Kurikulum
Kembali ke Asal (2)
Dedi Mulyadi ; Bupati Purwakarta
|
KORAN
SINDO, 22 Desember 2014
Pendidikan
harus mengajarkan kepada anak-anak kita untuk mampu melihat seluruh tuntunan
perilaku hidup yang meliputi penglihatan pada ruang keluarga, pada ruang
masyarakat, dan pada ruang alam.
Harus
jujur, kita akui seluruh ruang itu kini mengalami penyempitan. Media massa,
media elektronik, dan media sosial kini tumbuh menjadi kekuatan yang sangat
memengaruhi karakter anak-anak kita. Ruang yang begitu bebas dan terbuka
telah menyeret anak-anak kita pada sudut kesempitan berpikir, sehingga lahir
berbagai tindak yang abnormal yang kini dilakukan anak-anak usia remaja.
Kurikulum
tidak mesti mengatur pada hal-hal bersifat teknis, karena sepandaipandainya
seseorang yang memiliki kepakaran dalam bidang pendidikan tidak akan mungkin
dia memahami seluruh kebutuhan anak Indonesia yang tersebar luas dan memiliki
keragaman kualifikasi personal dan komunal.
Anak-anak
perkotaan hidup di belantara tiang beton, bersemayam di rumah tanpa jendela,
berlari di gang-gang sempit, berenang di sungai yang hitam dan pekat. Hidup
di antara bising kendaraan, sisi penat sebuah kehidupan tiada hari tanpa
kemacetan dan makanan yang harus diperoleh di tengah-tengah himpitan hidup
yang semakin kejam.
Di sisi
lain ada yang hidup dalam rimba riang kemudahan, air yang mengalir jernih
dari sudut kamar mandi yang mengkilap, berlari dari pintu ke pintu perumahan
mewah yang terhampar taman yang tertata dan asri, makanan yang siap tersaji
di meja makan. Ada pula anak-anak perdesaan yang hidup di antara belantara
alam yang luas, sungai yang mengalir jernih, sawah yang terbentang tanpa
batas, gunung yang tinggi menjulang dirimbuni pepohonan, setiap hari
bercengkerama dengan ayam, domba, sapi, kuda, dan kerbau.
Kurikulum
semestinya memberikan panduan untuk membangun kesempurnaan diri mereka agar
mampu beradaptasi dan melakukan perubahan pada lingkungan yang mengurungnya.
Anak-anak di perkotaan dididik untuk melakukan perubahan terhadap lingkungan
yang tidak tertata, belajar membuat biopori, mengelola sampah organik dan
anorganik, berangkat ke sekolah dengan bersepeda atau berjalan kaki,
menjernihkan air yang kotor, belajar hidup menabung dan hidup berbagi
terhadap sesama, serta berbagai pembelajaran lain yang membangun kekukuhan
hidup secara personal dan kekokohan hidup secara komunal.
Kekukuhan
tersebut akan mampu melahirkan manusia yang memiliki jati diri dan daya saing
di tengah persaingan hidup yang semakin berat, kompetisi yang melahirkan
kepenatan berpikir dan gelombang manusia frustrasi karena kehilangan kendali
diri dan kendali ekologi.
Anak-anak
perdesaan dididik untuk memahami peta dunia, melakukan pengelolaan alam
secara paripurna tanpa harus melakukan perusakan terhadap seluruh tata nilai
budaya yang menjadi warisan leluhurnya. Mereka harus diberikan sebuah
keyakinan akan keberadaban ajaran leluhur Nusantara tanpa harus inferior
terhadap ajaran impor.
Aku bangga menjadi anak Papua, aku adalah
Papua, aku adalah Aceh, aku adalah Sunda, aku adalah Jawa, aku adalah Bugis,
aku adalah Minang, aku adalah Batak, aku adalah Betawi, aku adalah Bali,
akulah Indonesia yang sebenarnya. Mereka akan tumbuh menjadi para diplomat
budaya yang berdiri tegak dan kukuh di tengah-tengah percaturan dunia.
Karakter
itulah yang menjadi dambaan kita semua. Dari keakuan itulah akan lahir
kreativitas, diplomasi tanpa harus melakukan kekerasan, dan marketing
perdesaan tanpa harus perusakan lingkungan yang mampu mengadvokasi kearifan
budaya dari berbagai intervensi dan penghancuran atas nama modernisasi,
kemapanan, dan peradaban baru yang semu.
Konsepsi
pendidikan tersebut harus terpetakan secara menyeluruh di seluruh lapisan
pendidikan Nusantara sehingga pola pembelajaran yang diajarkan adaptif
terhadap lingkungan. Guru-guru harus tumbuh menjadi inspirator bagi para
muridnya, menjadikan lingkungan sebagai laboratorium terbuka untuk mengadakan
pengayaan dan penghayatan terhadap pengetahuan anak didiknya.
Pola
rekrutmen guru harus memperhatikan ketersediaan tenaga yang berasal dari
lingkungan tidak hanya mesti didasarkan pada standar formal, tetapi juga
harus mencoba membaca aspek-aspek informal kekuatan guru. Pola rekrutmen yang
tidak didasarkan pada aspek wilayah, telah melahirkan kesenjangan
ketersediaan guru di sebuah wilayah.
Awalnya
“Aku bersumpah bahwa aku bersedia ditempatkan di mana pun ketika aku diangkat
menjadi pegawai negeri sipil”, tetapi setelah itu kelas-kelas menjadi sepi
karena ditinggal oleh gurunya yang kembali ke kampung halamannya. Hal seperti
itu memang tidak terjadi pada semua guru, masih banyak guruguru yang mau
bertahan di tempat-tempat yang disebut daerah istimewa.
Saya
menyebutnya daerah istimewa, bukan daerah terpencil karena daerah terpencil
itu sebenarnya memiliki berbagai keistimewaan. Istimewa bahasa masyarakatnya,
istimewa makanannya, istimewa pakaiannya, istimewa tata bahasanya, istimewa
alamnya. Keistimewaan tersebut adalah cermin kekayaan alam Indonesia yang
masih orisinal milik negeri kita sendiri, belum tergadaikan dan belum dibeli
oleh bangsa lain.
Orisinalitas
ini adalah kekayaan Indonesia yang sebenarnya karena kota dan pusat peradaban
semu sudah bukan lagi milik kita. Hotel-hotel berbintang yang tinggi
menjulang, tumpukan uang yang ada di berbagai perbankan, lalu lintas
telekomunikasi yang kita nikmati, media sosial yang kita gandrungi,
sebenarnya punya siapa? Rambut berwarna yang mereka pakai, sebenarnya rambut
siapa... rambut, rambut siapa ini... begitulah kata TehEvi Tamala.
Apabila
kurikulum dibuat dalam kerangka general dan diterjemahkan secara efektif dan
objektif oleh para pelaksana pendidikan yang kultur dan menyeluruh, maka
kurikulum tidak ada kalimat tahunan. Dia akan menjadi kekuatan yang tumbuh
membingkai keanekaragaman Indonesia.
Persoalan
dihentikannya pelaksanaan Kurikulum 2013 menimbulkan pertanyaan yang cukup
mendalam, kenapa sebuah kebijakan yang menyangkut keberlangsungan keberadaban
sebuah bangsa menjadi kebijakan yang tidak mencerminkan kematangan dalam
berpikir dan kecerdasan dalam bertindak. Sudah berapa besar uang yang
dibelanjakan untuk membeli buku, berapa besar uang yang dibelanjakan untuk
membeli iklan, sosialisasi, pelatihan, dan sistem yang dibangun?
Angka-angka
tersebut kini menjadi angka-angka tanpa makna dan terbuang percuma di
tengahtengah negeri yang sibuk melakukan efisiensi. Ketika sekarang
memutuskan kembali ke Kurikulum 2006, mengapa dulu membuat Kurikulum 2013?
Kalau kata Meggi Z....Kau yang nyalakan, engkau juga yang padamkan...Guru dan
murid adalah manusia yang memiliki rasa, bukan tumpukan kertas atau barang
tanpa makna.
Tidak
beradab rasanya menempatkan mereka sebagai bagian dari percobaan estimasi
berpikir sempit yang dilakukan oleh para pakar pendidikan. Maka bergemuruhlah
berbagai pertanyaan, sebagaimana ceuk
Mang Udin urang lembur, “Bapa, apanan
nu ganti mah ukur menteri jeung ngaran departemenna wungkul, ari anak buahna
mah apanan henteu ganti?” (Kata Mang Udin yang orang kampung, “Bapak, kan
yang berganti hanya menteri dan nama departemennya.
Anak
buahnya kan tidak diganti?”), artinya bahwa yang menyusun dan menghentikan
Kurikulum 2013 adalah orang dan lembaga yang sama. Kemudian, saya berujar
pada Mang Udin, sudahlah, tidak usah ribut, karena semua peristiwa ini sudah
ada dalam catatan peristiwa pengembaraan Bang Haji Rhoma Irama: Kurikulum
2013... kau yang mulai, kau yang mengakhiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar