Koper
Goenawan Mohamad ; Esais, Mantan
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
22 Desember 2014
Koper
tua yang terbuat dari kaleng itu peyot. Hampir tak berisi. Tapi dalam empat
novel Pramoedya Ananta Toer yang legendaris itu, benda sepele itu jadi buhul
tempat berkait sebuah cerita panjang, sebuah sejarah yang getir.
Koper
itu sebuah tanda trauma.
Di akhir
Anak Semua Bangsa, di dalamnya ditemukan beberapa lembar pakaian milik
Annelis yang mati secara tragis. Koper itu pula yang mengingatkan Nyai
Ontosoroh kepada masa ketika ia, pada usia 14 tahun, dijual kepada lelaki
Belanda. Di akhir Jejak Langkah, ketika Minke ditahan polisi kolonial, ia
hanya membawa koper tua itu juga—juga setelah ia kembali dari Ambon tempat
ia diasingkan.
Dalam
Rumah Kaca, Pangemanan, komisaris polisi Hindia Belanda yang dengan tekun
membuntuti gerak-gerik pelopor gerakan nasionalisme itu, heran.
"Tak
ada bawaan lain, Tuan?" tanyanya. "Ada," jawab Minke. Tapi tak
ada yang perlu dibantu dibawakan orang lain. "Semua sudah kubawa dalam
kepalaku."
Laurie
Sears, dalam Situated Testimonies,
sebuah telaah yang perseptif atas karya sastra yang berdasarkan sejarah
kolonial dan pascakolonial Indonesia, meletakkan kisah koper itu sebagai
titik jangkar, a quilting or anchoring
point, bagi riwayat Minke.
Mungkin
ia juga bandul, ballast, yang menstabilkan perjalanan hidup Minke, Ontosoroh,
Pangemanan, dan lain-lain -- sebuah kisah yang penuh guncangan di tengah
proses tumbuhnya sebuah bangsa.
Dalam
guncangan itu trauma tak terelakkan. Dan Situated
Testimonies menampilkan sejarah Indonesia dari segi itu: sejarah yang
dituliskan setelah tertunda, nyaris tak terkatakan atau tak boleh
dibicarakan, karena luka yang dalam.
Luka itu
menandai karya dan hidup Pramoedya dan siapa saja yang melewati pembantaian
dan penindasan 1965-1966. Luka itu juga terasa dalam novel Ayu Utami, Larung.
"Pramoedya Ananta Toer dan Ayu
Utami memperkenalkan protagonis yang terkena trauma dalam novel-novel
mereka," tulis Sears, dan "menawarkan
cerita dengan penutup yang tak lengkap."
Koper itu:
sebuah ruang kecil yang itu-itu juga, tapi berisi mimpi dan kenangan yang
bisa berubah bagi tiap orang yang membawanya.
Ia wadah
kosong, tapi juga tanda trauma: ada yang telah direnggutkan. Nyawa dan cinta
Annelis. Kemerdekaan gadis yang kelak jadi Nyai Ontosoroh.
Kebebasan dan
keperkasaan Minke yang punah setelah diasingkan. Trauma itu juga melukai
Pangemanan, sang petugas keamanan kolonial; kekerasan yang dilakukannya untuk
menegakkan penjajahan Hindia Belanda ternyata membuat dirinya sendiri runtuh.
Yang
tertinggal: kesaksian. Tapi kesaksian itu bukan titisan masa lalu. Sears
menjelaskannya dengan istilah yang dipakai dalam analisis kejiwaan Freud,
Nachträglichkeit: trauma selalu muncul kemudian, setelah kejadian. Bila ia
harus dituturkan, tak ada teks yang sudah siap. Arsip, kalaupun tersimpan,
hanyalah isi masa lalu yang ditentukan arahnya di masa kini. Kesaksian
bukanlah ulangan pengalaman lama.
"Kesaksian
adalah sebuah pengalaman baru," demikianlah Sears mengutip Dori Laub,
pakar psikoanalisis yang pernah mengalami kekejaman Hitler. Ketika masa lalu
yang traumatis itu dikisahkan, orang yang bersangkutan sebenarnya tak dibawa
"kembali ke horor dan kesedihan yang dulu ditemuinya". Kesaksian
itu "menempuh hidupnya sendiri" ketika ia dituturkan. Tak bisa
diramalkan bagaimana akhirnya keseluruhan cerita.
Ingatan,
dalam trauma, memang tak bisa dibentuk secara naratif. Ada yang tak bisa
dijelaskan. Dalam Rumah Kaca, Pangemanan tiap kali didatangi hantu Si Pitung,
perusuh yang dibinasakannya. Lebih kelam lagi adalah penuturan di bagian awal
novel Ayu Utami, Larung.
Di sini
kita dapatkan seorang muda yang aneh, yang berencana membunuh neneknya yang
tak mati-mati. Larung menghadapi orang lain seperti sebuah mikroskop kasar:
orang lain adalah sebuah bangunan anatomis. Orang lain adalah detail: betis,
relung kuping dan cairannya, jembut, vagina, pelbagai bau. Kekerasan tersirat
dalam tatapan seperti itu. Dan pelan-pelan kita tahu, ada kekerasan yang
lebih luas dan masa lalu yang lebih kelam dalam hidup Larung.
Ketika
ia masih kanak-kanak, ayah Siok Hwa, sahabatnya, dikeroyok sampai mati dalam
sebuah kerusuhan anti-Cina, dan Siok Hwa hilang. Kemudian tahun 1965: ayahnya
sendiri, seorang tentara yang dituduh komunis, mati ramai-ramai disiksa.
Orang-orang yang membunuh ayahnya menjebloskan siapa pun yang mereka kira
musuh "ke sebuah nganga".
Trauma
adalah koper dalam nganga kegelapan. Sampai ada orang lain.
Pangemanan
memangkas kegelapan dengan menuliskan kesaksiannya untuk Madame Le Boucq.
Larung tampil sebagai subyek yang beberapa saat jernih ketika mendampingi
Saman melawan penindasan baru.
Penindasan,
kesewenang-wenangan: Indonesia memang terdiri atas pelbagai trauma. Tapi
koper itu tak kosong dan bisa nyaring bunyinya bila diajak bicara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar