Ekonomi
Jalan di Tempat
Eddy Suprapto ; Jurnalis Ekonomi
|
KORAN
SINDO, 22 Desember 2014
Kampanye
revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo rupanya belum
menyentuh ruang birokrasi. Hal ini tecermin dari ruang fiskal yang besar
seharusnya pemerintah pusat mampu merealisasikan pembangunan.
Apalagi,
Kabinet Kerja Presiden Jokowi ingin secepatnya melakukan lompatan pembangunan
dalam lima tahun ke depan. Namun, perilaku birokrasi serta sistem kerja
birokrasi menjadi hambatan utama. Presiden boleh berganti namun birokrasi dan
sistemnya tetap sama.
Hingga
Oktober 2014, serapan belanja modal pemerintah pusat hanya menyerap anggaran
44,4% atau sekitar Rp71,4 triliun dari total belanja modal APBN P 2014
sebesar Rp160,8 triliun. Persoalan makin mengecewakan di saat pemerintah
pusat tidak mampu menyerap anggaran APBN secara maksimal, pemerintah memotong
subsidi bahan bakar minyak.
Akibat
pemotongan subsidi BBM, pemerintah pusat memiliki uang Rp110 triliun. Pola
kerja birokrasi sudah menjadi rahasia umum memiliki siklus rendah di semester
awal dan menanjak pada akhir tahun. Akibatnya belanja anggaran cenderung
boros, sekaligus tidak tepat sasaran.
Sejak
beberapa tahun belakangan, realisasi anggaran cenderung lambat sehingga
terjadi penumpukan target penghabisan anggaran di akhir tahun. Padahal,
pemerintahan baru butuh birokrasi sebagai mesin pembangunan agar pembangunan
berjalan sesuai dengan target dan perencanaan.
Reformasi
birokrasi menjadi agenda utama karena pola menghabiskan anggaran di akhir
tahun kasatmata mulai dari pengaspalan, perbaikan gorong- gorong air hingga
pembergantian separasi jalan. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan,
serapan anggaran Daerah Khusus Jakarta menjadi tolok ukur serapan anggaran
pemda seluruh Indonesia. Serapan anggaran DKI sangat mengecewakan hanya 31%
dari total nilai APBD DKI sebesar Rp72 triliun. Daerah lain yang juga rendah
serapan anggarannya yakni Kalimantan Timur, Papua, dan Riau.
Sistem Kejar Setoran
Tahun
ini belanja pemerintah mengalami kenaikan dari Rp112,9 triliun menjadi
Rp160,8 triliun. Meningkatnya anggaran belanja itu seharusnya diikuti dengan
penyerapan anggaran yang lebih baik, sehingga tidak menumpuk di akhir tahun.
Kebiasaan menghabiskan serapan belanja pemerintah pada akhir tahun yaitu
November dan Desember, terlihat pada siklus lonjakan realisasi belanja
khususnya belanja modal.
Persoalan
lain yakni transisi pemerintahan menyebabkan kevakuman kebijakan. Terutama
pada Agustus hingga September, seluruh birokrat dalam pemerintahan tidak
berani mengambil kebijakan. Akibatnya realisasi belanja modal menumpuk di
akhir tahun. Bahkan proses lelang berlangsung lebih lama karena menteri baru
akan memeriksa tiap kegiatan lebih hati-hati.
Rendahnya
serapan anggaran juga dipicu enggannya para birokrat menangani proyekproyek
pemerintah. Baik di pemerintah daerah maupun proyek kementerian. Kasus proyek
TransjakartamenimpaKepala Dinas Perhubungan DKI membuat banyak birokrat
enggan menjadi kepala proyek. Mereka takut “dijadikan” korban sebuah
kebijakan dari pemerintah.
Kondisi
ini cukup memprihatinkan. Karena terjadi kekosongan pelaksana pembangunan.
Padahal, anggaran negara menjadi stimulus menggerakkan pertumbuhan ekonomi.
Jika belanja kementerian rendah, laju pertumbuhan mandek. Artinya, penyerapan
anggaran yang rendah akan memengaruhi kegiatan ekonomi lainnya, terutama terkait
dengan kegiatan di sektor riil.
Berpacu Dengan Pelambatan Ekonomi
Beragam
tantangan di tahun 2015 ada di depan mata. Pemotongan subsidi BBM menyebabkan
turunnya daya beli masyarakat. Ditambah kebijakan ekonomi ketat Bank
Indonesia menaikkan BI rate hingga 7,75% menyebabkan naiknya bunga bank.
Ujung-ujungnya masyarakat terbebani dengan kenaikan bunga bank.
Seiring
dipangkasnya subsidi BBM mengakibatkan kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan
tarif transportasi umum dan kebutuhan sembako pun naik. Akibat rentetan
kebijakan ekonomi ini Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia hanya tumbuh
5,1%. Dengan melambatnya ekonomi tahun depan, seharusnya
pemerintahpusatmengoptimalkan belanja negara untuk menguasai pasar domestik
ketika perekonomian global melemah.
Ini
merupakan kesempatan bagi Indonesia memperkuat pasar domestik saat
perekonomian China dan India melemah. Pemerintahperlumenetapkansatukebijakan
strategis agar sumber daya produksi dan distribusi diarahkan untuk pasar
domestik. Optimalisasi pembangunan pasar domestik bisa terlaksana jika
penyaluran anggaran infrastruktur dijalankan.
Karena
pasar domestik masih mampu mendorong pertumbuhan, pemerintah tidak perlu
khawatir perekonomian nasional akan melemah. Meski tantangan paling nyata
adalah melemahkan pertumbuhan ekonomi mengakibatkan naiknya angka
pengangguran, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2014
mencapai 5,70%, diperkirakan naik pada akhir tahun setelah kenaikan BBM.
Dengan
rapor akhir tahun, rendahnya serapananggaranmenunjukkan pemerintah belum
fokus membangun ketertinggalan infrastruktur nasional seperti, jalan,
pelabuhan, bandara, kereta api, atau migas. Padahal, ketepatan pelaksanaan
proyek sangat penting untuk mendorong pertumbuhan dan mempercepat pembangunan
ekonomi, sehingga kesejahteraan rakyat bisa segera diwujudkan.
Dengan
kondisi akhir tahun tanpa ada serapan anggaran modal secara optimal, sulit
memunculkan revolusi mental di kalangan birokrasi. Akibatnya pembangunan
berjalan lambat dan kesejahteraan rakyat jauh dari jangkauan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar