Korupsi
dan Revolusi Sastrawi
Naufil Istikhari Kr ; Peneliti Psikologi di Fakultas Ilmu Sosial dan
Humaniora,
UIN Sunan
Kalijaga
|
KOMPAS,
21 Desember 2014
Korupsi
bermula dari penghambaan atas diri. Berkat penghambaan pula terjadi revolusi.
Namun, ingat, alur keduanya lain sama sekali. Di titimangsa ini, kadang
korupsi bisa meledakkan revolusi. Meski demikian, tak ada jaminan setelah
revolusi tak akan tumbuh lagi korupsi.
Kita bisa
berkaca pada sejarah. Kongsi dagang Hindia-Timur (VOC), misalnya, dibubarkan
pada 1799 akibat bangkrut karena korupsi. Revolusi segera terjadi: kata
perdagangan diganti penjajahan. Penjajahan adalah penghambaan sehingga
meletus konsekuesi turunan untuk pribumi. Akhirnya, pribumi juga melancarkan
revolusi.
Pada
mulanya korupsi. Lalu revolusi. Namun, dalam tenda revolusi yang sebenarnya,
terma korupsi tenggelam. Kaum revolusioner berjuang untuk revolusi itu
sendiri. Mereka merumuskan persatuan untuk menolak penjajahan. Soekarno,
Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Tjokroaminoto, dan seterusnya akhirnya berhasil
membebaskan bangsa ini.
Tahun
1945 adalah tanda kesuksesan sebuah revolusi. Ben Anderson dalam Java in a Time of Revolution: Occupation
and Resistance (1972) menengarai keberhasilan itu dikarenakan adanya
sesuatu yang oleh Anderson disebut common
enemy (musuh bersama). Soekarno kemudian mendirikan pilar Orde Lama,
tetapi sayangnya diruntuhkan oleh Orde Baru. Saat itulah revolusi menemui
babak baru. Ia pelan-pelan bersenyawa lagi dengan korupsi.
Setengah
abad setelah itu, kita terlempar dalam ruas-ruas demokrasi. Revolusi fisik
tak mungkin terjadi lagi. Namun, korupsi, sesuatu yang cukup panjang
tersembunyi, kini menjadi isu pasti. Orang ramai tiba-tiba menceletuk, ”Ini
warisan pemerintah Orde Baru. Ini adalah kutukan.” Saya pun terpancing
bersuara, ”Entah warisan atau kutukan, korupsi tetap harus dilawan!” Dengan
apa? Revolusi.
Revolusi
sastrawi
Banyak
orang merasa berutang budi kepada revolusi, termasuk Anda yang membaca
tulisan ini. Akan tetapi, saya percaya, kalkulasi itu sedikit ketimbang orang
yang lupa pada ”kekuatan tersembunyi” di balik setiap revolusi. Saya tidak bermaksud mengajak Anda mendadak
religius. Kekuatan tersembunyi mungkin akan dimaknai sebagai invisible hand
yang sinonim dengan Tuhan. Tidak, Anda jangan salah paham.
Abad
ke-18 ditandai dengan perubahan besar: revolusi Inggris 1760, revolusi
Amerika 1776, dan revolusi Perancis 1789. Namun, tak jarang orang melupakan
bahwa salah satu sumbu penggerak revolusi fisik adalah ”revolusi psikis”.
Revolusi jenis ini bergerak dalam wacana sastra dan filsafat. Revolusi selalu
digerakkan oleh refleksi, oleh kontemplasi. Sejarawan menyebut masa itu
dengan era romantisisme.
Di masa
itu kita akan berjumpa Voltaire, Shakespeare, Schopenhauer, Goethe, Schiller,
dan Fichte. Schopenhauer mendemonstrasikan kecemasan pada dunia, tetapi ia
menyikapinya dengan lantang. Persentuhan filsafat dan sastra benar-benar
melahirkan revolusi sastrawi yang ditakuti. Voltaire menulis sastra ”yang
pasrah”, tetapi selalu dilumuri ”amarah”. Candide berhasil mengatasi
keputusasaan dengan gairah.
Gairah
seperti itu yang kita perlakukan hari ini: revolusi sastrawi. Perubahan tak
bisa disulap dalam sehari. Sastra Indonesia yang belakangan bercorak—meminjam
bahasa Muhammad Al-Fayyadl—narsistik harus direstrukturisasi. Untuk menjawab
kekinian, sastra harus ditempa ulang dengan spirit romantisisme. Sastra yang,
menurut Achmad Fawaid, mengerti alteritas.
Sastra ”anti korupsi”
Melawan korupsi harus dengan revolusi,
sejauh revolusi dimaknai ”perbaikan besar-besaran”. Artinya, semua lini harus
berani bertengkar dengan korupsi. Di titik itulah sastra harus ambil bagian
di dalamnya.
Terbitnya
buku Puisi Menolak Korupsi (2013)
yang memuat puisi-puisi penolakan penyair terhadap korupsi merupakan langkah
awal yang patut diapresiasi. Di dalamnya berisi kekecewaan dan ajakan perang
melawan korupsi. Buku setebal 450 halaman ini, setidaknya, menjadi saksi
betapa Indonesia sudah becek dengan korupsi dan karena itu korupsi wajib
diamputasi.
Puisi
menjadi suara paling murni yang mengungkapkan isi hati. Namun, puisi saja
tidak cukup. Revolusi sastrawi ini harus benar-benar menyeluruh. Novel-novel
sudah waktunya beranjak dari momen narsistik menuju alteristik: sebuah cerita
yang disusun untuk menggerakkan animo masyarakat dalam membantu tugas negara
memberantas korupsi.
Di
Indonesia, Pramoedya Ananta Toer mengawalinya lebih dulu. Pram menulis novel Korupsi (1954) dengan sederhana,
tetapi mengena. Pram hanya terlalu simplifistik dalam mengurai praktik korup
yang dilakukan Bakir, tokoh utama dalam novelnya. Banyak sekali kejadian hari
ini yang jauh lebih canggih dari yang dibayangkan Pram. Namun, Pram cerdas
dalam membungkus ide-ide penentangannya.
Usaha
Pram perlu dilanjutkan. Sastra-sastra ”anti korupsi” penting segera ditulis
dan disebarkan, dengan cerita, dengan cerpen pun tak masalah. Cerpen-cerpen
Putu Wijaya sudah banyak yang bertema demikian. Tinggal dilanjutkan dengan
karya-karya cerpenis muda.
Cerpen
Eko Triono berjudul Pledoi Tikus
(2013) mungkin akan membuat kita merinding. Tikus yang diangkap rakus,
membatin dalam dirinya, ”Kami hanya
mengambil sebagian limpahan kecil dari limpahan anugerah Tuhan kepada
manusia. Kepala ikan. Sisa makanan. Atau, makanan yang kelak tak berguna bagi
kalian, tapi kami menjadikannya istimewa… Tapi kalian menyamakan kami sesuka
hati. Kami hanya tidak mampu menanam ubi sendiri, sebab tanah-tanah hanya
boleh bersertifikat atas nama manusia.”
Eko
Triono menyentil, tetapi juga mengusik derajat kemanusiaan yang kerap pongah.
Diam-diam kita akan berkata dalam hati, ”Iya, ya!” Begitulah cara sastra
bekerja. Revolusi tak selamanya memerlukan besi. Kadang ia bisa bergolak
hanya dengan bait-bait puisi. Semoga ini tanda-tanda korupsi akan teratasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar