Konflik
Antarkelompok
Sarlito Wirawan Sarwono ; Psikolog Universitas
Indonesia
dan Universitas Pancasila
|
KOMPAS,
22 Desember 2014
TAHUN
1950-an, seorang psikolog Amerika keturunan Turki bernama Muzafir Sherif
(1906-1988) menyelenggarakan eksperimen yang sangat terkenal di dunia
psikologi sosial, yaitu konflik antarkelompok. Dalam eksperimen itu, Sherif
memilih secara acak 22 anak laki-laki berumur 11-12 tahun yang punya reputasi
bersih (berkelakuan baik, bukan tukang berkelahi, dan lain lain).
Anak-anak
itu dibagi ke dalam dua rombongan terpisah, masing-masing 11 anak, dan
ditempatkan di sebuah kawasan rekreasi yang dikenal sebagai Taman Nasional
Robbers Cave, di Negara Bagian Oklahoma, AS.
Di
kawasan rekreasi seluas 80 hektar itu, hari-hari pertama digunakan untuk
membangun jiwa korsa, tetapi kedua kelompok itu belum saling mengetahui
kehadiran kelompok yang lain.
Pada
hari-hari berikutnya, kedua kelompok dipertemukan dan mereka disuruh bersaing
untuk memperebutkan sesuatu ala permainan Pramuka.
Tidak
butuh waktu lama, kedua kelompok itu sudah saling menyindir, menghina,
membanggakan kelompok sendiri, dan berujung pada bentrok fisik di ruang
makan. Padahal, perlombaan belum selesai. Akhirnya, panitia memutuskan bahwa
semua harus pulang.
Namun,
ketika rombongan mau pulang, tiba-tiba terkendala talang air roboh (ini
direkayasa oleh panitia). Bus-bus terhalang, tidak bisa masuk untuk menjemput
mereka, sedangkan mereka juga tidak bisa terus tinggal di perkemahan karena
tidak ada air.
Satu-satunya
jalan keluar adalah kedua kelompok harus bekerja sama untuk menyingkirkan
talang air yang roboh itu agar bus bisa merapat ke perkemahan dan mengangkut
mereka pulang.
Yang
sangat menarik dari eksperimen ini adalah bahwa setelah bekerja sama
menghilangkan rintangan, kedua kelompok itu menyatu. Selama perjalanan pulang
di dalam bus, mereka bernyanyi bersama-sama.
Teori konflik
Dalam
psikologi sosial, eksperimen Robers Cave (arti harfiah: Goa Perampok) dari
Muzafir Sherif ini menghasilkan realistic
group conflict theory (disingkat RGCT) yang menjadi babon semua teori
tentang konflik antarkelompok sejak pertengahan abad XX sampai sekarang.
Teori
ini sangat terpercaya karena sudah diulang-ulang di sejumlah tempat dan
negara, dalam kondisi-situasi yang berbeda-beda, dan hasilnya selalu sama.
Anda pun
bisa mencobanya lewat permainan di acara ulang tahun atau reuni. Peserta Anda
bagi secara acak ke dalam dua kelompok dan mereka disuruh bersaing untuk
memperebutkan sesuatu.
Yang
penting kelompok harus kompak dan jangan mau kalah dengan kelompok lain.
Maka, dalam beberapa menit saja kedua kelompok sudah saling mengejek, membuat
yel-yel yang menyombongkan kelompok sendiri dan melecehkan kelompok lawan.
Kesimpulannya,
konflik antarkelompok bersumber pada interaksi antarkelompok itu sendiri,
bukan pada orang per orang anggota kelompok itu.
Dengan
demikian, RGCT mematahkan teori-teori sebelumnya yang mengatakan bahwa
konflik yang agresif disebabkan oleh naluri agresi, kurang disiplin, tidak
bisa mengendalikan diri, kurang sabar, bahkan ada yang mengatakan kurang
iman, kurang Pancasilais, dan sebagainya yang bersumber pada diri individu (faktor
kepribadian).
Konsekuensi
dari teori lama ini adalah tindakan terhadap individu (biasanya disebut
”oknum”), misalnya diberi hukuman disiplin atau pidana, atau sekadar mendapat
bimbingan, nasihat, atau diminta kembali ke jalan yang benar sesuai perintah
agama.
Namun,
umumnya pendekatan dari teori individual ini tidak pernah efektif. Menurut
RGCT, konflik antarkelompok timbul sebagai akibat persaingan untuk
memperebutkan hal-hal yang sifatnya langka atau terbatas dan riil (nyata),
seperti sumber nafkah (duit), status sosial, dan kekuasaan politik.
Persaingan
seperti ini sifatnya selalu zero-sums
(hanya satu pihak yang akan keluar sebagai pemenang, pihak yang lain otomatis
jadi pecundang). Itulah yang menjadi dasar dari semua konflik antarkelompok
yang sejak reformasi semakin sering terjadi.
Tawuran
antarkampung disebabkan oleh perebutan lahan pertanian, tawuran antarpreman
karena berebut lahan parkir, tawuran siswa antarsekolah untuk membuktikan
siapa yang paling bos (status sosial) di kawasan itu, dan tawuran
antarkoalisi di DPR karena memperebutkan kursi pimpinan DPR. Demikian juga
tawuran antara TNI dan Polri yang berulang dan berulang lagi, bahkan sejak
zaman Soeharto.
Ubah pendekatan
Khususnya
konflik antara TNI dan Polri tidak akan pernah selesai dan masih akan timbul
di masa yang akan datang, selama pendekatan pimpinan TNI dan Polri adalah
pendekatan oknum, yaitu mencari siapa yang bersalah dan menindak yang
bersalah secara hukum.
Kalau
mau menggunakan RGCT, pemecahannya harus diubah. Dalam eksperimen Robers Cave
sudah dibuktikan bahwa konflik antarkelompok bisa selesai jika persaingan
untuk memperebutkan sumber sudah hilang, dan kedua kelompok bekerja sama
untuk mencapai suatu tujuan bersama atau superordinate goals.
Dalam
kasus konflik TNI-Polri, misalnya, para pimpinan dapat membicarakan bagaimana
mengatur pembagian sumber-sumber tidak resmi (yang walaupun tidak sesuai
hukum merupakan realitas yang tidak bisa dinafikan) agar tidak terjadi
konflik zero sums lagi, melainkan
bisa win-win solution
(menghilangkan persaingan).
Selanjutnya,
perlu menanamkan superordinate goals
dengan cara pihak Polri sesering mungkin melibatkan TNI dalam
operasi-operasinya, baik dalam upaya preemptif (Binmas Polri melibatkan
Babinsa TNI AD), preventif (patroli-patroli harian), maupun represif (Densus
88 melibatkan detasemen-detasemen sejenis di lingkungan TNI) dan seterusnya.
Dengan penanganan yang tepat terhadap interaksi antarkelompok, konflik
antarkelompok bisa dikurangi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar