Selasa, 23 Desember 2014

Mengubur Sejarah Kelam

Mengubur Sejarah Kelam

Ahmad Erani Yustika  ;  Ekonom Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
KOMPAS,  22 Desember 2014

                                                                                                                       


PEMERINTAH sudah mengambil posisi lugas: memilih mengorbankan subsidi bahan bakar minyak dan memindahkannya untuk belanja modal. Tahun depan belanja modal akan ditambah sekitar Rp 200 triliun, setara dengan jumlah subsidi yang dikurangi. Belanja modal itu sebagian besar dipakai untuk membangun infrastruktur. Infrastruktur dalam tempo 10 tahun terakhir dituduh menjadi akar persoalan dan solusi ekonomi. Opini itu kita terima sebagai separuh kebenaran, sedangkan setengahnya lagi adalah politik ekonomi infrastruktur, yang secara padat bisa dimaknai sebagai instrumen penopang pembangunan sesuai mandat konstitusi.

Amanat konstitusi itu tak lain adalah pemerataan pembangunan, penciptaan lapangan kerja, pencerdasan kehidupan bangsa, dan lain sebagainya. Dengan bingkai inilah aneka perspektif harus dibuka demi pembangunan yang bermartabat.

Pertama, infrastruktur akan memicu pergerakan ekonomi sehingga kemunduran suatu daerah/sektor lekas diatasi. Tak ada yang bisa menyangkal realitas empiris tersebut. Di negara maju, akselerasi kegiatan ekonominya tinggi dan daya saing meningkat karena diungkit oleh infrastruktur yang mapan.

Dalam kasus Indonesia, Pulau Jawa bergerak liat meninggalkan wilayah lain juga karena dukungan infrastruktur yang lebih lengkap. Namun, terdapat diktum lain yang tak boleh diingkari, yakni setelah infrastruktur dibangun, siapa pihak yang lebih banyak mencecap: wilayah lain yang difasilitasi untuk menyedot sumber daya daerah terbelakang atau wilayah yang belum berkembang tersebut lebih gampang melebarkan kepak sayap ekonominya.

Kedua, pembangunan infrastruktur dimaksudkan cuma sebagai instrumen fasilitasi investasi atau diperluas sebagai ikhtiar penguatan ekonomi lokal/daerah tertentu. Sekadar membangun infrastruktur sebagai fasilitasi investasi bisa menjadi petaka bagi perekonomian daerah/nasional.

Pola serupa terjadi pada desain Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Kelembagaan investasi yang terkait dengan kepentingan negara lain jauh lebih menonjol ketimbang aturan main peningkatan kekuatan sosial-ekonomi domestik atau kelompok yang kurang berdaya. Akibatnya, ketika skenario itu berjalan, nisbah ekonomi lokal/nasional yang diperoleh tampak lebih kecil ketimbang pihak lain. Dengan aneka realitas pedih yang pernah dialami, tentu kita tak ingin memperpanjang trauma buruk itu.

Ketiga, pemerintah mesti hati-hati dalam menyusun skema pembiayaan dan pengelolaan infrastruktur. Secara teori, infrastruktur adalah barang publik yang pelaku swasta tak tertarik masuk. Penyebabnya sederhana, pihak yang membiayai tak bisa mengeksklusi pelaku yang hendak memanfaatkan. Namun, karakter semacam itu telah hilang sedikit demi sedikit.

Akibat dana pemerintah yang cekak, sektor privat dilibatkan, fenomena ini kerap disebut dengan gejala ”privatisasi infrastruktur”. Sektor swasta mesti diberi insentif agar mau partisipasi. Implikasinya, infrastruktur tak lagi gratis. Jika tak murah, akses penggunaan infrastruktur menjadi tak mudah bagi kelompok masyarakat tertentu. Jadi, identifikasi infrastruktur yang hendak dikerjasamakan swasta harus dikaitkan dengan analisis soal akses itu.

Keempat, infrastruktur terkoneksi dengan representasi. Keterwakilan terkait dengan banyak aspek, tetapi dalam kasus Indonesia, representasi lebih banyak terhubung dengan ketimpangan antarwilayah. Implikasinya, representasi pembangunan infrastruktur mesti diarahkan untuk daerah tertinggal meskipun barangkali efisiensi ekonomi sedikit dikorbankan.

Sejak lama saya mengusulkan agar ada anggaran tertahan (captive budget) belanja modal, misalnya 75 persen untuk wilayah Indonesia bagian timur. Dengan dasar itulah pembangunan infrastruktur urutannya disesuaikan keadaan setiap daerah. Di wilayah yang belum berkembang, infrastruktur penunjang produksi rakyat didahulukan (misalnya irigasi), diikuti infrastruktur transaksi (pasar). Setelah itu mapan, baru dilanjutkan dengan pembangunan infrastruktur yang terkait dengan konektivitas (jalan).

Berikutnya, infrastruktur yang memperkuat ekonomi daerah tentu wajib terhubung dengan potensi ekonomi wilayah yang bersangkutan, sekaligus pengembangan (pengolahan) potensi itu menjadi aktivitas yang bernilai tambah.

Sementara itu, menyangkut pembiayaan selaiknya infrastruktur dasar sepenuhnya ditanggung pemerintah (misalnya air bersih, sanitasi, kesehatan, dan pendidikan), sedangkan di luar itu badan usaha milik negara diprioritaskan dan baru sektor swasta. Seluruh bangunan itu tentu butuh fondasi politik ekonomi infrastruktur yang dalam agar sejarah kelam bisa dikubur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar