Laporan Akhir Tahun Internasional
Pelajaran
Penting dari Ebola
Pascal S Bin Saju ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
23 Desember 2014
EBOLA
muncul sebagai penyakit yang paling fenomenal dan amat mematikan abad ini. Betapa
tidak, dalam beberapa hari, seseorang yang terjangkit virus ebola bisa
kehilangan nyawanya. Hanya dalam beberapa minggu, virus mematikan itu sudah
menjangkiti ratusan orang, hingga kini menjadi belasan ribu orang dengan hampir
6.900 orang tewas dalam 10 bulan sejak Maret lalu. Korban tewas terbanyak
terjadi dalam kurun Juni-September.
Meski
penyebaran virus ebola masih terpusat di tiga negara di Afrika Barat, yakni
Guinea, Sierra Leone, dan Liberia, ketakutan merebak luas ke banyak negara.
Terutama setelah orang-orang terjangkit di tiga negara itu melakukan
perjalanan ke negara lain dan mereka menjangkiti warga di negara tujuan. Itu
sebabnya, kasus ebola menjalar ke Nigeria, Mali, Senegal, Jerman, Spanyol,
dan Amerika Serikat.
Virus
tersebut menyebar dengan cepat, menyerang siapa saja, termasuk para petugas
kesehatan, seperti paramedis dan dokter, yang justru menjadi garda terdepan
dalam penanganan ebola. Siapa lagi yang bisa diandalkan jika petugas medis
yang telah mengenakan kostum pelindung khusus ebola saja terjangkit, bahkan
juga berujung maut?
Selain
itu, ketakutan meluas juga karena belum ada vaksin atau serum yang ampuh
menghentikan laju penularan virus dari manusia ke manusia. Teknologi farmasi
baru terbatas pada menghasilkan vaksin untuk bisa mencegah penyebaran virus
ebola pada binatang (kera) yang menjadi asal-muasal penyakit itu ketika
pertama kali ditemukan sekaligus di dua tempat pada 1976, yakni di Nzara,
Zaire (kini bagian dari Sudan Selatan), dan Yambuku, Republik Demokratik
Kongo.
Hingga
dua bulan pertama 2014, kemunculan virus ebola tidak mencemaskan. Namun,
virus ebola mulai mewabah sejak ditemukan kasus pertama di Guinea pada Maret
lalu. Virus menyebar cepat karena dibawa para pelintas jalur darat dari
Guinea ke Sierra Leone dan Liberia, satu kasus penyebaran lewat udara ke
Nigeria, dan satu kasus lewat darat ke Senegal.
Pada
saat tulisan ini diturunkan, lebih dari 18.100 orang terinfeksi virus ebola
dengan hampir 6.900 kasus kematian dan 99 persen di antaranya terjadi di tiga
negara di Afrika Barat itu. Separuh kematian, yakni sekitar 3.000 kasus,
terjadi di Liberia. Tiga negara bertetangga di Afrika Barat itu menjadi pusat
penyebaran virus ebola.
Mengubah segalanya
Virus
paling ganas itu telah mengubah segalanya di wilayah Afrika Barat. Ketakutan
dan kecemasan sangat kental. Warga lokal justru mencurigai petugas kesehatan
dan pegiat kemanusiaan sebagai penyebar penyakit.
Lalu
lintas atau pergerakan orang dibatasi dan daerah berisiko tinggi dikarantina.
Sekolah dan kantor ditutup, klinik kesehatan lumpuh, kegiatan ekonomi tidak
berjalan, termasuk para pedagang sayur, buah, dan bahan pangan guling tikar.
Apa yang
dapat dipetik umat manusia dari wabah ebola ini? Sebelum menjawab pertanyaan
ini, mari kita melihat bagaimana virus itu muncul, lalu menyebar, dan
kemudian begitu cepat mematikan ribuan orang, hingga sejumlah negara di
belahan lain pun berusaha mengantisipasi agar virus tidak sampai masuk.
Penyakit
virus ebola (EVD), sebelumnya dikenal sebagai demam berdarah ebola (EHF),
adalah penyakit yang parah dan sering fatal pada manusia. Gejala yang paling
menonjol bahwa seseorang terjangkit EVD adalah demam tinggi, sakit
tenggorokan, nyeri otot, dan sakit kepala. Biasanya diikuti dengan mual,
muntah, diare, serta menurunnya fungsi hati dan ginjal, hingga pendarahan
akut.
Menurut
situs Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rata-rata angka kasus kematian EVD
sekitar 50 persen. Angka kasus kematian bervariasi dari 25 persen hingga 90
persen pada wabah virus ebola pada masa lalu.
Wabah
EVD pertama terjadi di desa-desa terpencil di dekat kawasan hutan hujan
tropis di Afrika Tengah. Namun, wabah terbaru, yang paling dahsyat, kompleks,
dan paling memusingkan umat manusia adalah yang terjadi di Afrika Barat. Virus
tidak saja menggerogoti warga di daerah pedesaan terpencil, tetapi juga
hingga ke masyarakat perkotaan modern.
Virus
yang semula menular dari binatang ke manusia bergeser menular dari manusia ke
manusia. Di sinilah letak persoalannya: hingga sejauh ini para pakar ilmu
sains kesehatan atau teknologi farmasi belum menemukan vaksin atau serum
penangkal ebola.
Negara-negara
yang terparah dilanda EVD di Afrika Barat itu juga memiliki sistem kesehatan
yang amat tidak memadai, minim sumber daya manusia dan infrastruktur
pendukung. Liberia, Sierra Leone, dan Guinea juga baru keluar dari periode
panjang konflik serta ketidakstabilan politik dan keamanan.
Meski
Spanyol dan AS sempat panik karena terjangkitnya sejumlah warga mereka oleh
EVD, mereka juga dapat mengatasi dengan baik. Hal itu karena sistem dan
infrastruktur kesehatan yang dimiliki lebih modern dengan sumber daya manusia
yang lebih unggul dibandingkan Afrika.
Ada
pelajaran penting yang dapat dipetik dari Nigeria dan Senegal. Nigeria,
misalnya, sempat diguncang oleh wabah virus yang paling mematikan itu. Meski
dengan situasi politik dan keamanan yang rapuh karena gangguan kelompok
separatis dan radikal Boko Haram, negara ini ternyata mampu mencegah laju
penyebaran ebola sehingga akhirnya dinyatakan bebas dari EVD. Nigeria, negara
terpadat penduduknya di Afrika, mendapat pujian WHO karena bertindak cepat
setelah seorang diplomat Liberia yang terinfeksi pada Juli lalu. Pada 20
Oktober, badan kesehatan PBB itu menyatakan, Nigeria bebas ebola setelah sebelumnya,
17 Oktober, Senegal dinyatakan bebas ebola.
Dari
Nigeria, Senegal, Spanyol, dan AS, kita belajar bahwa keterlibatan masyarakat
adalah kunci untuk sukses dalam mengendalikan wabah. Pengendalian wabah yang
baik bergantung pada penerapan paket intervensi, yaitu manajemen kasus,
pengawasan, pelacakan kontak, layanan laboratorium yang prima, penguburan
yang aman, dan mobilisasi sosial. Perawatan suportif dini dengan rehidrasi
dan perawatan simtomatis meningkatkan kelangsungan hidup. Tanpa itu, virus
ebola nyaris tidak terkendali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar