Shock
Jelang Akhir Tahun
Firmanzah ; Guru Besar Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 22 Desember 2014
Perekonomian
dunia mengalami tiga guncangan (shock)
menjelang berakhirnya tahun 2014. Ketiga isu ini diprediksi tidak hanya
memengaruhi kinerja perekonomian dunia pada kuartal IV 2014 saja, melainkan
juga akan sangat menentukan situasi perekonomian dunia sepanjang tahun 2015.
Hampir
semua negara, baik maju maupun berkembang, saat ini terus mewaspadai arah dan
pergerakan ketiga isu besar dan berancang-ancang sekaligus merumuskan policy responses sebagai bentuk
mitigasi dampak terhadap perekonomian negara mereka. Bagi Indonesia, ketiga isu
besar ini juga perlu kita waspadai meskipun dampaknya berbeda antara satu isu
dengan lainnya.
Isu
pertama mengenai rencana The Fed untuk menyesuaikan suku bunga acuan setelah
berakhirnya kebijakan quantitative easing III. Minggu lalu, menjelang
pertemuan Federal Open Market Committee
(FOMC) 16-17 Desember, kekhawatiran bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga
acuan telah menciptakan guncangan pasar keuangan dunia. Spekulasi akan hal
ini meningkatkan capitaloutflow dari negara emerging dan berkembang sehingga
nilai tukar mata uang di banyak negara melemah.
Baik
otoritas moneter maupun fiskal di banyak negara sangat fokus untuk merumuskan
kebijakan yang tepat dan terukur guna menahan kejatuhan nilai tukar mata uang
dan tidak membahayakan fundamental ekonomi mereka. Kejatuhan nilai tukar mata
uang juga dialami Indonesia. Nilai tukar rupiah pada perdagangan minggu lalu
tepatnya 15-17 Desember 2014 mengalami tekanan dan terdepresiasi di rentang
1-2%.
Bahkan
tercatat sesi perdagangan 16 Desember 2014 mata uang rupiah terdepresiasi
terhadap dolar AS sebesar 2,3%. Depresiasi nilai tukar rupiah yang hampir
menyentuh level Rp13.000 per dolar AS merupakan yang terendah sejak Juni 1998
yang berada dilevel Rp16.650 perdolar AS.
Apabila
kita bandingkan dengan situasi selama krisis subprimemortgage pada 2008,
nilai tukar rupiah minggu lalu terdepresiasi lebih dalam dibandingkan dengan
periode November 2008 yang berada pada level Rp12.650 per dolar AS. Kita
bersyukur, ternyata rapat FOMC minggu lalu menyepakati untuk menunda pengumuman
kenaikan suku bunga acuan.
Pernyataan
The Fed menenangkan pasar dan membuat capital-inflow terjadi sehingga nilai
tukar rupiah mulai stabil di level Rp12.500 per dolar dan indeks harga saham
gabungan (IHSG) juga menguat pada perdagangan Kamis (18/12) dan Jumat
(19/12). Namun tentunya kita perlu terus mewaspadai isu ini mengingat The Fed
hanya menunda dan ketika waktunya dianggap tepat, keputusan menaikkan suku
bunga acuan sebagai bentuk normalisasi kebijakan moneter akan dilakukan pada
2015.
Ketika
keputusan itu suatu saat diambil, kita semua harus bersiap diri untuk
memitigasi baik dari sisi moneter, fiskal maupun sektor riil. Isu kedua
mengenai jatuhnya harga minyak mentah dunia hingga di bawah USD60 per barel.
Bahkan tercatat pada perdagangan 17/12, WTI
crude oil price pada posisi USD55,50 per barel dan harga acuan Eropa, Brent crude oil price , berada pada posisi USD59,90 per barel.
Harga
minyak mentah dunia jatuh akibat persaingan antarnegara produsen utama minyak
dari Timur Tengah, utamanya Arab Saudi, untuk mengalahkan biaya keekonomian shaleoil di Amerika Serikat. Dengan
dipertahankannya volume produksi di saat permintaan dunia melemah, otomatis
harga minyak mentah dunia akan jatuh.
Pertemuan
OPEC terakhir tahun ini memutuskan untuk mempertahankan volume produksi agar
membuat biaya eksplorasi shale-oil
di Amerika Serikat menjadi lebih mahal. Seperti kita ketahui biaya
keekonomian shale-oil di AS
mencapai USD70 per barel. Maka ketika harga minyak mentah dunia berada di
bawah USD60 per barel, seperti harga saat ini, diharapkan tidak banyak
eksplorasi shale-oil yang dilakukan
di AS.
Isu
ketiga adalah krisis ekonomi yang dialami Rusia. Baru-baru ini Bank Sentral
Rusia menaikkan suku bunga acuan sebesar 650 basis poin hingga di level 17%.
Suku bunga acuan di Rusia saat ini adalah yang tertinggi sejak krisis ekonomi
Rusia pada 1998. Keputusan ini tentunya mengagetkan banyak negara, utamanya
Eropa dan negara-negara mitra strategis dengan Rusia baik perdagangan maupun
investasi.
Rusia
menghadapi tiga tekanan ekonomi sekaligus, yaitu kejatuhan harga minyak
mentah dunia yang memukul ekspor Rusia, embargo ekonomi akibat krisis di
Ukraina, dan kejatuhan mata uang rubel. Bank Sentral Rusia telah menghabiskan
tidak kurang dari USD80 miliar untuk operasi pasar menahan kejatuhan rubel.
Meski Rusia masih memiliki cadangan devisa yang cukup besar, eskalasi
memburuknya situasi regional dan nasional tidak mampu menahan jatuhnya mata
uang negara itu.
Bila
dibandingkan dengan posisi rubelakhirtahunlalu(31/12/13) yang berada pada
posisi 32,87 per dolar AS, dengan posisi rubel yang mencapai 69,09
(16/12/14), nilai tukar mata uang tersebut telah terdepresiasi lebih dari
100%. Situasi di Rusia memang tidak akan berdampak langsung terhadap perekonomian
nasional. Namun situasi krisis di Rusia akan sedikit banyak memengaruhi
negara-negara di Eropa yang menjadi mitra strategis kegiatan ekspor dan
investasi bagi Indonesia.
Selain
itu, ketidakpastian akan arah perekonomian dunia akibat rencana The Fed menaikkan
suku bunga, anjloknya harga minyak mentah dunia, dan krisis ekonomi Rusia
masih akan sangat tinggi. Mengenai anjloknya harga minyak mentah dunia,
sejumlah negara eksportir minyak mentah dunia seperti Nigeria dan Venezuela
berada dalam situasi sulit atas jatuhnya sumber penerimaan utama negara
mereka.
Tidak
membaiknya harga minyak mentah dunia dikhawatirkan akan menambah jumlah
negara baru yang akan masuk dalam krisis ekonomi. Seperti halnya negara lain,
bagi Indonesia, kita perlu terus meningkatkan kewaspadaan dan koordinasi
antarlembaga untuk menghasilkan kebijakan yang tepat dan terukur sepanjang
tahun 2015.
Kita
perlu optimistis apabila kita mampu memitigasi dampak krisis subprime-mortgage pada 2008- 2009,
kita juga akan mampu secara baik melewati ekonomi 2015 di tengah
ketidakpastian global. Memang bukan pekerjaan yang sederhana, tetapi ketika
otoritas moneter dan fiskal secara aktif melakukan koordinasi dan harmonisasi
kebijakan, sektor riil dan target pencapaian perekonomian nasional sepanjang
2015 akan tetap terjaga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar