Laporan Akhir Tahun Internasional
Dalam
Tekanan dari Utara
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
23 Desember 2014
PADA
dasawarsa kedua abad ke-21 ini geopolitik Asia mencari bentuk baru akan
penataan struktur keamanannya. Asia pada 2015 menjadikan geomaritim sebagai
bagian penting penataan ini: dimulai Indonesia dengan gagasan Poros Maritim
Dunia dan Tiongkok melalui Jalan Sutra Maritim Abad Ke-21 sebagai landasan
bagi transformasi kesinambungan pembangunan Asia.
Poros
Maritim Global, yang dijadikan dasar kebijakan luar negeri Presiden Joko
Widodo pada awal kampanye pemilu, mencoba menata ulang dan mencari perumusan
memadai situasi globalisasi abad ke-21. Namun, ia belum menemukan bentuk
ideal. Ini seharusnya dirumuskan oleh Kementerian Luar Negeri RI.
Geopolitik
Asia dalam lima tahun ke depan akan berubah drastis dan lingkungan maritim di
kawasan Asia juga akan berbeda dibandingkan dengan dasawarsa sebelumnya. Berbeda
dengan Tiongkok yang memiliki konsep, strategi, dan dana mengembangkan Jalan
Sutra Maritim Abad Ke-21, Poros Maritim Dunia masih sebatas seruan,
perbincangan seminar, instruksi, dan sejenisnya yang tak memiliki landasan
konseptual maupun operasional.
Elite
politik dalam lingkar kekuasaan Presiden Joko Widodo tampak hanya menjadikan
gagasan Poros Maritim Dunia sebagai simbol teritorial memperkuat penegakan
politik pemerintahan tanpa menyadari perubahan struktural dalam geopolitik
regional secara keseluruhan maupun tendensi globalisasi membentuk pola-pola
politik, ekonomi, perdagangan, sosial, budaya, dan keamanan baru.
Ironis!
Ini tecermin ketika Kemlu RI tidak memiliki aksi kebijakan luar negeri
membangun instrumen dengan perspektif maritim. Kemlu RI lebih menekankan
persoalan orang-orang Indonesia di luar negeri atau masalah perbatasan yang
sebenarnya menjadi bagian melekat dalam diplomasi Indonesia tanpa penekanan
berlebihan.
Tanpa
instrumen dalam kebijakan luar negeri, dikhawatirkan gagasan Poros Maritim
Dunia kandas kehabisan tenaga, terkuras urusan nonsubstansial menghadapi
dinamika perubahan yang mudah diombang-ambingkan kepentingan negara besar.
Ini yang terjadi pada Doktrin Natalegawa tentang kesetimbangan dinamis dan
Traktat Indo-Pasifik yang tidak didukung pembentukan instrumen kebijakan luar
negeri pada era pemerintahan sebelumnya.
Menggelar infrastruktur
Tiongkok
muncul dengan gagasan Jalan Sutra Maritim, yang pertama kali disampaikan
Presiden Xi Jinping di Jakarta, di depan sidang DPR pada 2 Oktober 2013. Dia
juga mengumumkan pendanaan Tiongkok membangun infrastruktur Asia melalui Bank
Investasi Infrastruktur Asia (AIIB). Saat itu kerja sama bilateral, regional,
dan multilateral di kawasan Asia memasuki babak baru.
Ada
kesadaran baru di antara para pemimpin Tiongkok menjadikan maritim sebagai
platform penting dalam memproyeksikan kekuatan politik, ekonomi, dan militer
ke luar dari lingkaran geografisnya. Tiongkok memanfaatkan berbagai
infrastruktur strategis di kawasan untuk menggelar kekuatan dana devisa yang
masif bekerja tidak hanya bagi kepentingan kekuatan perangkat keras negara,
tetapi juga perangkat lunaknya.
Adalah
gejala umum ketika giat berdagang ke dunia luar, sebuah negara menyebarkan
pembangunan ekonomi dan kepentingan strategis yang rumit ke tempat-tempat
yang jauh dan luas. Ini dilakukan Tiongkok meski terjadi perubahan drastis
struktur perekonomian yang melemah dibandingkan dengan rata-rata tiga dekade
sebelumnya.
Seperti
negara-negara adikuasa, Amerika Serikat dan Inggris seabad lalu, ketika
Tiongkok selesai dengan konsolidasi geografi domestik, mereka memperluas
jangkauan ke luar menggunakan maritim sebagai landasan berpijak, membangun
titik-titik acu di berbagai kawasan Asia, Afrika, dan Eropa.
Tujuan
Tiongkok berbeda dengan negara adikuasa yang tumbuh di Barat, yang
bersandarkan pada pendekatan misionaris dalam bersinggungan dengan masalah
dunia menyebar ideologi dan sistem pemerintahan sebagai cerminan kemajuan
moral. Dominasi Tiongkok dalam masalah internasional adalah demi kepentingan
keamanan energi, pangan, dan memburu sumber daya alam bagi kepentingan
standar hidup rakyatnya yang gigantik.
Gagasan
Jalan Sutra Maritim Abad Ke-21 dibangun dengan tujuan ini. Infrastruktur
maritim dibangun dengan dana Tiongkok, disebar melalui mekanisme hegemoni
bentuk baru berkarakteristik Tiongkok, juga untuk bersaing secara ketat
dengan negara-negara besar seperti AS, Jepang, dan India. Dan modernisasi
negara-negara Asia, di luar Jepang dan Korea Selatan, harus menghadapi
kenyataan baru akan adanya standardisasi mengikuti kemauan investasi
infrastruktur melalui pembentukan AIIB ini.
Warisan maritim
Dari
awal, kebijakan luar negeri Indonesia, politik bebas-aktif, seperti
dicanangkan proklamator Mohammad Hatta berorientasi pada laut seperti
ungkapannya ”mendayung di antara dua karang”. Maritim dan kelautan adalah
warisan yang tidak bisa dihindari para penguasa mana pun di Indonesia.
Celakanya, generasi berikutnya, pasca reformasi, berada di tingkat kegagalan
mengartikulasikan kebebasan dan keaktifan kebijakan luar negeri berlandaskan
maritim dan kelautan ini. Gagasan Presiden Joko Widodo tentang Poros Maritim
Dunia diejawantahkan secara menggebu atas penangkapan ikan secara liar oleh
kapal-kapal asing yang sudah beberapa dekade menjadikan wilayah lautan
Wawasan Nusantara sebagai sumber utama kepentingan keamanan pangan asing.
Ada
kekhawatiran, ketika indikator awal kebijakan pemerintahan Presiden Joko
Widodo melakukan pembakaran dan pengeboman kapal-kapal berbendera asing
berdasarkan ”tebang pilih” seperti yang mulai dicurigai oleh beberapa negara
tetangga, wibawa Poros Maritim Dunia akan merosot. Hal ini berdampak bahwa
pengaruh Indonesia di kawasan Asia Tenggara memudar dalam sekejap.
Itu
sebabnya diharapkan ada cetak biru kebijakan Poros Maritim Dunia yang
dilakukan Kemlu untuk menata proyeksi kebijakan luar negeri yang andal
menghadapi perubahan regional menyongsong Masyarakat ASEAN 2015. Juga untuk
menata peningkatan lingkup pengaruh negara besar di wilayah Indonesia seperti
Tiongkok dan AS.
Strategi
Poros Maritim Dunia harus bisa dirumuskan dalam sebuah proyeksi kekuatan
menyangkut ekonomi maritim, politik maritim, manajemen maritim, hukum
maritim, ilmu pengetahuan dan teknologi maritim, keamanan maritim, serta
sosial dan budaya maritim, maupun sistem strategis terkait lainnya. Strategi
ini mendesak dibentuk agar modal kebijakan luar negeri memberikan kepastian
jangka panjang merumuskan kepentingan Indonesia di dunia internasional.
Mungkin
benar apa yang pernah ditulis oleh ahli geografi Inggris, Sir Halford
Mackinder, dalam artikelnya, ”The
Geographical Pivot of History”, pada tahun 1904. Dia menulis bahwa
Tiongkok menjadi fenomena menarik ketika negara ini mulai memperluas
kekuasaan di luar wilayah perbatasannya. Tentang Tiongkok, Mackinder menulis,
”…mungkin merupakan bahaya kuning
(yellow peril) terhadap kebebasan dunia ketika mereka menambahkan bagian
depan wilayah maritim sebagai sumber daya wilayah kontinennya yang besar….”
Itu
sebabnya, kita tak boleh gagal paham tentang arti pencanangan Jalur Sutra
Maritim beserta segala instrumen yang terkandung di dalamnya. Poros Maritim
Dunia perlu kekuatan sinkronisasi kebijakan yang menyeluruh untuk membentuk
ketahanan nasional dan regional seperti prediksi Mackinder yang dipublikasikan
jurnal Foreign Affairs edisi Juli
1943, berjudul ”The Round World and the
Winning of the Peace”. Di sana disebutkan bahwa Tiongkok akan menuntun
dunia dengan membangun peradaban baru yang ”bukan Timur maupun Barat”.
Fungsi strategi hukum
Kita
juga harus memahami bahwa Tiongkok bukan negara tetangga Indonesia karena
tidak memiliki keterkaitan dalam delimitasi persoalan maritim, khususnya
menyangkut klaim Tiongkok melalui 9 atau 10 garis putus-putus di Laut
Tiongkok Selatan. Negara tetangga Indonesia adalah Malaysia, Singapura, dan
Vietnam yang perbatasan maritimnya dengan Indonesia harus diselesaikan di
bagian selatan di laut tersebut.
Itu
sebabnya, gagasan Poros Maritim Dunia memerlukan fungsi strategi hukum
maritim, termasuk di dalam pembentukan dan perbaikan sistem hukum kelautan,
agar bisa menjadi dasar penataan dan perbaikan tata maritim di tingkat
domestik dan internasional. Di titik inilah betapa penting Kemlu RI menjadi
bagian dari strategi maritim dan kelautan agar bisa melakukan intermediasi dan
penetrasi saling melengkapi antar-kementerian.
Dengan
demikian, kepentingan untuk melayani gagasan Poros Maritim Dunia bisa
mencapai tujuan strategis pembangunan maritim Indonesia secara keseluruhan.
Karakteristik geopolitik Asia Tenggara antara daratan dan lautan, maupun
posisi silang Indonesia, menyulitkan bagi pembangunan komprehensif, termasuk
menghadapi perang hegemonis melawan negara-negara besar berebut pengaruh.
Kelemahan
ini yang juga harus menjadi bagian dari perspektif pemikiran Poros Maritim Dunia,
termasuk strategi dan keahlian diplomasi yang tinggi. Cara berpikir ini
mengharuskan kita menyinkronkan kepentingan kebijakan keamanan nasional dan
kebijakan luar negeri. Tidak hanya mendukung gagasan Poros Maritim Dunia,
tetapi juga penataan politik dan geografi Nusantara secara komprehensif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar