Minggu, 14 Desember 2014

Perempuan Bekerja dan Kualitas Anak

                     Perempuan Bekerja dan Kualitas Anak

Razali Ritonga  ;   Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
MEDIA INDONESIA,  13 Desember 2014

                                                                                                                       


WACANA mengurangi jam kerja bagi perempuan bekerja yang digulirkan Wakil Presiden Jusuf Kalla ditanggapi beragam berbagai pihak. Hal itu cukup wajar mengingat pengurangan jam kerja akan berdampak terhadap kegiatan usaha dan kehidupan berbangsa.

Meski demikian, satu hal yang patut digarisbawahi dari pernyataan Wapres JK itu ialah adanya suatu isyarat yang dapat dijadikan pintu masuk (entry point) untuk meningkatkan kualitas anak di Tanah Air.Hal itu kiranya tidak mengada-ada mengingat kualitas anak di negeri ini masih terbilang rendah.

Rendahnya kualitas anak di Tanah Air, antara lain, tecermin dari cukup tingginya prevalensi anak yang mengalami stunting, yang berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 tercatat sekitar 37,2%. Hal itu juga terlihat dari masih tingginya angka kematian bayi di Indonesia jika dibandingkan dengan sejumlah negara pada tataran global.

Laporan The World Fact Book, misalnya, memperkirakan angka kematian bayi di Tanah Air pada 2014 sebesar 25,16 per 1.000 kelahiran hidup. Angka itu lebih tinggi, misalnya, jika dibandingkan dengan sejumlah negara ASEAN, seperti Singapura (sebesar 2,53 per 1.000 kelahiran hidup), Thailand (9,86), Brunei Darussalam (10,48), Malaysia (13,69), Filipina (17,64), dan Vietnam (18,99).

Faktor kemiskinan

Rendahnya kualitas anak di Tanah Air ditengarai berkaitan dengan faktor kemiskinan. Hal itu, antara lain, terdeteksi dari kematian bayi yang lebih tinggi pada kelompok miskin jika dibandingkan dengan kematian bayi pada kelompok kaya.

Studi Bank Dunia (2001), misalnya, menunjukkan angka kematian bayi pada 25% kelompok termiskin tiga kali lipat besarnya jika dibandingkan kematian bayi pada 25% kelompok terkaya. Kurangnya asupan gizi diperkirakan yang melatarbelakangi tingginya kematian bayi pada kelompok miskin.

Karena itu, untuk memenuhi asupan gizi pada anak, tidak sedikit ibu terpaksa bekerja guna menambah pendapatan keluarga. Diperkirakan, bagi ibu yang kurang memiliki pendidikan dan keterampilan, mayoritas bekerja di sektor informal meng ingat sektor itu paling mudah dimasuki karena tidak terlalu memerlukan persyaratan khusus. Ibu yang memiliki pendidikan cukup memadai umumnya bekerja di sektor formal.

Namun, terkait dengan pengasuhan anak, ibu bekerja di sektor informal berbeda dengan ibu bekerja di sektor formal. Di sektor informal, dengan sistem kerja yang umumnya kurang teratur, para ibu biasanya bisa membawa anak mereka ke tempat bekerja sehingga masih bisa melakukan pengasuhan anak.

Namun, bagi ibu bekerja di sektor formal, pengasuhan anak bisa menjadi persoalan.Meski, misalnya, para ibu dapat mempekerjakan sanak saudara atau asisten rumah tangga, pola pengasuhan anak--seperti imunisasi anak--kerap kurang optimal.

Berdasarkan studi di Nikaragua, diperoleh hasil bahwa anak dari ibu bekerja di sektor informal menunjukkan kondisi fisik yang lebih baik. Hal ini tecemin dari tinggi badan anak dari ibu bekerja di sektor informal yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tinggi badan anak dari ibu bekerja di sektor formal (Wolfe and Behrman, 1982).

Dampak beragam

Meski demikian, pencermatan terhadap keterkaitan antara ibu bekerja dan kualitas anak di sejumlah negara menunjukkan dampak beragam. Studi di perdesaan India, misalnya, menunjukkan anak dari ibu bekerja di luar rumah cenderung menderita kekurangan gizi (Kumar, 1978).

Namun, studi yang hampir sama di Filipina menunjukkan tidak ada perbedaan status gizi anak antara ibu yang bekerja atau tidak bekerja (Popkin, 1980).
Studi di Peru terhadap anak dari ibu bekerja paruh waktu (part time), setelah dikontrol pendapatan, menunjukkan tinggi badan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tinggi badan anak dari ibu bekerja penuh (full time) (Adelman, 1983). Sebaliknya, yang terjadi di Kolombia menunjukkan keadaan berbeda dengan tinggi badan anak dari ibu bekerja paruh waktu lebih pendek jika dibandingkan dengan tinggi badan anak dari ibu bekerja penuh (Franklin, 1979).

Selanjutnya, studi di Mexico City menunjukkan anak dari ibu bekerja dengan jam kerja yang panjang akan memiliki berat badan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan berat badan anak dari ibu bekerja dengan jam kerja pendek (Mireles, 1979).

Ditengarai, beragamnya dampak ibu bekerja terhadap kualitas anak berkaitan dengan strategi yang diterapkan rumah tangga terhadap pengasuhan anak. Di New Delhi, misalnya, pengasuhan anak umumnya diserahkan kepada anak perempuan untuk menggantikan peran ibu yang bekerja (Basu, 1993).
Sementara itu, anak perempuan dari ibu bekerja di Indonesia kerap meninggalkan sekolahnya untuk menggantikan peran ibunya ketika ada adiknya yang menderita sakit (Pitt and Rosenzweig, 1990).

Dengan beragamnya dampak ibu bekerja terhadap kualitas anak, hal itu kerap mengundang konflik kepentingan antara menambah pendapatan keluarga guna memenuhi asupan gizi anak dan kurang optimalnya pengasuhan anak akibat bekerja.

Tampaknya, di sinilah poin dari usulan Wapres JK untuk mengurangi jam kerja 
perempuan, yakni agar terjadi keseimbangan antara kepentingan memperoleh pendapatan dan pengasuhan anak, guna meningkatkan kualitas anak.

Meski demikian, untuk sampai pada tataran implementatif, barangkali perlu dilakukan kajian secara mendalam, terutama terhadap mekanisme dan dampaknya terhadap kegiatan usaha dan kehidupan bangsa di Tanah Air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar