang,
seperti dituturkan Tommy, doktor dari National Institute of Fitness and
Sports, Kanoya, Jepang, telah menetapkan target juara dunia sepak bola 2050.
Langkah awal untuk mencapai target itu dilakukan sejak 2003!
”Target
mereka adalah pemain yang merupakan keturunan dari generasi 2003. Kecintaan
pada sepak bola ditanamkan sejak level keluarga,” cerita Tommy.
Indonesia?
Insan olahraga negeri ini mau tak mau harus mengambil kebijakan tak populis,
mulai membenahi pembinaan dari akar rumput. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar