Ekses
AS Laksana ; Sastrawan, Pengarang,
Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
KOMPAS,
21 Desember 2014
INFORMASI menarik
tentang film Close-Up karya sutradara
Iran Abbas Kiarostami, saya dapatkan mula-mula dari artikel David Ehlich,
redaktur senior situs film.com, berjudul The 50 Best Criterion
Collection Releases. Criterion Collection, atau biasa
disingkat Criterion saja, adalah sebuah perusahaan distribusi video yang
menawarkan film-film klasik dan kontemporer kepada para pecinta, kritikus,
dan pemikir perfilman. Secara berkala ia mengeluarkan daftar film-film
terbaik versinya. Artikel dengan judul di atas dikeluarkan tahun 2013 dan
daftar 50 film tersebut dianggap oleh sejumlah kritikus sebagai daftar
terbaik yang pernah dikeluarkan Criterion.
Di dalam daftar itu kita bisa menemukan
nama-nama Akira Kurosawa, Yasujiro Ozu, Satyajit Ray, Ingmar Bergman,
Jean-Luc Godard, Terrence Malick, Pier Paolo Pasolini, Wong Kar-Wai, Wim
Wenders, dan lain-lain sampai yang namanya sulit dilafalkan oleh lidah kita:
Krzysztof Kieslowski. Lihatlah, nama depan sutradara ini tersusun dari
delapan huruf mati dan hanya ada satu huruf hidup. Ia menyutradarai trilogi Colors, tiga film yang
menyenangkan dengan judul-judul Red, Blue,
dan White.
Untuk semua film yang ada di sana, Anda
bisa menemukan penjelasan singkat dan alasan Criterion memilihnya, kecuali
film Close-Up.
Film Kiarostami itu ditempatkan pada urutan pertama dan Criterion hanya
menampilkan keterangan dengan satu kalimat sangat singkat: ’’The
best film ever made.”
Saya menggemari film-film Abbas Kiarostami,
nyaris fanatik, dan saya gembira sekali membaca kalimat singkat tersebut,
seolah-olah saya keponakan tercinta sutradara Iran itu. Film terbaik yang
pernah dibuat orang, saya membatin, memang tidak memerlukan penjelasan
panjang lebar, atau tidak memerlukan penjelasan sama sekali. Begitu saja
sudah cukup.
Dibuat berdasarkan kisah nyata, Close-Up menceritakan
pengadilan terhadap Hossein Sabzian yang mengakui dirinya adalah Mohsen
Makhmalbaf, seorang sutradara terkenal Iran. Ia sedang naik bus suatu siang
dan duduk bersebelahan dengan seorang ibu yang memperhatikannya membaca The Cyclist,
buku skenario karangan Makhmalbaf. Si ibu menanyakan alamat toko buku tempat
Sabzian mendapatkan buku itu. ’’Untuk Anda saja kalau Anda mau. Saya yang
menulis buku ini,” katanya.
’’Anda Mohsen Makhmalbaf?” tanya si ibu.
’’Ya.”
’’Anda baik sekali. Senang bertemu dengan
Anda.”
Si ibu mengatakan bahwa anaknya sudah lulus
kuliah, mendapatkan gelar insinyur, tetapi menyukai seni dan film dan belum
mendapatkan pekerjaan sejak enam bulan lulus kuliah. Kemudian lelaki itu
sering datang ke rumah si ibu, merancang proyek perfilman dengan si insinyur
baru, dan melihat-lihat setiap ruangan di dalam rumah seolah-olah ia hendak
melakukan pengambilan gambar untuk film barunya di rumah itu. Di rumah itu
Sabzian dihormati sebagai Makhmalbaf, sampai kemudian mereka tahu bahwa ia
Makhmalbaf palsu.
Kiarostami merekonstruksi kejadian
tersebut, termasuk bagaimana ia tertarik pada berita tentang penangkapan
Sabzian, menemuinya di tahanan, dan upayanya mendapatkan izin merekam secara
utuh proses pengadilan.
Semuanya menjadi bagian dari film itu. Sebenarnya ini
hanya sebuah kasus penipuan kecil dan Sabzian sudah mengatakan, sewaktu
Kiarostami menjenguknya di tahanan, bahwa ia akan mengakui. Tetapi segalanya
menjadi lebih kompleks ketimbang apa yang tampak di permukaan dan tidak mudah
bagi orang-orang untuk memahaminya.
’’Saya tertarik pada film dan sudah
menonton banyak film sejak kecil, tetapi saya tidak punya uang untuk
mewujudkan cita-cita saya,” kata Sabzian kepada hakim pengadilan. ’’Saya
mengagumi Mohsen Makhmalbaf dan semua penderitaan yang ia tampilkan di dalam
film-filmnya. Ia seperti bicara pada saya dan menggambarkan penderitaan saya.
Saya tahu di mata hukum saya bersalah.
Saya tidak ingin melakukan penipuan
tetapi hanya ketika memperkenalkan diri sebagai Makhmalbaf, maka mereka
menaruh hormat dan menuruti apa yang saya katakan. Sebelumnya tidak pernah
ada orang yang mematuhi saya, karena saya hanya orang miskin. Sejujurnya
menjadi Makhmalbaf adalah hal yang sangat berat bagi saya. Setiap kali saya
meninggalkan rumah itu, saya akan kembali menjadi diri saya, orang miskin
yang tidak sanggup mencukupi kebutuhan saya sendiri. Saya tidak ingin
melakukannya, tetapi setiap bangun tidur saya terdorong untuk menjadi
Makhmalbaf lagi, karena itu membuat mereka menghormati saya.”
Seluruh pemain film tersebut adalah
orang-orang yang berperan sebagai diri sendiri, termasuk Sabzian, seluruh
anggota keluarga yang menjadi korbannya, juga Kiarostami dan Mohsen
Makhmalbaf sendiri. Ia dibuka dengan adegan percakapan ke sana-kemari antara
wartawan Hassan Farazmand dengan sopir taksi yang mengantarnya ke rumah
keluarga korban penipuan Sabzian. Di bangku belakang duduk dua petugas
kepolisian yang siap melakukan penangkapan, dan mereka tidak bicara sama
sekali sepanjang perjalanan.
Si wartawan tampak sangat bergairah dengan
kasus ini dan merasa telah menemukan ’’Oriana Story”, sebutan yang mengacu
pada nama wartawan terkenal Italia Oriana Fallaci. Farazmand tampaknya
merindukan reportase besar, tetapi dalam film itu terlihat teledor, tidak
membawa uang untuk membayar taksi, tidak membawa tape recorder,
dan semuanya harus ia pinjam dari tuan rumah.
Saya menonton film ini tidak lancar. Ada
ingatan-ingatan yang tiba-tiba menerobos dan mengganggu. Sebagaimana
Farazmand, saya juga membayangkan Oriana Fallaci ketika menginginkan profesi
wartawan bertahun-tahun lampau. Buku Oriana Wawancara
dengan Sejarah saya
baca ketika saya SMA dan saya bawa ke Jogjakarta, ke Jakarta, dan kemudian
dipinjam teman dan tidak pernah menjadi milik saya lagi hingga sekarang.
Oriana telah mewawancarai para pemimpin dari banyak negara pada tahun 1960-an
hingga 1980-an. Ia telah mewawancarai Indira Gandhi, pemimpin Organisasi
Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat, Menlu AS Henry Kissinger, Perdana
Menteri Pakistan Zulfikar Ali Bhutto, Perdana Menteri Israel Golda Meir, Syah
Iran Mohammad Reza Pahlevi, pemimpin Libya Muammar Gaddafi, Ayatollah
Khomeini, dan banyak lagi. Saat wawancara dengan Khomeini ia diharuskan
mengenakan cadar dan ia mengenakannya dan kemudian melepas cadar tersebut di
tengah berlangsungnya wawancara sembari mengkritik keharusan bagi perempuan
untuk mengenakannya.
Awal tahun 1993, saya mulai menjadi
wartawan, di Jawa
Pos, bertugas sebagai koresponden wilayah Magelang dan
sekitarnya. Setiap hari saya keluar masuk pedesaan di sekitar Magelang,
mencari informasi di pengadilan, meliput sengketa kandang ayam, dan saat itu
saya merasa sulit sekali menjadi Oriana Fallaci. Liputan pertama saya adalah
pernikahan masal di Desa Wonolelo, lereng gunung Merapi. Hari itu saya menyaksikan
puluhan pasangan dinikahkan di balai desa, termasuk mereka yang sudah berumah
tangga berpuluh tahun, sudah kakek-nenek dan sudah mempunyai cucu dan mungkin
cucu mereka juga sudah beranak.
Mereka, Anda tahu, adalah orang-orang yang
di zaman Orde Baru dicap tidak bersih lingkungan dan disia-siakan oleh
pemerintahan Orde Baru. Orang-orang di luar desa menyebut mereka pasangan
kumpul kebo, dengan pandangan negatif yang dilekatkan pada istilah ’’kumpul
kebo” itu, tetapi sesungguhnya mereka hanyalah orang-orang lereng gunung yang
jera berurusan dengan pemerintah. Mereka berumah tangga dengan sesama warga
desa, dan ikatan mereka hanya diresmikan menurut kebiasaan di desa itu, hanya
diumumkan ke tetangga-tetangga bahwa pasangan A dan B sudah menjadi suami istri.
Meski ikatan mereka tidak disahkan secara agama maupun hukum negara, rumah
tangga mereka pada umumnya berlangsung langgeng. Kecil sekali atau nyaris
tidak pernah ada kasus perceraian, kecuali karena ditinggal mati pasangan.
Itu ingatan paling kuat tentang reportase
’’besar’’ yang pernah saya lakukan, yang dipicu kemunculannya oleh sosok
Farazmand si wartawan teledor, ingatan yang menginterupsi keasyikan menonton Close-Up.
Namun akhirnya saya selesai juga menontonnya dan melamun agak lama setelah
film selesai. Saya pikir urusan di dunia ini cuma begitu-begitu saja. Pemain
sepak bola yang baik tak pernah keliru menggiring, mengoper, atau menendang
bola. Aktor yang baik bisa bertingkah apa saja dan selalu tampak pantas.
Montir yang baik tidak pernah mengecewakan dalam pekerjaannya. Demikian pula
sutradara yang baik; ia kelihatannya juga selalu benar dalam menangani
urusannya.
Mohsen Makhmalbaf muncul di bagian akhir.
Ia menjemput dan memeluk orang yang telah mengaku-aku sebagai dirinya. ’’Kau
ingin menjadi Makhmalbaf atau Sabzian?” tanya Makhmalbaf. ’’Aku sendiri
bahkan capek menjadi Makh.” Sabzian menunduk di hadapan orang yang
dikaguminya dan ia tak mampu menatap wajah Makhmalbaf dan air matanya tak
bisa ia tahan. Makhmalbaf menggoncengkan Sabzian dengan motornya menuju ke
rumah keluarga Ahankhah, yang akhirnya mencabut tuntutan dan menyatakan bahwa
Sabzian tidak melakukan penipuan dengan niat jahat dan itu hanya ekses dari
kemelaratan dan kondisi sosial yang menekan kehidupan orang-orang kecil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar