Laporan Akhir Tahun Olahraga
Membangun
Fondasi Sejak Usia Dini
Gatot Widakdo ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
22 Desember 2014
DI
beberapa negara Eropa, yang klub sepak bolanya sangat kuat, pembinaan usia
dini melalui sejumlah akademi sepak bola menjadi prioritas. Dari akademi
inilah harapan pemain hebat, sehebat Cristiano Ronaldo, pun muncul.
Bisa
dibilang anak-anak usia dini dan akademi sepak bola terikat dalam hubungan
simbiosis mutualisme. Bagi anak-anak, akademi sepak bola merupakan jalur
untuk menjadi pemain profesional. Sementara bagi akademi, pelatihan kepada
mereka berarti investasi untuk mendapatkan sumber dan suplai pemain utama
klub di kemudian hari.
Meski
agak terlambat, klub Inggris, Manchester City, akhirnya tergugah untuk
membangun akademi. City adalah contoh pengembangan klub yang dilakukan secara
radikal. Setelah puluhan tahun berkutat dengan status tim medioker, mereka
bertransformasi cepat berkat guyuran triliunan rupiah dari pengusaha Uni
Emirat Arab, Sheik Mansour bin Zayed Al Nahyan.
Sejumlah
pemain bintang diboyong ke Stadion Etihad, markas City. Pelatih hebat seperti
Roberto Mancini dan Manuel Pellegrini didatangkan untuk memenuhi ambisi
pemilik tim, menjuarai Liga Inggris dan Liga Champions.
Namun,
cara seperti ini adalah investasi mahal yang habis dalam waktu singkat.
Untungnya, mereka segera sadar dan mulai memikirkan investasi jangka panjang
dengan membangun akademi Manchester City.
Pembangunan
akademi senilai Rp 3,9 triliun ini nantinya tidak hanya menguntungkan
Manchester City. Ini juga akan menjadi angin segar bagi sepak bola Inggris
untuk mendapatkan pemain hebat yang bisa tampil di tim nasional.
Di
Inggris, tidak hanya klub besar dan kaya raya yang memiliki akademi sepak
bola. Tim gurem seperti Leicester City juga menunjukkan komitmen kuat dalam
membantu pengembangan pemain usia dini lewat Akademi Leicester City.
Untuk
menyiasati keterbatasan dana, mereka tidak menyediakan asrama atau tempat
tinggal. Setiap hari, seusai menjalani program latihan, anak-anak pulang ke
rumah masing-masing. Oleh karena itu, pihak akademi Leicester City menetapkan
syarat hanya menerima anak-anak yang tempat tinggalnya dalam radius 10
kilometer dari Akademi Leicester City.
Meski
tidak terlalu megah, Akademi Leicester City yang luasnya sekitar 10 hektar
itu memiliki fasilitas sarana latihan yang lengkap. Mereka memiliki tujuh
lapangan rumput standar internasional dan dua lapangan dalam ruangan berumput
sintetis.
Di
akademi ini, dilatih anak- anak dari usia 8 tahun hingga 17 tahun. Setiap
level usia diberi materi latihan dengan memakai standar kurikulum baku yang
telah ditetapkan. Mereka pun dilibatkan dalam kompetisi yang digelar oleh
Federasi Sepak Bola Inggris (FA).
Mencetak
pemain yang hebat memang tidak mudah dan perlu proses panjang. Akademi
menjadi wadah untuk mencapai tujuan itu dengan membina pemain-pemain belia
dalam berbagai tingkatan umur.
Bagaimana
di Indonesia? Sampai sekarang, hampir sebagian besar klub yang berlaga di
Liga Super Indonesia—kompetisi sepak bola tertinggi di Indonesia—tidak
memiliki akademi sebagai tulang punggung penghasil pemain-pemain hebat.
Sebaliknya,
beberapa akademi sepak bola yang ada justru tidak memiliki wadah yang jelas,
yang nantinya bisa menampung pemain-pemain dari akademi. Fasilitas latihan
pun pas-pasan. Umumnya hanya punya satu lapangan untuk tempat latihan,
sekaligus uji coba.
Menjamurnya
sekolah sepak bola (SSB) di beberapa daerah sebenarnya menjadi fenomena yang
bagus untuk menampung dan melatih anak-anak dengan minat dan bakat sepak
bola. Sayangnya, kehadiran SSB ini belum dikelola dengan baik oleh klub dan
induk olahraga cabang sepak bola, PSSI.
Sampai
saat ini, belum ada kompetisi usia dini berjenjang dan berkesinambungan yang
digelar PSSI. Yang ada adalah sempalan-sempalan kompetisi yang digelar
sejumlah perusahaan swasta dengan cakupan terbatas.
Standar
pembinaan
Masalah
lain, setiap SSB punya standar pembinaan yang berbeda-beda. Belum ada
kurikulum baku yang dijadikan pegangan dalam pembinaan. Akibatnya, kemampuan
dan kualitas yang dihasilkan pun tidak sama.
Padahal,
jika ada kurikulum baku untuk SSB, program latihan akan lebih efektif dan
berkualitas karena telah disesuaikan dengan jenjang usia anak didik.
Horst Wein,
konsultan sepak bola yang pernah menangani klub besar Eropa, seperti
Barcelona, Arsenal, dan Inter Milan, dalam bukunya, Developing Youth Football
Players, mengatakan, mengukur permainan sepak bola untuk anak-anak seperti
memilih sepatu yang dipakai anak-anak. Ukurannya harus pas.
Konsepnya,
untuk anak-anak usia 7-9 tahun, permainannya tiga lawan tiga, 10 tahun lima
pemain lawan lima, 11-12 tahun tujuh lawan tujuh, 13 tahun delapan lawan
delapan. Sementara usia 14 tahun ke atas sudah memainkan 11 pemain melawan 11
pemain.
Metode
ini pula yang juga dikembangkan pelatih kawakan asa Italia, Arrigo Sacchi.
Sebagai direktur teknik sepak bola Italia, Sacchi merekomendasikan pola ini
kepada semua akademi sepak bola di Italia.
Fenomena
lain yang terjadi dalam pembinaan usia muda di Indonesia adalah menang atau
juara masih dianggap hal paling penting. Padahal, yang lebih penting adalah
bagaimana mengajarkan anak-anak bermain dengan cara yang benar tanpa
melakukan kecurangan.
Dalam
konteks pembinaan, kekalahan adalah hal biasa. Yang jauh lebih penting adalah
pembinaan moral dan mental anak- anak. Aspek moral dan mental menjadi sangat
penting karena dua hal inilah yang sering kali hilang dari sepak bola
profesional negeri ini.
Skandal
”sepak bola gajah”, pengaturan hasil pertandingan, atau pemukulan wasit oleh
pemain bisa terjadi karena saat di usia dini, para pemain tidak dibekali
pengalaman kompetisi yang menekankan karakter dan mental.
Prestasi
sesungguhnya dalam pembinaan usia dini adalah pembentukan pemain secara
menyeluruh. Tidak hanya berkutat pada latihan fisik, teknik, ataupun taktik
untuk mencari kemenangan, tetapi juga mental yang membentuk karakter si
pemain.
Pengalaman
menarik diungkap pemain gelandang Barcelona, Xavi Hernandez, yang berkembang
menjadi pemain hebat setelah melalui program latihan di akademi sepak bola La
Masia. Menurut Xavi, di akademi itu, semua pemain tidak ditempa untuk menang,
tetapi untuk belajar dan berkembang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar