Menyikapi
Perubahan Kurikulum
Robert Bala ; Kepala Sekolah SMP Sekolah Tunas Indonesia,
Bintaro, Tangerang Selatan, Banten
|
KOMPAS,
19 Desember 2014
CUKUP
dengan surat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang ditujukan kepada
para kepala sekolah, keputusan untuk kembali ke Kurikulum 2006 (K06) sudah
final. Logis, bagi yang telah melaksanakan selama tiga semester pilihan
terbaik adalah meneruskan. Sementara yang baru satu semester, apalagi untuk
kelas VIII yang ”dipaksa” mengikuti K13, diminta ”kembali”.
Bagaimana
menyikapi hal itu pada tataran praktis? Mustahil bertanya demikian. Meskipun
pendekatan yang diambil oleh Kemendikbud sangat substansial dengan
pembatalan, pada tataran teknis praksis justru perlu disikapi.
Kebijakan
untuk kembali ke K06 semestinya disikapi sebagai sebuah kelegaan. Secara
teknis, kuk penilaian yang sangat memberatkan kini terasa ringan.
Tidak
hanya itu. Pemberian kembali wewenang ke pusat kurikulum secara implisit
menunjukkan bahwa K13 diramu tanpa pendasaran substansial yang semestinya.
Oleh karena itu, meski pahit K13 harus distop di tengah jalan. Ini adalah
pilihan bijak karena yang dipertaruhkan adalah masa depan sebuah bangsa.
Meski demikian,
kebijakan Kemendikbud justru memunculkan dilema implementatif, terutama
berkaitan dengan model penilaian. Di satu pihak, meski tertatih-tatih dan
hanya dalam satu semester, sekolah telah berusaha mengembangkan model
penilaian. Tiga ranah (kognitif, psikomotorik, dan afektif) dinilai secara
otentik dengan berbasis data.
Hasil
kerja keras ini yang harus diakui cukup ”berat” untuk ditinggalkan begitu
saja oleh sekolah. Jelasnya, mereka ingin terus menerapkan model penilaian
dengan skala (1-4) dan konversi kepada predikat (A-D). Model inilah yang
cukup pasti diterapkan karena prosesnya telah dilewati.
Namun,
penegasan Kemendikbud bahwa pada semester II semua (kecuali 6.232 sekolah)
harus kembali ke KTSP, hal itu membawa dilema baru. Jika akhirnya model
penilaian numerik (1-100) yang diterima (dari semester II hingga siswa
tamat), bagaimana mengembalikan skor nilai kepada penilaian numerik?
Dalam
kondisi seperti ini, harus diaplikasikan keduanya. Artinya, pada penilaian
semester, mestinya nilai numerik disandingkan bersamaan dengan skala (1-4)
dan skor kualitatif (A, B, CD).
Dengan
demikian, keduanya bisa diakomodasi. Di satu pihak aspek positif dalam
penilaian K13 diakomodasi (sesuai proses yang sudah dilewati), tetapi pada
saat bersamaan bersifat akomodatif ketika dikembalikan ke K06.
Pembelajaran
Meski
secara substansial K13 ”bermasalah”, hal itu tidak meniadakannya sama sekali.
Dalam K13 ada semangat pembaruan yang bisa diambil dan dijadikan pijakan
selanjutnya.
Pertama,
merujuk pada tiga aspek kurikulum, pemahaman konsep (selain metode pengajaran
dan ujian) merupakan hal yang menjadi kendala selama ini. Tidak sedikit guru
yang hanya mengandalkan buku pegangan oleh lemahnya kreativitas dalam membaca
apalagi menulis.
Realitas
ini telah disikapi dalam K13 melalui kehadiran buku pegangan guru. Di sana,
setiap guru ”dipaksakan” untuk menerapkan pembelajaran ilmiah dengan
menggunakan acuan tahap demi tahap yang sangat runtut.
Hal ini
semestinya dilihat secara positif. Terlepas adanya kesalahan, tetapi model
yang sudah dibuat perlu dibarui dan diteruskan. Yang penting yang dianggap
masih kurang direvisi dan disempurnakan. Untuk itu, memberhentikan K13 tidak
bisa diartikan sekaligus memberhentikan buku cetakan yang notabene justru
sangat membantu minimnya pemahaman konseptual guru dalam mengajar.
Kedua,
perlu penyederhanaan pada model penilaian sikap. Meski model yang ada lebih
mendorong guru untuk mengikuti proses (bukan sekadar penilaian subyektif),
hal itu perlu dimodifikasi.
Jelasnya,
penilaian diri dan teman yang selama ini harus dilaksanakan oleh semua guru
semestinya dapat dilimpahkan kepada konselor. Guru bidang studi akan lebih
fokus pada observasi kelas yang disusun dengan indikator yang jelas dan
terukur. Tanggung jawab penilaian yang selama ini menjadi beban diharapkan
bisa lebih praktis dan ringan.
Ketiga,
perubahan kurikulum ataupun kembali ke sebuah model sebelumnya seperti yang
terjadi kini mesti jadi pembelajaran. Yang dimaksud, agar antara aspek
substansial dan teknis dirancang seirama. Kurikulum sebagai substansi
semestinya menjadi pijakan yang nyaris tergantikan karena pemerintah memiliki
strategi jangka menengah dan panjang yang menjadi acuan.
Ia harus
digagas di ”dapurnya” dan bukan pada segelintir orang yang ”dekat” dengan
Kemendikbud. Di sana diharapkan sebuah program pendidikan jangka menengah dan
panjang didesain di atas pendasaran substansial yang kuat dan beralasan.
Di sisi lain, kesuksesan pendidikan juga ditentukan oleh akurasi dalam
implementasi. Daya jangkau dan penyerapan guru yang masih terbatas semestinya
diimbangi dengan hal teknis yang bisa memudahkan. Sikap seimbang inilah yang
dinantikan kini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar