Mengubur
Sejarah Kelam
Ahmad Erani Yustika ; Ekonom Universitas
Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
|
KOMPAS,
22 Desember 2014
PEMERINTAH
sudah mengambil posisi lugas: memilih mengorbankan subsidi bahan bakar minyak
dan memindahkannya untuk belanja modal. Tahun depan belanja modal akan
ditambah sekitar Rp 200 triliun, setara dengan jumlah subsidi yang dikurangi.
Belanja modal itu sebagian besar dipakai untuk membangun infrastruktur.
Infrastruktur dalam tempo 10 tahun terakhir dituduh menjadi akar persoalan
dan solusi ekonomi. Opini itu kita terima sebagai separuh kebenaran,
sedangkan setengahnya lagi adalah politik ekonomi infrastruktur, yang secara
padat bisa dimaknai sebagai instrumen penopang pembangunan sesuai mandat
konstitusi.
Amanat
konstitusi itu tak lain adalah pemerataan pembangunan, penciptaan lapangan
kerja, pencerdasan kehidupan bangsa, dan lain sebagainya. Dengan bingkai
inilah aneka perspektif harus dibuka demi pembangunan yang bermartabat.
Pertama,
infrastruktur akan memicu pergerakan ekonomi sehingga kemunduran suatu
daerah/sektor lekas diatasi. Tak ada yang bisa menyangkal realitas empiris
tersebut. Di negara maju, akselerasi kegiatan ekonominya tinggi dan daya saing
meningkat karena diungkit oleh infrastruktur yang mapan.
Dalam
kasus Indonesia, Pulau Jawa bergerak liat meninggalkan wilayah lain juga
karena dukungan infrastruktur yang lebih lengkap. Namun, terdapat diktum lain
yang tak boleh diingkari, yakni setelah infrastruktur dibangun, siapa pihak
yang lebih banyak mencecap: wilayah lain yang difasilitasi untuk menyedot
sumber daya daerah terbelakang atau wilayah yang belum berkembang tersebut
lebih gampang melebarkan kepak sayap ekonominya.
Kedua,
pembangunan infrastruktur dimaksudkan cuma sebagai instrumen fasilitasi
investasi atau diperluas sebagai ikhtiar penguatan ekonomi lokal/daerah
tertentu. Sekadar membangun infrastruktur sebagai fasilitasi investasi bisa
menjadi petaka bagi perekonomian daerah/nasional.
Pola
serupa terjadi pada desain Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia. Kelembagaan investasi yang terkait dengan kepentingan
negara lain jauh lebih menonjol ketimbang aturan main peningkatan kekuatan
sosial-ekonomi domestik atau kelompok yang kurang berdaya. Akibatnya, ketika
skenario itu berjalan, nisbah ekonomi lokal/nasional yang diperoleh tampak
lebih kecil ketimbang pihak lain. Dengan aneka realitas pedih yang pernah
dialami, tentu kita tak ingin memperpanjang trauma buruk itu.
Ketiga,
pemerintah mesti hati-hati dalam menyusun skema pembiayaan dan pengelolaan
infrastruktur. Secara teori, infrastruktur adalah barang publik yang pelaku
swasta tak tertarik masuk. Penyebabnya sederhana, pihak yang membiayai tak
bisa mengeksklusi pelaku yang hendak memanfaatkan. Namun, karakter semacam
itu telah hilang sedikit demi sedikit.
Akibat
dana pemerintah yang cekak, sektor privat dilibatkan, fenomena ini kerap
disebut dengan gejala ”privatisasi infrastruktur”. Sektor swasta mesti diberi
insentif agar mau partisipasi. Implikasinya, infrastruktur tak lagi gratis.
Jika tak murah, akses penggunaan infrastruktur menjadi tak mudah bagi
kelompok masyarakat tertentu. Jadi, identifikasi infrastruktur yang hendak
dikerjasamakan swasta harus dikaitkan dengan analisis soal akses itu.
Keempat,
infrastruktur terkoneksi dengan representasi. Keterwakilan terkait dengan
banyak aspek, tetapi dalam kasus Indonesia, representasi lebih banyak
terhubung dengan ketimpangan antarwilayah. Implikasinya, representasi
pembangunan infrastruktur mesti diarahkan untuk daerah tertinggal meskipun
barangkali efisiensi ekonomi sedikit dikorbankan.
Sejak
lama saya mengusulkan agar ada anggaran tertahan (captive budget) belanja
modal, misalnya 75 persen untuk wilayah Indonesia bagian timur. Dengan dasar
itulah pembangunan infrastruktur urutannya disesuaikan keadaan setiap daerah.
Di wilayah yang belum berkembang, infrastruktur penunjang produksi rakyat
didahulukan (misalnya irigasi), diikuti infrastruktur transaksi (pasar).
Setelah itu mapan, baru dilanjutkan dengan pembangunan infrastruktur yang
terkait dengan konektivitas (jalan).
Berikutnya,
infrastruktur yang memperkuat ekonomi daerah tentu wajib terhubung dengan
potensi ekonomi wilayah yang bersangkutan, sekaligus pengembangan
(pengolahan) potensi itu menjadi aktivitas yang bernilai tambah.
Sementara
itu, menyangkut pembiayaan selaiknya infrastruktur dasar sepenuhnya
ditanggung pemerintah (misalnya air bersih, sanitasi, kesehatan, dan
pendidikan), sedangkan di luar itu badan usaha milik negara diprioritaskan
dan baru sektor swasta. Seluruh bangunan itu tentu butuh fondasi politik
ekonomi infrastruktur yang dalam agar sejarah kelam bisa dikubur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar