Selasa, 23 Desember 2014

Menyikapi Perubahan Kurikulum

                             Menyikapi Perubahan Kurikulum

Robert Bala  ;   Kepala Sekolah SMP Sekolah Tunas Indonesia,
Bintaro, Tangerang Selatan, Banten
KOMPAS,  19 Desember 2014

                                                                                                                       


CUKUP dengan surat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang ditujukan kepada para kepala sekolah, keputusan untuk kembali ke Kurikulum 2006 (K06) sudah final. Logis, bagi yang telah melaksanakan selama tiga semester pilihan terbaik adalah meneruskan. Sementara yang baru satu semester, apalagi untuk kelas VIII yang ”dipaksa” mengikuti K13, diminta ”kembali”.

Bagaimana menyikapi hal itu pada tataran praktis? Mustahil bertanya demikian. Meskipun pendekatan yang diambil oleh Kemendikbud sangat substansial dengan pembatalan, pada tataran teknis praksis justru perlu disikapi.

Kebijakan untuk kembali ke K06 semestinya disikapi sebagai sebuah kelegaan. Secara teknis, kuk penilaian yang sangat memberatkan kini terasa ringan.

Tidak hanya itu. Pemberian kembali wewenang ke pusat kurikulum secara implisit menunjukkan bahwa K13 diramu tanpa pendasaran substansial yang semestinya. Oleh karena itu, meski pahit K13 harus distop di tengah jalan. Ini adalah pilihan bijak karena yang dipertaruhkan adalah masa depan sebuah bangsa.

Meski demikian, kebijakan Kemendikbud justru memunculkan dilema implementatif, terutama berkaitan dengan model penilaian. Di satu pihak, meski tertatih-tatih dan hanya dalam satu semester, sekolah telah berusaha mengembangkan model penilaian. Tiga ranah (kognitif, psikomotorik, dan afektif) dinilai secara otentik dengan berbasis data.

Hasil kerja keras ini yang harus diakui cukup ”berat” untuk ditinggalkan begitu saja oleh sekolah. Jelasnya, mereka ingin terus menerapkan model penilaian dengan skala (1-4) dan konversi kepada predikat (A-D). Model inilah yang cukup pasti diterapkan karena prosesnya telah dilewati.

Namun, penegasan Kemendikbud bahwa pada semester II semua (kecuali 6.232 sekolah) harus kembali ke KTSP, hal itu membawa dilema baru. Jika akhirnya model penilaian numerik (1-100) yang diterima (dari semester II hingga siswa tamat), bagaimana mengembalikan skor nilai kepada penilaian numerik?

Dalam kondisi seperti ini, harus diaplikasikan keduanya. Artinya, pada penilaian semester, mestinya nilai numerik disandingkan bersamaan dengan skala (1-4) dan skor kualitatif (A, B, CD).

Dengan demikian, keduanya bisa diakomodasi. Di satu pihak aspek positif dalam penilaian K13 diakomodasi (sesuai proses yang sudah dilewati), tetapi pada saat bersamaan bersifat akomodatif ketika dikembalikan ke K06.

Pembelajaran

Meski secara substansial K13 ”bermasalah”, hal itu tidak meniadakannya sama sekali. Dalam K13 ada semangat pembaruan yang bisa diambil dan dijadikan pijakan selanjutnya.

Pertama, merujuk pada tiga aspek kurikulum, pemahaman konsep (selain metode pengajaran dan ujian) merupakan hal yang menjadi kendala selama ini. Tidak sedikit guru yang hanya mengandalkan buku pegangan oleh lemahnya kreativitas dalam membaca apalagi menulis.

Realitas ini telah disikapi dalam K13 melalui kehadiran buku pegangan guru. Di sana, setiap guru ”dipaksakan” untuk menerapkan pembelajaran ilmiah dengan menggunakan acuan tahap demi tahap yang sangat runtut.

Hal ini semestinya dilihat secara positif. Terlepas adanya kesalahan, tetapi model yang sudah dibuat perlu dibarui dan diteruskan. Yang penting yang dianggap masih kurang direvisi dan disempurnakan. Untuk itu, memberhentikan K13 tidak bisa diartikan sekaligus memberhentikan buku cetakan yang notabene justru sangat membantu minimnya pemahaman konseptual guru dalam mengajar.

Kedua, perlu penyederhanaan pada model penilaian sikap. Meski model yang ada lebih mendorong guru untuk mengikuti proses (bukan sekadar penilaian subyektif), hal itu perlu dimodifikasi.

Jelasnya, penilaian diri dan teman yang selama ini harus dilaksanakan oleh semua guru semestinya dapat dilimpahkan kepada konselor. Guru bidang studi akan lebih fokus pada observasi kelas yang disusun dengan indikator yang jelas dan terukur. Tanggung jawab penilaian yang selama ini menjadi beban diharapkan bisa lebih praktis dan ringan.

Ketiga, perubahan kurikulum ataupun kembali ke sebuah model sebelumnya seperti yang terjadi kini mesti jadi pembelajaran. Yang dimaksud, agar antara aspek substansial dan teknis dirancang seirama. Kurikulum sebagai substansi semestinya menjadi pijakan yang nyaris tergantikan karena pemerintah memiliki strategi jangka menengah dan panjang yang menjadi acuan.

Ia harus digagas di ”dapurnya” dan bukan pada segelintir orang yang ”dekat” dengan Kemendikbud. Di sana diharapkan sebuah program pendidikan jangka menengah dan panjang didesain di atas pendasaran substansial yang kuat dan beralasan.

Di sisi lain, kesuksesan pendidikan juga ditentukan oleh akurasi dalam implementasi. Daya jangkau dan penyerapan guru yang masih terbatas semestinya diimbangi dengan hal teknis yang bisa memudahkan. Sikap seimbang inilah yang dinantikan kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar