Senin, 22 Desember 2014

Natal

Natal

Putu Setia  ;  Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO,  21 Desember 2014

                                                                                                                       


Selamat Hari Natal bagi yang merayakan, di mana pun berada, apa pun agamanya. Lho apa pun agamanya? Benar. Saya memakai kata "merayakan" dalam arti yang diuraikan kamus bahasa Indonesia, yakni "memestakan". Natal sudah pasti ada pesta diskon di berbagai pasar swalayan. Pasar modern sumringah, ada balon bintang berkelap-kelip di pohon cemara plastik. Pusat perdagangan berubah jadi tempat hiburan bersuasana pesta. Ada lagu "Jingle bells, Jingle bells, Jingle all the way ..."

Para karyawan mengenakan topi Santa Klaus, tak peduli apa pun agamanya. Saya tak tahu apakah mereka dipaksa. Dari senyumnya seperti tak ada tekanan. Mungkin sukarela-atau memang suka-bukankah semakin banyak pengunjung semakin banyak dagangan laku? Boleh jadi ada bonus tahunan.

Apalagi suasana pesta seperti ini tak cuma untuk merayakan Natal. Menjelang dan saat Lebaran, pasar modern dihiasi gantungan ketupat plastik warna-warni. Para karyawati mengenakan kerudung. Anggun sekali. Suasana semarak. Lagu "lebaran sebentar lagi..." berganti-ganti dengan "Bang Toyib. Bang Toyib, tiga kali puasa, tiga kali Lebaran, abang tak pulang-pulang...".

Natal sudah pasti hari raya keagamaan kaum Nasrani, pemeluk Kristen dan Katolik. Lebaran atau Idul Fitri hari raya umat Islam. Di sini, kata "merayakan" dalam kamus diartikan "memuliakan". Tak ada penjelasan lain, namun saya setuju "memuliakan" dalam hal ini adalah ibadah, mengikuti proses ritual. Ritual Natal apakah disebut misa kudus, kebaktian, dan lainnya, tentu untuk pemeluk Katolik dan Kristen yang memuliakannya. Ibadah Idul Fitri dengan salat berjemaah tentu untuk kaum muslim. Bersembahyang ke pura pada hari Galungan hanya bagi umat Hindu, itu pun etnis Bali.

Tetapi kita hidup dalam masyarakat majemuk, yang berbeda keyakinan namun budaya bisa satu. Para tetua orang Bali yang tinggal di pedesaan masih heran melihat orang Jawa yang saat Lebaran berpesta dengan ketupat. Bahkan aksesori ketupat (dari plastik warna-warni) dijadikan hiasan di pusat-pusat belanja, juga jadi hiasan di mobil. Padahal ketupat-yang cara menganyamnya persis sama-adalah sesajen yang sakral di Bali. Bagaimana menjelaskan ini?

Ketupat (di Bali: ketipat) adalah budaya yang sudah ada sebelum Majapahit. Ornamen budaya ini jika dibawa ke ranah Hindu di Bali maka jadilah ia sesajen, bisa disebut sakral. Tetapi itu bukanlah agama, karena umat Hindu etnis lain, apalagi di India, di mana ajaran Hindu turun, tak mengenal ketupat. Lalu, apa salahnya orang Jawa juga melestarikan ketupat itu? Kita jangan terlalu merancukan antara agama sebagai ibadah dan budaya yang hidup di masyarakat Nusantara ini.

Pada perayaan Natal, umat Katolik dan Kristen di Bali akan mendatangi gereja mereka dengan pakaian adat Bali. Lelaki memakai destar, perempuan rambutnya digelung ke belakang (bahasa Bali: mepusungan), mereka memakai kain. Gereja mereka diukir sebagaimana umumnya pura umat Hindu. Di Palasari, Kabupaten Jembrana, umat Kristen di sana sudah terbiasa memakai gong kebyar lengkap dengan tari-tari Bali yang sangat semarak. Pernah ada selentingan yang mempertanyakan hal itu dengan nada protes, seolah-olah "melecehkan" Hindu. Kenapa diprotes? Itu budaya Bali, bukan milik Hindu. Tari Bali sudah ada sekolahnya di Jepang. Grup gong kebyar Bali sudah banyak di Amerika dan Kanada. Mereka tidak beragama Hindu. Kita harus bisa membedakan yang mana ranah budaya dan yang mana keyakinan agama.

Selamat hari Natal dan saya merayakan dalam ranah budaya: numpang diskonnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar