Kamis, 25 Desember 2014

Iman dan Keimanan

Iman dan Keimanan

Eko Wijayanto  ;  Dosen Filsafat Universitas Indonesia
KOMPAS,  23 Desember 2014

                                                                                                                       


Que bene cantat bis orat : ”Barang siapa bernyanyi dengan baik, ia telah berdoa dua kali.” (Santo Agustinus) Keimanan yang teruji adalah keimanan yang sudah melewati tantangan kehidupan. Sebagaimana saat Yesus disalib, pada momen itu Yesus berucap: ”Eli, Eli, lama sabachthani” (Tuhanku, ya Tuhanku, mengapa Engkau meninggalkan aku?)

Kisah Yesus mirip dengan Nabi Ayub dalam The Book of Job. Buku Ayub ini juga mengisahkan pertanyaan terhadap kekuasaan dan kemahatahuan Tuhan. Nabi Ayub bertanya kepada Tuhan mengapa ia mengalami penderitaan yang amat sangat dalam hidupnya, dan Tuhan menjawab dalam teofani-Nya bahwa Ayub tidak dapat memahami tindakan sepenuhnya Tuhan yang mencipta alam semesta.

Proses terbentuknya sebuah sisi religiositas dan keimanan yang otentik, menurut seorang teolog dan ahli hermeneutika Paul Ricouer, harus melewati ateisme.
Namun, ateisme ini kiranya bukan ateisme kosong (nihilism), melainkan sebuah bentuk dari proses menjadi atau pencarian dalam kegelapan menuju pencerahan. Dengan ini, istilah ateisme itu kiranya kita dapat sebut sebagai ateisme yang bersifat humanis.

Humanisme tidak berlawanan dengan agama dan religiositas. Humanisme hanya ingin memperlihatkan segi-segi keunggulan manusia, seperti pemikiran, daya kreativitas, dan perasaan.

Menurut Ricoeur, ateisme yang dimaksud cukup erat kaitannya dengan kecenderungan-kecenderungan humanis yang merebak dalam tataran praktis, dalam arti memberontak terhadap hegemoni yang berlaku dalam agama.

Sikap ateisme cenderung diam terhadap agama sejauh agama tersebut tidak melanggar kebebasan mereka. ”Yang baik” mengubah chaos menjadi kosmos, gairah yang chaotic, yang tak bernama dan tak ber-kata, menjadi orientasi yang dapat dirinci melalui ”firman” atau ”sabda”.

Di sinilah barangkali konsep ”etika agama” harus diletakkan. Keterarahan kepada sebuah keimanan diperinci ke dalam norma-norma atau kewajiban-kewajiban moral.

Dalam bahasa Ricoeur, tataran ini disebut tataran deontologis. Bahkan, tataran ini pun tidak sepi dari diskusi dan interpretasi, yang berkaitan dengan teologi atau ilmu kalam.

Dalam denominasi religius yang sama pun, apa yang wajib, yang dilarang, dan yang boleh tidak selalu menimbulkan kata sepakat. Muncul fenomena sosial dan historis yang disebut mazhab.

Dialektis

Paul Ricouer berasal dari keluarga Kristen Protestan dan dipandang sebagai cendekiawan di Perancis. Hermeneutika Ricoeur bersifat dialektis dan evaluatif.
Dialektis artinya ada keterkaitan resiprokal (timbal balik) antara pemahaman (verstehen) dan penjelasan (erklaren) di satu sisi dan momen dialogis antara pembaca dan teks di sisi lain. Ia menegaskan bahwa dalam sebuah teks, perbedaan tafsir itu selalu terbuka untuk diperdebatkan, didialogkan, dan disintesiskan.

Pemikiran Ricouer bertentangan dengan Nietzsche yang begitu radikal memandang ”kebenaran”. Ia memprovokasi, mengkritik, dan meninjau ulang semua nilai dan tradisi.

Dalam karyanya Will to Power, Nietzsche menggambarkan nihilisme sebagai situasi ketika ”manusia berputar dari pusat ke arah titik X”. Artinya, nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya.

Menurut Nietzsche, proses nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi, yang membawa pada kesimpulan doktrin ”kematian Tuhan”. Ini bukanlah pengertian Tuhan secara literal. Jika Tuhan telah mati, berarti pada suatu saat Tuhan pernah ada. Apa yang dinyatakan oleh Nietzsche adalah kematian keagamaan di Eropa.

Pengertian God is dead adalah Tuhan dalam konteks kekristenan di Eropa. Bahwa kepercayaan terhadap Tuhan adalah kepercayaan yang salah. Tuhan tidak lagi dapat dipercayai. Oleh karena itu, Dia telah mati.

Nietzsche kemudian menjelaskan tentang asal-usul dan sifat perbedaan antara baik dan buruk serta baik dan jahat dan menyingkap klaimnya bahwa kebutuhan kita adalah untuk bergerak melampaui kebaikan dan kejahatan.

Terlepas dari sebuah dogma, teks suci itu sendiri, menurut Ricoeur, adalah tipikal dari karya-karya diskursus yang kompleks dan terbuka bagi keragaman pemaknaan.

Menafsirkan teks, menurut Ricoeur, bukanlah mengadakan suatu relasi intersubyektif antara subyektivitas pengarang dan subyektivitas pembaca, melainkan hubungan di antara dua diskursus, yakni teks dan penafsiran. Penafsiran dianggap mencapai tujuannya bilamana dunia teks dan dunia penafsir telah berbaur menjadi satu.

Membongkar misteri

Bagi Ricoeur, setiap penafsiran adalah juga usaha untuk membongkar (dekonstruksi) makna-makna yang masih terselubung. Kata-kata adalah simbol juga karena menggambarkan makna lain yang sifatnya tidak langsung, tidak begitu penting, serta figuratif (berupa kiasan) dan hanya dimengerti melalui simbol-simbol tersebut.

Menurut Ricoeur, hermeneutika itu sendiri bertujuan untuk menghilangkan misteri yang terdapat pada simbol atau teks dengan cara membuka selubung yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol atau teks tersebut.

Hal ini berkesesuaian dengan konteks ketika sumber-sumber teologis agama-agama (dapat) dianggap sebagai simbol atau teks yang perlu senantiasa ditafsirkan guna memperoleh kebenaran akan maksud dan tujuan Tuhan di dalamnya.

Simbol di sini bisa diartikan sebagai wahyu Tuhan ataupun sumber-sumber teologis agama-gama lain yang mengandung makna di balik susunan huruf ataupun kalimatnya. Kehadiran sebuah simbol ataupun tanda (signifiant) sesungguhnya selalu mengasumsikan adanya obyek yang ditandai (signifier). Obyek yang ditandai itu adalah wacana; konteks sosio-historis dan konteks sosio-psikologis. Ketika wacana itu dilambangkan, jadilah ia sebuah teks.

Selamat Natal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar