Perempuan
Bekerja dan Kualitas Anak
Razali Ritonga ; Direktur Statistik Kependudukan dan
Ketenagakerjaan BPS RI
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Desember 2014
WACANA mengurangi jam kerja bagi
perempuan bekerja yang digulirkan Wakil Presiden Jusuf Kalla ditanggapi
beragam berbagai pihak. Hal itu cukup wajar mengingat pengurangan jam kerja
akan berdampak terhadap kegiatan usaha dan kehidupan berbangsa.
Meski demikian, satu hal yang
patut digarisbawahi dari pernyataan Wapres JK itu ialah adanya suatu isyarat
yang dapat dijadikan pintu masuk (entry point) untuk meningkatkan kualitas
anak di Tanah Air.Hal itu kiranya tidak mengada-ada mengingat kualitas anak
di negeri ini masih terbilang rendah.
Rendahnya kualitas anak di Tanah
Air, antara lain, tecermin dari cukup tingginya prevalensi anak yang
mengalami stunting, yang berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013
tercatat sekitar 37,2%. Hal itu juga terlihat dari masih tingginya angka
kematian bayi di Indonesia jika dibandingkan dengan sejumlah negara pada
tataran global.
Laporan The World Fact Book, misalnya, memperkirakan angka kematian bayi
di Tanah Air pada 2014 sebesar 25,16 per 1.000 kelahiran hidup. Angka itu
lebih tinggi, misalnya, jika dibandingkan dengan sejumlah negara ASEAN,
seperti Singapura (sebesar 2,53 per 1.000 kelahiran hidup), Thailand (9,86),
Brunei Darussalam (10,48), Malaysia (13,69), Filipina (17,64), dan Vietnam
(18,99).
Faktor kemiskinan
Rendahnya kualitas anak di Tanah
Air ditengarai berkaitan dengan faktor kemiskinan. Hal itu, antara lain,
terdeteksi dari kematian bayi yang lebih tinggi pada kelompok miskin jika
dibandingkan dengan kematian bayi pada kelompok kaya.
Studi Bank Dunia (2001),
misalnya, menunjukkan angka kematian bayi pada 25% kelompok termiskin tiga
kali lipat besarnya jika dibandingkan kematian bayi pada 25% kelompok
terkaya. Kurangnya asupan gizi diperkirakan yang melatarbelakangi tingginya
kematian bayi pada kelompok miskin.
Karena itu, untuk memenuhi asupan
gizi pada anak, tidak sedikit ibu terpaksa bekerja guna menambah pendapatan
keluarga. Diperkirakan, bagi ibu yang kurang memiliki pendidikan dan
keterampilan, mayoritas bekerja di sektor informal meng ingat sektor itu
paling mudah dimasuki karena tidak terlalu memerlukan persyaratan khusus. Ibu
yang memiliki pendidikan cukup memadai umumnya bekerja di sektor formal.
Namun, terkait dengan pengasuhan
anak, ibu bekerja di sektor informal berbeda dengan ibu bekerja di sektor
formal. Di sektor informal, dengan sistem kerja yang umumnya kurang teratur,
para ibu biasanya bisa membawa anak mereka ke tempat bekerja sehingga masih
bisa melakukan pengasuhan anak.
Namun, bagi ibu bekerja di
sektor formal, pengasuhan anak bisa menjadi persoalan.Meski, misalnya, para
ibu dapat mempekerjakan sanak saudara atau asisten rumah tangga, pola
pengasuhan anak--seperti imunisasi anak--kerap kurang optimal.
Berdasarkan studi di Nikaragua,
diperoleh hasil bahwa anak dari ibu bekerja di sektor informal menunjukkan
kondisi fisik yang lebih baik. Hal ini tecemin dari tinggi badan anak dari
ibu bekerja di sektor informal yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
tinggi badan anak dari ibu bekerja di sektor formal (Wolfe and Behrman,
1982).
Dampak beragam
Meski demikian, pencermatan
terhadap keterkaitan antara ibu bekerja dan kualitas anak di sejumlah negara
menunjukkan dampak beragam. Studi di perdesaan India, misalnya, menunjukkan
anak dari ibu bekerja di luar rumah cenderung menderita kekurangan gizi (Kumar, 1978).
Namun, studi yang hampir sama di
Filipina menunjukkan tidak ada perbedaan status gizi anak antara ibu yang
bekerja atau tidak bekerja (Popkin,
1980).
Studi di Peru terhadap anak dari
ibu bekerja paruh waktu (part time),
setelah dikontrol pendapatan, menunjukkan tinggi badan yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tinggi badan anak dari ibu bekerja penuh (full time) (Adelman, 1983). Sebaliknya, yang terjadi di Kolombia menunjukkan
keadaan berbeda dengan tinggi badan anak dari ibu bekerja paruh waktu lebih
pendek jika dibandingkan dengan tinggi badan anak dari ibu bekerja penuh (Franklin, 1979).
Selanjutnya, studi di Mexico
City menunjukkan anak dari ibu bekerja dengan jam kerja yang panjang akan
memiliki berat badan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan berat badan
anak dari ibu bekerja dengan jam kerja pendek (Mireles, 1979).
Ditengarai, beragamnya dampak
ibu bekerja terhadap kualitas anak berkaitan dengan strategi yang diterapkan
rumah tangga terhadap pengasuhan anak. Di New Delhi, misalnya, pengasuhan
anak umumnya diserahkan kepada anak perempuan untuk menggantikan peran ibu
yang bekerja (Basu, 1993).
Sementara itu, anak perempuan
dari ibu bekerja di Indonesia kerap meninggalkan sekolahnya untuk
menggantikan peran ibunya ketika ada adiknya yang menderita sakit (Pitt and Rosenzweig, 1990).
Dengan beragamnya dampak ibu
bekerja terhadap kualitas anak, hal itu kerap mengundang konflik kepentingan
antara menambah pendapatan keluarga guna memenuhi asupan gizi anak dan kurang
optimalnya pengasuhan anak akibat bekerja.
Tampaknya, di sinilah poin dari
usulan Wapres JK untuk mengurangi jam kerja
perempuan, yakni agar terjadi
keseimbangan antara kepentingan memperoleh pendapatan dan pengasuhan anak,
guna meningkatkan kualitas anak.
Meski
demikian, untuk sampai pada tataran implementatif, barangkali perlu dilakukan
kajian secara mendalam, terutama terhadap mekanisme dan dampaknya terhadap
kegiatan usaha dan kehidupan bangsa di Tanah Air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar