Selasa, 23 Desember 2014

Membangun Fondasi Sejak Usia Dini

Laporan Akhir Tahun Olahraga

Membangun Fondasi Sejak Usia Dini

Gatot Widakdo  ;  Wartawan Kompas
KOMPAS,  22 Desember 2014

                                                                                                                       


DI beberapa negara Eropa, yang klub sepak bolanya sangat kuat, pembinaan usia dini melalui sejumlah akademi sepak bola menjadi prioritas. Dari akademi inilah harapan pemain hebat, sehebat Cristiano Ronaldo, pun muncul.
Bisa dibilang anak-anak usia dini dan akademi sepak bola terikat dalam hubungan simbiosis mutualisme. Bagi anak-anak, akademi sepak bola merupakan jalur untuk menjadi pemain profesional. Sementara bagi akademi, pelatihan kepada mereka berarti investasi untuk mendapatkan sumber dan suplai pemain utama klub di kemudian hari.

Meski agak terlambat, klub Inggris, Manchester City, akhirnya tergugah untuk membangun akademi. City adalah contoh pengembangan klub yang dilakukan secara radikal. Setelah puluhan tahun berkutat dengan status tim medioker, mereka bertransformasi cepat berkat guyuran triliunan rupiah dari pengusaha Uni Emirat Arab, Sheik Mansour bin Zayed Al Nahyan.

Sejumlah pemain bintang diboyong ke Stadion Etihad, markas City. Pelatih hebat seperti Roberto Mancini dan Manuel Pellegrini didatangkan untuk memenuhi ambisi pemilik tim, menjuarai Liga Inggris dan Liga Champions.

Namun, cara seperti ini adalah investasi mahal yang habis dalam waktu singkat. Untungnya, mereka segera sadar dan mulai memikirkan investasi jangka panjang dengan membangun akademi Manchester City.

Pembangunan akademi senilai Rp 3,9 triliun ini nantinya tidak hanya menguntungkan Manchester City. Ini juga akan menjadi angin segar bagi sepak bola Inggris untuk mendapatkan pemain hebat yang bisa tampil di tim nasional.

Di Inggris, tidak hanya klub besar dan kaya raya yang memiliki akademi sepak bola. Tim gurem seperti Leicester City juga menunjukkan komitmen kuat dalam membantu pengembangan pemain usia dini lewat Akademi Leicester City.

Untuk menyiasati keterbatasan dana, mereka tidak menyediakan asrama atau tempat tinggal. Setiap hari, seusai menjalani program latihan, anak-anak pulang ke rumah masing-masing. Oleh karena itu, pihak akademi Leicester City menetapkan syarat hanya menerima anak-anak yang tempat tinggalnya dalam radius 10 kilometer dari Akademi Leicester City.

Meski tidak terlalu megah, Akademi Leicester City yang luasnya sekitar 10 hektar itu memiliki fasilitas sarana latihan yang lengkap. Mereka memiliki tujuh lapangan rumput standar internasional dan dua lapangan dalam ruangan berumput sintetis.

Di akademi ini, dilatih anak- anak dari usia 8 tahun hingga 17 tahun. Setiap level usia diberi materi latihan dengan memakai standar kurikulum baku yang telah ditetapkan. Mereka pun dilibatkan dalam kompetisi yang digelar oleh Federasi Sepak Bola Inggris (FA).

Mencetak pemain yang hebat memang tidak mudah dan perlu proses panjang. Akademi menjadi wadah untuk mencapai tujuan itu dengan membina pemain-pemain belia dalam berbagai tingkatan umur.

Bagaimana di Indonesia? Sampai sekarang, hampir sebagian besar klub yang berlaga di Liga Super Indonesia—kompetisi sepak bola tertinggi di Indonesia—tidak memiliki akademi sebagai tulang punggung penghasil pemain-pemain hebat.

Sebaliknya, beberapa akademi sepak bola yang ada justru tidak memiliki wadah yang jelas, yang nantinya bisa menampung pemain-pemain dari akademi. Fasilitas latihan pun pas-pasan. Umumnya hanya punya satu lapangan untuk tempat latihan, sekaligus uji coba.

Menjamurnya sekolah sepak bola (SSB) di beberapa daerah sebenarnya menjadi fenomena yang bagus untuk menampung dan melatih anak-anak dengan minat dan bakat sepak bola. Sayangnya, kehadiran SSB ini belum dikelola dengan baik oleh klub dan induk olahraga cabang sepak bola, PSSI.

Sampai saat ini, belum ada kompetisi usia dini berjenjang dan berkesinambungan yang digelar PSSI. Yang ada adalah sempalan-sempalan kompetisi yang digelar sejumlah perusahaan swasta dengan cakupan terbatas.

Standar pembinaan
Masalah lain, setiap SSB punya standar pembinaan yang berbeda-beda. Belum ada kurikulum baku yang dijadikan pegangan dalam pembinaan. Akibatnya, kemampuan dan kualitas yang dihasilkan pun tidak sama.

Padahal, jika ada kurikulum baku untuk SSB, program latihan akan lebih efektif dan berkualitas karena telah disesuaikan dengan jenjang usia anak didik.

Horst Wein, konsultan sepak bola yang pernah menangani klub besar Eropa, seperti Barcelona, Arsenal, dan Inter Milan, dalam bukunya, Developing Youth Football Players, mengatakan, mengukur permainan sepak bola untuk anak-anak seperti memilih sepatu yang dipakai anak-anak. Ukurannya harus pas.

Konsepnya, untuk anak-anak usia 7-9 tahun, permainannya tiga lawan tiga, 10 tahun lima pemain lawan lima, 11-12 tahun tujuh lawan tujuh, 13 tahun delapan lawan delapan. Sementara usia 14 tahun ke atas sudah memainkan 11 pemain melawan 11 pemain.

Metode ini pula yang juga dikembangkan pelatih kawakan asa Italia, Arrigo Sacchi. Sebagai direktur teknik sepak bola Italia, Sacchi merekomendasikan pola ini kepada semua akademi sepak bola di Italia.

Fenomena lain yang terjadi dalam pembinaan usia muda di Indonesia adalah menang atau juara masih dianggap hal paling penting. Padahal, yang lebih penting adalah bagaimana mengajarkan anak-anak bermain dengan cara yang benar tanpa melakukan kecurangan.

Dalam konteks pembinaan, kekalahan adalah hal biasa. Yang jauh lebih penting adalah pembinaan moral dan mental anak- anak. Aspek moral dan mental menjadi sangat penting karena dua hal inilah yang sering kali hilang dari sepak bola profesional negeri ini.

Skandal ”sepak bola gajah”, pengaturan hasil pertandingan, atau pemukulan wasit oleh pemain bisa terjadi karena saat di usia dini, para pemain tidak dibekali pengalaman kompetisi yang menekankan karakter dan mental.

Prestasi sesungguhnya dalam pembinaan usia dini adalah pembentukan pemain secara menyeluruh. Tidak hanya berkutat pada latihan fisik, teknik, ataupun taktik untuk mencari kemenangan, tetapi juga mental yang membentuk karakter si pemain.

Pengalaman menarik diungkap pemain gelandang Barcelona, Xavi Hernandez, yang berkembang menjadi pemain hebat setelah melalui program latihan di akademi sepak bola La Masia. Menurut Xavi, di akademi itu, semua pemain tidak ditempa untuk menang, tetapi untuk belajar dan berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar