Mufakat
Budaya dan Universalisme Guyub
Jean Couteau ; Penulis kolom
“Catatan Minggu” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
21 Desember 2014
Apakah
Anda sudah dengar tentang ”Mufakat Budaya Indonesia?” Mungkin belum. Kelompok
cendekiawan yang berkumpul di bawah bendera ini menawarkan perubahan drastis
paradigma kebudayaan Indonesia. Sebagai salah satu peserta diskusinya, saya
berupaya memahami problematikanya serta menawarkan interpretasi atas arah
pemikirannya.
Pada
awalnya terdapat suatu diagnosis. Globalisasi meresapi dan merombak segala
segi kehidupan kita: tanah kita injak dan udara kita pakai bernapas; cara dan
tempat kita bekerja dan bersenang-senang; apa yang kita pelajari dan pikirkan;
apa yang kita konsumsi dan butuhkan; apa dan siapa kita kagumi dan benci.
Lebih berat lagi, tersirat di dalamnya suatu rumus budaya masa depan yang
tampil semakin sarat hegemoni luar. Maka, meski globalisasi itu jelas
mempunyai pemenangnya–kaum kosmopolit yang kehidupannya terbagi antara Wall
Street, Silicon Valley, dan Marbella atau antara Kemang, Singapura, dan
Bali–tidak sedikit juga orang yang khawatir atau bahkan geram: mereka yang
kondisi riil hidupnya guncang, serta mereka yang menyaksikan memori budaya,
kepercayaan, dan sistem nilainya terserang langsung dan kadang terancam
musnah. Melihat dampak globalisasi ini, apakah mengherankan bila ia direspons
dengan radikalisme–apakah etnis, religius, atau ideologis? Jelas tidak, meski
kita wajib menemukan respons lain, yang lebih manusiawi.
Instrumen
yang selama ini digalang untuk menangkal disfungsi globalisasi adalah HAM.
Itu baik! Tetapi apakah cukup? Bukankah naïf memercayai hukum? Hukum modern
dan HAM adalah buah dari universalisme Barat, yang lahir dari dinamika
kapitalisme Barat. Di situlah letak masalahnya, oleh karena ”kemajuan” yang
terbawakan kapitalisme ini senantiasa bak pisau bermata dua. Sejarah di sini
berbicara: kapitalisme awal memang melahirkan kebebasan berpikir, bermula
dari kritik agama, tetapi hal itu juga memicu perang Katolik-Protestan (abad
16); lalu ekspansi Barat melahirkan universalisme modern, namun serentak
muncul pula kolonialisme dan rasisme (abad 18-19); pada fase kapitalisme
nasional berikutnya, dari kontradiksi internalnya lahirlah utopia komunisme
(abad 20), sedangkan dari kontradiksi eksternalnya lahirlah
ultra-nasionalisme dan dua perang dunia yang berturutan (abad 20). Kini, pada
fase mutakhirnya, kapitalisme global melahirkan HAM, tetapi disertai pula
”monster-monster” baru berupa aneka radikalisme religius bernuansa mesianis
yang kerap haus darah (ISIS, Sionisme radikal, Shiv Sena, dll). Jadi impian
indahnya mesin kapital memang senantiasa berpilin dengan impian buruknya.
Melihat
itu, (dan itu persepsi saya) tidak heran bila kelompok ”Mufakat Budaya
Indonesia”, di bawah arahan Radhar Panca Dahana, ragu terhadap kemampuan
hukum untuk memanusiakan kapitalisme global. Mereka sebaliknya meyakini bahwa
tersimpan di dalam tradisi-tradisi etnis Nusantara sejenis universalisme
lokal yang, bila diaktualisasi dengan tepat, dapat digalang untuk menangkal
globalisasi. Di mata mereka (persepsi saya lagi), universalisme modern
”Barat” adalah terbatas keuniversalannya, oleh karena hanya menerima si
”liyan” (the other) secara hukum-dengan
pemberian status hukum, dan hukum saja, yang setara. Universalisme Nusantara
lebih luas: ia menolak ”melihat” ”keliyanan” (otherness) dan sebaliknya menekankan persamaan dan mufakat, yaitu
”ketidak-liyanan” di segala bidang. ”Universalisme guyub” tersebut diyakini
hadir di dalam kedalaman budaya-budaya Nusantara, terutama di dalam sastra,
baik lisan maupun tertulis. Sekarang tinggal digali dan diaktualisasikan
secara rasional-obyektif, lalu disebarluaskan melalui kebijakan
kultural-edukasional yang komprehensif. Bila hal-hal ini berhasil dilakukan,
tak ayal lagi bakal tersedialah instrumen yang ampuh untuk menanggulangi
dampak tak terduga dari globalisasi…. Tinggal implementasi politiknya.
Apakah
realistis? Kita tidak tahu? Tetapi pantas dan harus dicoba. Setuju, kan?
Namun,
kita jangan mimpi. Rujukan pada budaya Nusantara di atas hendaknya menjadi
suatu instrumen saja, bukan suatu ideologi. Janganlah rekayasa budaya ala
Orde Baru terulang lagi, di mana ”tradisi” diagung-agungkan sebagai manipulasi,
untuk menjauhkan perhatian masyarakat dari masalah sosial yang sebenarnya.
Itulah sebabnya reaktualisasi dan reaktivasi budaya lokal di atas harus
berjalan selaras dengan kebijakan sosial yang koheren nan tepat sasaran.
Tidak akan ada kebijakan penguatan budaya-budaya Nusantara yang efisien tanpa
disertai kebijakan keadilan sosial yang baik. Setuju lagi, kan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar