Natal
Putu Setia ; Pengarang, Wartawan
Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
21 Desember 2014
Selamat
Hari Natal bagi yang merayakan, di mana pun berada, apa pun agamanya. Lho apa
pun agamanya? Benar. Saya memakai kata "merayakan" dalam arti yang
diuraikan kamus bahasa Indonesia, yakni "memestakan". Natal sudah
pasti ada pesta diskon di berbagai pasar swalayan. Pasar modern sumringah,
ada balon bintang berkelap-kelip di pohon cemara plastik. Pusat perdagangan
berubah jadi tempat hiburan bersuasana pesta. Ada lagu "Jingle bells, Jingle bells, Jingle all the way ..."
Para
karyawan mengenakan topi Santa Klaus, tak peduli apa pun agamanya. Saya tak
tahu apakah mereka dipaksa. Dari senyumnya seperti tak ada tekanan. Mungkin
sukarela-atau memang suka-bukankah semakin banyak pengunjung semakin banyak
dagangan laku? Boleh jadi ada bonus tahunan.
Apalagi
suasana pesta seperti ini tak cuma untuk merayakan Natal. Menjelang dan saat
Lebaran, pasar modern dihiasi gantungan ketupat plastik warna-warni. Para
karyawati mengenakan kerudung. Anggun sekali. Suasana semarak. Lagu "lebaran sebentar lagi..."
berganti-ganti dengan "Bang Toyib.
Bang Toyib, tiga kali puasa, tiga kali Lebaran, abang tak
pulang-pulang...".
Natal
sudah pasti hari raya keagamaan kaum Nasrani, pemeluk Kristen dan Katolik.
Lebaran atau Idul Fitri hari raya umat Islam. Di sini, kata
"merayakan" dalam kamus diartikan "memuliakan". Tak ada
penjelasan lain, namun saya setuju "memuliakan" dalam hal ini
adalah ibadah, mengikuti proses ritual. Ritual Natal apakah disebut misa
kudus, kebaktian, dan lainnya, tentu untuk pemeluk Katolik dan Kristen yang
memuliakannya. Ibadah Idul Fitri dengan salat berjemaah tentu untuk kaum
muslim. Bersembahyang ke pura pada hari Galungan hanya bagi umat Hindu, itu
pun etnis Bali.
Tetapi
kita hidup dalam masyarakat majemuk, yang berbeda keyakinan namun budaya bisa
satu. Para tetua orang Bali yang tinggal di pedesaan masih heran melihat
orang Jawa yang saat Lebaran berpesta dengan ketupat. Bahkan aksesori ketupat
(dari plastik warna-warni) dijadikan hiasan di pusat-pusat belanja, juga jadi
hiasan di mobil. Padahal ketupat-yang cara menganyamnya persis sama-adalah
sesajen yang sakral di Bali. Bagaimana menjelaskan ini?
Ketupat
(di Bali: ketipat) adalah budaya yang sudah ada sebelum Majapahit. Ornamen
budaya ini jika dibawa ke ranah Hindu di Bali maka jadilah ia sesajen, bisa
disebut sakral. Tetapi itu bukanlah agama, karena umat Hindu etnis lain,
apalagi di India, di mana ajaran Hindu turun, tak mengenal ketupat. Lalu, apa
salahnya orang Jawa juga melestarikan ketupat itu? Kita jangan terlalu
merancukan antara agama sebagai ibadah dan budaya yang hidup di masyarakat
Nusantara ini.
Pada
perayaan Natal, umat Katolik dan Kristen di Bali akan mendatangi gereja
mereka dengan pakaian adat Bali. Lelaki memakai destar, perempuan rambutnya
digelung ke belakang (bahasa Bali: mepusungan),
mereka memakai kain. Gereja mereka diukir sebagaimana umumnya pura umat
Hindu. Di Palasari, Kabupaten Jembrana, umat Kristen di sana sudah terbiasa
memakai gong kebyar lengkap dengan tari-tari Bali yang sangat semarak. Pernah
ada selentingan yang mempertanyakan hal itu dengan nada protes, seolah-olah
"melecehkan" Hindu. Kenapa diprotes? Itu budaya Bali, bukan milik
Hindu. Tari Bali sudah ada sekolahnya di Jepang. Grup gong kebyar Bali sudah
banyak di Amerika dan Kanada. Mereka tidak beragama Hindu. Kita harus bisa
membedakan yang mana ranah budaya dan yang mana keyakinan agama.
Selamat
hari Natal dan saya merayakan dalam ranah budaya: numpang diskonnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar